“Tidak Akan Ada yang Hilang!”: Kelas Bapa Prelat tentang pengharapan

Monsignor Fernando Ocáriz memberi kelas tentang pengharapan pada bulan November 2024 di Roma dalam kesempatan Tahun Yubileum Pengharapan.

Bulla kepausan yang mengumumkan tahun Yubileum, yang diterbitkan oleh Paus Fransiskus, dibuka dengan kata-kata Santo Paulus kepada jemaat di Roma, yang juga menjadi judul dokumen tersebut: "Pengharapan tidak mengecewakan" (Rm 5:5), spes non confundit. Kata-kata ini memiliki makna yang sangat mendalam. Bila kita memiliki harapan sejati, harapan itu tidak akan gagal. Kita mungkin gagal, tetapi harapan tidak pernah gagal, karena Allah setia pada kasih-Nya kepada kita dan pada janji-janji-Nya.

Memang benar, terkadang kita berharap akan hal-hal yang (akhirnya) tidak terwujud. Misalnya, kita mungkin berharap akan keberhasilan dari suatu kegiatan kerasulan tertentu atau hasil tertentu dari suatu percakapan, tetapi kemudian kenyataannya buah yang diharapkan tidak muncul. Apakah ini berarti harapan telah gagal? Tidak, karena harapan, yang berakar pada kasih Allah kepada kita, memungkinkan kita untuk menegaskan dengan keyakinan, seperti yang dikatakan Bapa Pendiri kita, bahwa “tidak ada yang akan hilang!” (The Forge, no. 278). Apa pun yang kita lakukan bagi Allah, apa pun yang kita laksanakan sesuai dengan kehendak-Nya, selalu efektif, bahkan jika kita tidak dengan segera melihat hasilnya. Mungkin kita akan melihatnya dengan cara lain, di lain waktu, atau mungkin kita tidak akan pernah melihat hasilnya dalam hidup ini. Buah hasilnya mungkin berbeda dari apa yang kita harapkan. Namun kita boleh yakin bahwa tidak ada yang hilang.

Setelah pengantar singkat ini, kelas ini pada dasarnya akan terdiri dari pembacaan ulang beberapa teks dari Bulla yang mencanangkan tahun Yubileum, dari tulisan-tulisan Bapa Pendiri kita, dan, tentu saja, dari Kitab Suci. Tujuan saya membaca dan mengomentari teks-teks ini secara singkat adalah untuk membantu kita memupuk sikap dalam diri kita yang memungkinkan pengharapan bertumbuh. Harapan adikodrati adalah anugerah dari Allah; harapan itu tidak dapat dicapai hanya dengan usaha manusia. Namun, kita dapat mempersiapkan jiwa kita untuk menerima karunia-karunia Allah, terutama iman, harapan, dan kasih.

Apa itu harapan?

Harapan adalah kebajikan yang membuat kita percaya bahwa kita akan memperoleh suatu kebaikan di masa depan; sesuatu yang sulit dicapai tetapi mungkin dicapai. Ada tiga prasyarat untuk harapan: Suatu yang berkaitan dengan masa depan, yang sulit, namun yang dapat dicapai. Jika tidak memenuhi (tiga) kriteria ini, itu bukanlah harapan. Misalnya, saya tidak bisa mengklaim berharap untuk terbang ke bulan besok; itu adalah suatu harapan yang absurd, karena mustahil. Demikian pula, jika kita menginginkan sesuatu yang tidak sulit, itu tidaklah memenuhi syarat sebagai harapan: (Misalnya) Saya tidak berharap, dalam arti sempit, untuk sampai di rumah dalam tiga jam. Meskipun tidak ada yang 100% pasti, ada hal-hal yang secara manusiawi, bukanlah objek dari harapan.

Harapan adalah kebajikan fundamental manusia, karena kita semua mengharapkan sesuatu. Kita selalu berharap bahwa pekerjaan kita akan membawa buah hasil, bahwa kebaikan akan terwujud, dan bahwa situasi buruk akan berakhir. Namun, seperti yang telah saya sebutkan di awal, harapan juga merupakan kebajikan teologis yang supernatural. Apa tujuan harapan supernatural? Kehidupan kekal, persatuan dengan Tuhan, keselamatan, dan sukacita surgawi yang tak terkira… Inilah harapan tertinggi. Berpartisipasi dalam kehidupan Tuhan adalah realitas yang mungkin dicapai karena Dia sendiri yang menawarkannya kepada kita.

