Bangkit dari Abu

Pada hari Yubileum Penghiburan (15 September), Chizoba bercerita bagaimana dia dan keluarganya merasakan Kasih Allah ketika tidak lama setelah pindah ke Kanada rumah keluarga mereka habis terbakar.

Chizoba bersama suami dan empat anaknya

Pada bulan Agustus 2023, saya membawa putri saya yang baru berusia empat tahun berangkat ke Kanada untuk mencari masa depan yang lebih baik bagi anak-anak saya di sana, dan meninggalkan suami serta tiga putri saya yang lebih tua di Nigeria. Saya juga meninggalkan ayah saya, seorang duda, dan ibu mertua, yang sampai saat itu saya rawat. Saya berangkat dengan hati penuh dengan impian dan harapan untuk keluarga saya.

Masa peralihan itu tidak mudah. Culture shock yang luar biasa; saya merasa kesepian, siang hari terasa panjang sekali, dan malam hari penuh kesepian. Namun, saya berpegang teguh pada iman saya, percaya bahwa Santa Maria, Penghibur para migran, akan menolong saya. Saya terus berusaha, yakin bahwa Tuhan memiliki tujuan untuk setiap aspek hidup saya, seperti kata nabi Yeremias (lih. Yer 29:11). Kami adalah peziarah harapan.

Saya berusaha membangun rumah keluarga di lingkungan baru ini, kemudian putri kembar saya dapat bergabung, sehingga saya mempunyai lebih banyak anggota keluarga bersama saya, meskipun saya masih merindukan suami dan putri sulung saya.

Asap membumbung

Suatu hari di bulan Maret 2024, sebuah musibah melanda (hidup kami). Dalam waktu 30 atau 40 menit, rumah kami terbakar. Saya dan anak-anak diselamatkan oleh seorang tetangga yang baik, yang menggedor pintu kami di tengah malam, dan berteriak, "Kebakaran!" Mendengar teriakan ini, yang saya pikir waktu itu hanyalah menyelamatkan dokumen dan anak-anak saya. Dan itulah yang saya lakukan. Kami menyelamatkan diri, berdiri di luar, dan menyaksikan semua barang milik kami terbakar.

Kehilangan dan duka itu hampir membuat saya terpuruk. Saya mempertanyakan banyak hal: keputusan untuk berimigrasi, iman dan segalanya. Namun, saya menemukan penghiburan dalam keyakinan bahwa saya adalah putri Allah, dalam keputraan-ilahi, dan dalam keyakinan bahwa tidak ada apa pun yang terjadi di luar pengetahuan Tuhan. Ini memberi saya pengharapan dan keyakinan bahwa (pada akhirnya) semua akan baik-baik saja.

Doa singkat yang tak pernah berhenti saya daraskan saat itu adalah omnia in bonum, karena saya tahu segala sesuatu terjadi demi kebaikan saya dan keluarga saya. Saya dan anak-anak saya juga mendapatkan kekuatan dari kata-kata pendiri Opus Dei, St. Josemaría Escrivá, yang mendorong kami untuk tidak pernah kehilangan pandangan adikodrati dalam hidup ini. Kata-kata ini menemani saya melewati malam-malam tanpa tidur dan dalam keputusasaan.

Doa “omnia in bonum” (“semua untuk kebaikan”) membantu saya melewati malam-malam tanpa tidur dan dalam keputusasaan.

Kenyataan bahwa kami kehilangan semuanya begitu menyakitkan. Kami terus menghitung kehilangan kami. Kami pun tidak tahu lagi bagaimana menghadapi dunia setelah kehilangan begitu banyak. Anak-anak saya sering bertanya bagaimana kami akan bertahan hidup tanpa rumah yang nyaman dan tanpa barang-barang milik kami.

Namun, Roh Kudus menghibur kami ketika kami merenungkan kata-kata St. Josemaria dalam buku Jalan: “Puaslah dengan apa yang cukup untuk hidup sederhana dan bersahaja. Jika tidak, engkau tidak akan pernah menjadi rasul” (no. 631). Kami mulai dengan melepaskan diri secara emosional dari hal-hal materi, dan bahkan di tengah rasa duka, kami menemukan pengharapan dan penghiburan.

Sungguh, Tuhan telah campur tangan melalui persaudaran para anggota Opus Dei, di tempat kerja saya, di tempat saya kuliah, dan warga kota tempat kami tinggal. Semua orang berusaha keras untuk menghapus air mata kami dan membantu kami menemukan jalan keluar. Kami terhibur oleh banyak sekali tindakan kebaikan: orang-orang menyumbangkan makanan dan pakaian, dan dengan demikian orang asing pun menjadi sumber penghiburan dan campur tangan ilahi.

Secercah harapan

Kebakaran terjadi selama masa Prapaskah, tepat sebelum Pekan Suci. Kami menerima semua Sakramen dan menjalani semua itu bersama Kristus dalam Sengsara-Nya, menyelaraskan penderitaan kami dengan penderitaan-Nya dan menempatkan hati kami di kayu Salib berdampingan dengan hati-Nya, menyerahkan semua beban dan kekhawatiran kami kepada Dia yang sungguh peduli kepada kami. Kami berpegang teguh pada janji-janji Tuhan ketika segalanya tampak suram, dan belas kasih-Nya memperbarui dan menghibur kami.

Karena kemurahan Tuhan, beberapa hari setelah kebakaran, kami mendapatkan sebuah apartemen yang lebih besar dan lebih nyaman di bagian kota yang indah. Sungguh suatu berkat luar biasa yang membangkitkan semangat kami, memperbarui sukacita kami dan mengingatkan kami bahwa rencana Tuhan selalu lebih baik daripada rencana kami. Apa yang tampaknya seperti titik akhir ternyata adalah awal yang baru, penuh harapan dan rasa syukur.

Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa kita tidak boleh melupakan keputraan-ilahi kita. Kita harus hidup dengan penuh kesadaran sebagai anak-anak Allah, dengan keyakinan bahwa Dia sangat mengasihi kita dan memelihara kita. Harapan kita hanya pada Allah.

Santo Agustinus, yang mengalami kepahitan ketika belum mengenal Tuhan dan mencari kebahagiaan di tempat lain, menulis, “Engkau telah menciptakan kami untuk diri-Mu sendiri, ya Tuhan, dan hati kami gelisah sampai beristirahat di dalam-Mu.” Dan Santo Josemaría berkomentar: “Tidak ada tragedi yang lebih besar bagi manusia daripada rasa kecewa yang diderita bila ia merusak atau memalsukan harapannya, dengan menempatkan harapannya pada sesuatu yang bukan Sang Cinta yang memuaskan tanpa pernah menjemukan” (Sahabat Tuhan, no. 208).

Tuhan adalah satu-satunya sumber harapan dan penghiburan sejati kita. Dia selalu memanggil kita untuk datang apa adanya, untuk menerima pertolongan, pelipur lara dan penghiburan di saat kita membutuhkan. Marilah kita memupuk kebiasaan untuk menyerahkan diri kita di tangan Allah Bapa yang penuh kasih dan murah hati.