“Tolok ukur kemanusiaan kita adalah kemampuan kita untuk membiarkan diri kita dikasihi”

Dalam audiensi umum pada tanggal 3 September, Paus Leo XIV melanjutkan siklus katekesis tentang Yesus Kristus, Harapan kita, dengan berbicara tentang Penyaliban-Nya.

Saudara-saudari terkasih,

Di jantung kisah Sengsara Tuhan Yesus, di saat yang paling cemerlang dan sekaligus paling suram dalam hidup Yesus, Injil Yohanes memberi kita dua kata yang mengandung misteri yang sangat besar: "Aku haus" (Yoh 19:28), dan segera setelah itu: "Sudah selesai" (Yoh 19:30). Ini adalah kata-kata Yesus yang terakhir, tetapi kata-kata ini memenuhi seluruh kehidupan-Nya, yang mengungkapkan makna dari seluruh eksistensi Putra Allah. Di kayu salib, Yesus tidak muncul sebagai pahlawan yang menang, melainkan sebagai seorang yang minta dikasihi. Dia tidak mewartakan, mengutuk atau membela diri. Dengan rendah hati Yesus meminta apa yang tidak dapat Ia berikan kepada diri-Nya sendiri dengan cara apa pun.

Rasa haus Tuhan Yesus di kayu salib bukanlah hanya kebutuhan fisiologis dari tubuh yang tersiksa. Ini juga, dan terutama, merupakan suatu ungkapan kerinduan yang mendalam: Kerinduan akan kasih, akan relasi, akan persekutuan. Ini adalah seruan hening dari Allah yang, setelah menghendaki mengambil kondisi manusiawi dalam segalanya, juga membiarkan diri-Nya dikuasai oleh kehausan ini. Tuhan Yesus tidak malu mengemis, meminta seteguk (air), karena dalam gestur itu Dia menunjukkan kepada kita bahwa kasih, jika itu kasih yang sejati, juga harus belajar meminta dan bukan hanya memberi.

Aku haus, kata Yesus, dan dengan cara ini Dia menyatakan kemanusiaan-Nya dan juga kemanusiaan kita. Tak seorang pun dari kita dapat berdiri sendiri. Tak seorang pun dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Hidup kita mencapai "kepenuhan" bukan saat kita kuat, melainkan ketika kita belajar bagaimana menerima. Tepat pada saat Yesus menerima spons yang direndam dalam cuka dari tangan yang tak dikenal, Yesus menyatakan: Sudah selesai. Kasih telah menjadikan dirinya seseorang yang membutuhkan, dan justru karena inilah Dia menyelesaikan karya-Nya.

Inilah paradoks Kristiani: Tuhan menyelamatkan bukan dengan bertindak, tetapi dengan membiarkan (semua) terjadi pada Diri-Nya. Bukan dengan mengalahkan kejahatan dengan kekerasan, melainkan dengan menerima kerapuhan cinta kasih sampai akhir. Di kayu salib, Yesus mengajarkan kita bahwa manusia tidak mencapai kepenuhan dirinya dalam kekuatan, melainkan dalam keterbukaan yang penuh kepercayaan kepada orang lain, bahkan ketika mereka berseteru dan bermusuhan. Keselamatan tidak ditemukan dalam otonomi, melainkan dalam kerendahan hati mengenal kebutuhan diri sendiri dan dalam kemampuan untuk mengungkapkan kebutuhan dengan bebas.

Dalam rencana Allah, manusia akan mencapai kepenuhannya bukan dengan tindakan yang kuat, melainkan dengan isyarat menunjukkan rasa kepercayaan. Yesus tidak menyelamatkan dengan kejutan dramatis, melainkan dengan meminta sesuatu yang tidak dapat diberikan pada diri sendiri. Dan di sini terbukalah pintu menuju pengharapan sejati: Jikalau Sang Putra Allah sendiri memilih untuk tidak mandiri, maka dahaga kita – akan kasih, akan makna, akan keadilan – juga bukanlah suatu tanda kegagalan, melainkan tanda kebenaran.

Kebenaran ini, yang tampaknya begitu sederhana, sulit diterima. Kita hidup di zaman yang menghargai kemandirian, efisiensi, dan kinerja. Namun Injil menunjukkan kepada kita bahwa ukuran kemanusiaan kita tidak ditentukan oleh apa yang dapat kita capai, melainkan oleh kemampuan kita untuk membiarkan diri kita dikasihi dan, bila perlu bahkan dibantu.

Yesus menyelamatkan kita dengan menunjukkan bahwa meminta bukanlah suatu yang tidak layak, melainkan suatu yang membebaskan. Itulah jalan keluar dari ketersembunyian dosa, agar dapat kembali memasuki ruang persekutuan. Sejak awal, dosa telah melahirkan rasa malu. Namun pengampunan – pengampunan sejati – lahir ketika kita mampu menghadapi kebutuhan kita dan tidak lagi takut ditolak.

Oleh karena itu, kehausan Yesus di kayu salib juga merupakan kehausan kita. Itu adalah seruan umat manusia yang terluka yang mencari air hidup. Dan kehausan ini tidak menjauhkan kita dari Allah, melainkan mempersatukan kita dengan-Nya. Jika kita memiliki keberanian untuk mengakuinya, kita dapat menemukan bahwa bahkan kerapuhan kita adalah jembatan menuju surga. Justru dalam meminta – bukan dalam memiliki – jalan kebebasan terbuka, karena kita berhenti berpura-pura mandiri.

Dalam persaudaraan, dalam hidup sederhana, dalam seni meminta tanpa rasa malu dan memberi tanpa pamrih, lahirlah sukacita yang tak dikenal dunia. Sukacita yang mengembalikan kita pada kebenaran sejati dari existensi kita: Kita adalah makhluk yang diciptakan untuk memberi dan menerima kasih.

Saudara-saudari terkasih, dalam kehausan Kristus kita dapat mengenali semua rasa dahaga kita sendiri. Dan untuk belajar bahwa tak ada yang lebih manusiawi, tak ada yang lebih ilahi, selain dapat berkata: Aku butuh... Janganlah kita takut untuk meminta, terutama ketika kita merasa tidak layak. Janganlah kita malu untuk mengulurkan tangan. Di sanalah, dalam sikap rendah hati itu, tersembunyi keselamatan (kita).

Cover image: Vincent Van Gogh: The Sower (Sower at Sunset) | Wikimedia Commons, image in the public domain