Di dalam hati setiap orang bersemayam harapan yang alami, yang manusiawi, dan itu penting. Paus menulis: “Harapan bersemayam sebagai hasrat dan penantian akan hal-hal baik yang akan datang, meskipun kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan” (Spes non confundit, no. 1). Harapan mungkin bukan untuk sesuatu yang pasti secara manusiawi, tetapi juga bukan untuk hal yang mustahil: harapan adalah penantian akan sesuatu yang baik dan berpotensi tercapai.

Sasaran harapan teologis, yang memenuhi dan meninggikan harapan alamiah, adalah keselamatan: Kebahagiaan kekal bersama Allah. Santo Paulus berbicara tentang harapan yang “tersedia bagi kita di surga” (Kol 1:5). Harapan akan kebahagiaan yang menanti kita di surga ini terkait dengan iman akan kasih Allah bagi kita dan akan sarana yang telah Dia sediakan untuk membantu kita mencapai surga: Ekaristi, doa…

Harapan akan kehidupan kekal begitu penting sehingga Konsili Trente mengutuk mereka yang mengajarkan bahwa mengharapkan surga atau berbuat baik tanpa menginginkan pahala surga adalah salah. Konsili tersebut mengatakan: “Jika ada yang mengatakan bahwa, orang yang benar akan berdosa jika ia berbuat baik dengan tujuan mendapatkan pahala kekal, terkutuklah ia” (Konsili Trente, sesi VI, kanon 31). Mengharapkan pahala kekal tidak hanya dapat diterima; itu adalah sesuatu yang Allah inginkan, dan sejalan dengan iman dan kasih.

Fondasi harapan

Atas dasar apakah harapan kita? Jawabannya sederhana: iman, sebagaimana Surat Ibrani menegaskan: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan” (Ibr 11:1). Iman macam apakah ini? Iman adalah iman akan kasih Allah bagi kita, iman yang membuat harapan tetap teguh, karena didasarkan pada sesuatu yang tak tergoyahkan: Kasih Allah yang teguh bagi kita semua.

Paus menulis bahwa “harapan lahir dari kasih dan didasarkan pada kasih yang memancar dari hati Yesus yang tertusuk di kayu salib” (Spes non confundit, no. 3). Beliau mengutip kata-kata Santo Paulus: “Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya” (Rm 5:10). Harapan memancar dari keyakinan iman akan kasih Allah bagi kita.

Kita perlu memupuk iman akan kasih Allah ini, yang merupakan kasih yang spesifik, dalam hidup kita. Kasih-Nya bukanlah sesuatu yang abstrak, bagi umat manusia pada umumnya; kasih itu bersifat pribadi. Dia mengasihi kita masing-masing, sekarang dan selamanya. Tuhan memandang kita, Dia hadir di dalam diri kita melalui rahmat ilahi yang mengangkat dan menguduskan kita, dan Dia mengasihi kita dengan cara yang sangat pribadi. Kasih inilah kekuatan kita. Kasih inilah yang memampukan kita untuk berharap pada sesuatu yang, meskipun sulit, tetap mungkin (dicapai): Bahwa kita dapat menjadi orang kudus. Tujuan yang kita harapkan adalah persatuan penuh dan definitif dengan Allah.

Harapan sangat penting dalam kehidupan rohani, dalam perjuangan asketis, dimana kita perlu mulai dan mulai lagi. Harapan kita tidak berdasarkan pada kekuatan kita sendiri, seolah-olah perjuangan ini harus kita menangkan dengan segala cara, melainkan berdasarkan pada kasih Allah bagi kita. Dia tahu kelemahan kita dan Dia mengandalkan kuasa-Nya yang tak terbatas, yang identik dengan kasih-Nya bagi kita.

Penting juga untuk mempertimbangkan bahwa, dalam Tuhan, pengetahuan dan kasih adalah hal yang sama. Dia mengenal kita dan mengasihi kita tanpa batas. Secara khusus, semangat Opus Dei mendorong kita untuk terus meenungkan bahwa sungguh kasih Allah telah menjadikan kita anak-anak-Nya. Kesadaran kita bahwa kita adalah putra-putri Allah (keputraan ilahi) memperkuat harapan kita, sebagaimana dijelaskan oleh Bapa Pendiri kita dalam salah satu homilinya: “Dalam diri saya, dan saya berharap hal yang sama terjadi pada Anda, kepastian yang saya peroleh dari perasaan — dari pengetahuan — bahwa saya adalah seorang putra Allah memenuhi saya dengan harapan sejati yang, sebagai kebajikan adikodrati, beradaptasi dengan kodrat manusia ketika harapan ini tertanam dalam diri kita, dan oleh karena itu juga adalah suatu kebajikan yang sangat manusiawi” (Sahabat Tuhan, no. 208).

Harapan, sebagai keutamaan adikodrati, meningkatkan kapasitas kodrati manusia untuk mengharapkan apa yang baik, bahkan ketika itu sulit. Mengetahui bahwa kita adalah anak-anak Allah menuntun kita kepada pengharapan yang teguh akan tujuan akhir kita. Pengalaman akan kekurangan kita mungkin membawa kita untuk sekadar bercita-cita bahwa kita akan diselamatkan, seolah-olah keselamatan adalah sesuatu yang berbeda dari kekudusan, dan memandang kekudusan sebagai “utopia asketis.” Namun, tujuan keselamatan adalah kekudusan, dan jika pada akhir hidup kita belum mencapai kekudusan, kita akan berada di api penyucian sampai kita mencapainya. Sulit untuk menjadi kudus tanpa usaha; oleh karena itu, menjalani hidup kudus itu sulit , tetapi harapan untuk mencapainya menjadi mungkin dengan rahmat Allah.

Seperti yang baru saja saya ingatkan, dengan menggunakan kata-kata Bapa Pendiri kita, harapan kita ditandai oleh keputraan ilahi. Kita memiliki alasan luar biasa untuk berharap menjadi orang kudus, untuk percaya akan efektivitas hidup kita, dan alasannya adalah bahwa kita adalah putri dan putra Allah yang terkasih. Kita sering merenungkan hal ini, dan kita dapat melakukannya sekarang dengan kata-kata Santo Yohanes: “Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita” (1 Yoh 4:16). Menurut Injil, hakikat hidup adalah mengenal dan percaya akan kasih Allah bagi kita, mengetahui bahwa kita adalah anak-anak Allah berkat kasih-Nya, dan terus memperbarui kepercayaan ini.

Iman akan kasih Allah membawa kita untuk hidup dengan penuh kepercayaan pada Penyelenggaraan-Nya; mengetahui bahwa kita tidak ditinggalkan dalam keacakan dunia. Allah tidak hanya begitu mengasihi kita, tetapi kemudian membiarkan kita berjuang sendiri: Dia mengasihi kita dan, dengan menghormati kebebasan kita, senantiasa menyertai kita. Kasih-Nya tidak jauh, dan penuh pemeliharaan. Dalam ensikliknya tentang harapan, Spe Salvi, Paus Benediktus XVI menulis bahwa “Allah adalah dasar harapan: Bukan sembarang allah, melainkan Allah yang berwajah manusia dan yang telah mengasihi kita sampai akhir, mengasihi setiap orang dari kita dan seluruh umat manusia” (no. 31). Harapan didasarkan pada iman akan kasih Allah yang nyata bagi kita. Sebaliknya, dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Santo Paulus menggambarkan bangsa-bangsa lain sebagai orang-orang “tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dunia” (Ef 2:12). Harapan didasarkan pada Allah, pada kasih-Nya yang nyata dan pribadi. Meskipun ada harapan manusiawi, harapan manusiawi terbatas pada kehidupan ini dan tidak melampauinya. Tanpa Allah, kita tidak dapat memiliki harapan sejati akan sesuatu yang definitif.

Kepastian pada apa yang Tuhan tentukan

Harapan Kristiani memiliki karakteristik yang tampaknya suatu paradoks: Kepastian. Bisakah kita yakin akan sesuatu yang mungkin, tetapi tidak segera atau sepenuhnya pasti? Ya: kita memiliki harapan yang pasti, berdasarkan kehendak Allah, dan pada kenyataan bahwa Dia setia dalam kasih-Nya kepada kita.

“Inilah kehendak Allah, yaitu pengudusanmu” (1 Tes 4:3). Ini bukan hanya berarti Allah menghendaki kita menjadi orang kudus, melainkan Allah sungguh bertekad (jika boleh dikatakan begitu) agar kita menjadi orang kudus. Allah telah memberi kita sarana (Wahyu, Sakramen-sakramen…) tanpa memaksakannya pada kebebasan kita; Ia memberi kita kebebasan. Ia juga memberi kita semua rahmat yang diperlukan agar kita mencapai tujuan itu. Kita memiliki harapan yang pasti untuk mencapai tujuan itu, jika kita menginginkannya, karena rahmat Allah tidak akan kurang: Allah itu setia.

Kita melihat ini dalam kata-kata Santo Paulus dalam Surat kepada Jemaat di Efesus: “Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita — oleh rahmat kamu telah diselamatkan dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di surga” (Ef 2:4-7). Rasul Paulus tidak mengatakan, “Ia akan memberi kita tempat di surga”, melainkan, “Ia telah memberi kita tempat di surga.” Kekuatan harapan ini menuntun pada kepastian, yang tetap saja adalah suatu harapan.

Bapa Pendiri kita menulis: “Saya bahagia karena saya yakin kita akan mencapai Surga jika kita tetap setia sampai akhir” (Sahabat Allah, no. 208). Meskipun mungkin tampaknya kontradiktif untuk yakin akan sesuatu yang tidak pasti, pada kenyataannya itu tidak kontradiktif. Inilah hakikat harapan Kristiani sejati. Kita begitu yakin akan kasih Allah sehingga kita dapat memiliki harapan yang pasti dan jelas. Harapan ini mengatasi kekurangan dan keburukan kita dan membawa kita pada kepastian bahwa, seperti yang dikatakan Bapa Pendiri kita, meskipun kita akan mati dengan segala kekurangan kita, kita masih bisa menjadi orang kudus karena, dengan kerja sama kita, Tuhan akan membawa kita pada kekudusan yang terdiri dari kepenuhan cita. Kepenuhan cinta ini sangat kompatibel dengan memiliki kekurangan, selama kekurangan itu tidak diterima atau diinginkan, tetapi terus diatasi, demi cinta, walau mungkin kita tidak pernah berhasil mengatasinya sepenuhnya.

Oleh karena itu, kita yakin akan mencapai Surga jika kita setia, jika kita tetap berada dalam kasih-Nya. Lebih dari itu, kita yakin bahwa kita akan setia jika kita mau, jika kita dengan rela bertekun dalam kasih, karena rahmat Allah tidak akan pernah mengecewakan kita.

Kepastian akan hal yang tidak mungkin

Harapan Kristiani bukanlah harapan yang mustahil, karena kita mengandalkan rahmat Allah. Oleh karena itu, dalam ranah adikodrati, baik dalam pengudusan pribadi kita maupun dalam efektivitas karya kerasulan Opus Dei — dalam kehidupan pribadi dan juga dalam upaya kita melaksanakan Opus Dei — kita harus mengingat apa yang dikatakan Bapa Pendiri kita tentang “kepastian akan hal-hal yang mustahil” (Surat 29, no. 60). Harapan memungkinkan kita untuk pasti akan hal-hal yang mustahil.

Kepastian akan hal yang mustahil ini pertama-tama berkaitan dengan bahwa kita akan menjadi orang kudus, karena bila kita melihat kelemahan-kelemahan kita dan kemampuan terbatas kita, mungkin tampak mustahil bagi kita untuk mencapai kekudusan. Namun, kita yakin bahwa kita mampu, karena kita memiliki iman akan kasih Allah, yang merupakan fondasi pengharapan.

Kita dapat mengingat sosok nabi Abraham, yang berharap melawan segala harapan, seperti yang diingatkan Santo Paulus dalam suratnya kepada Jemaat di Roma. Bapa Paus juga sering mengingat kata-kata ini: “berharap melawan segala harapan.” Sekali lagi, dengan ungkapan seperti ini, tampaknya ini adalah suatu kontradiksi, tetapi jika dipahami dengan benar, itu adalah kepenuhan harapan. Artinya, kita dapat berharap bahkan ketika, secara manusiawi, tampaknya tidak ada alasan untuk berharap.

Oleh karena itu, harapan Kristiani memiliki fondasi yang kokoh: Janji Allah sendiri tentang persatuan (kita) dengan-Nya, yang adalah hakikat dari kemuliaan di surga. Namun, harapan ini juga terungkap dalam banyak aspek dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya harapan dalam kerasulan itu penting. Sebagaimana ditulis Santo Paulus dalam Surat Pertama kepada Jemaat di Korintus, “Tetaplah teguh (...), karena kamu tahu, bahwa dalam Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia” (1 Kor 15:58). Bapa Pendiri kita mengukir kata-kata Latin dari teks ini di ambang pintu di Villa Vecchia di Roma: Semper scientes quod labor vester non est inanis in Domino. Tidak ada yang kita lakukan sia-sia di hadapan Tuhan.

Dalam Spes non confundit, Bapa Paus mengajak kita untuk membawa harapan kepada sesama, ketika beliau menulis, “perhatian inklusif juga harus diberikan kepada semua orang yang berada dalam situasi yang sangat sulit, yang mengalami kelemahan dan keterbatasan mereka sendiri” (no. 11). Kita harus membawa harapan kepada sesama, karena banyak orang yang tampaknya telah kehilangan harapan. Hidup tanpa harapan, tanpa tujuan yang bermakna dan yang layak diperjuangkan, sungguh melumpuhkan. Kita harus membawa harapan kepada sesama dalam kerasulan dan dalam menjaga dan memelihara (dalam pembinaan) mereka semua dalam Karya. Kita harus menjadi pembawa harapan, menjadi orang yang lebih fokus pada solusi daripada masalah. Kita harus bersikap positif dan berbagi harapan.

Kita juga perlu hidup dengan penuh harapan ketika menghadapi kesulitan pribadi. Kita semua sedikit banyak menghadapi kesulitan; ketika kita berhadapan dengan kekurangan kita sendiri, dalam pekerjaan kita, dalam kesehatan kita, dalam semua jenis kesulitan. Kita bisa jadi dan memang menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hidup. Dalam Spes non confundit, Paus mengutip panjang lebar sebuah bagian dari Surat kepada Jemaat di Roma 8:35–39. Santo Paulus menulis: “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Kesusahan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya atau pedang? Tidak, dalam semua hal ini kita lebih dari pada orang-orang yang menang melalui Dia yang telah mengasihi kita. Karena aku yakin bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” Ini adalah teks yang luar biasa, dan harus direnungkan berulang-ulang dalam doa kita.

Paus berkomentar singkat: “Di sini kita melihat alasan mengapa harapan ini bertahan di tengah pencobaan: didasarkan pada iman dan dipelihara oleh kasih, itu memungkinkan kita untuk terus maju dalam hidup” (Spes non confundit, no. 3). Kita dapat terus maju apa pun tantangan yang harus kita hadapi. Apa yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah? Pemerintah-pemerintah, penguasa-penguasa, maut, hidup, pedang, bahaya-bahaya, kelaparan? Tidak, tidak ada yang dapat memisahkan kita, jika kita tidak ingin dipisahkan. Santo Paulus berkata bahwa “tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah dalam Kristus Yesus” (Rm 8:39). Hanya kita yang dapat memisahkan diri kita dari kasih Allah. Tidak ada yang lain: Bukan iblis, atau penyakit, atau pertentangan, hanya kebebasan kita sendiri. Inilah sebabnya, dalam menghadapi kesulitan, kita selalu dapat memiliki harapan yang besar akan kasih Allah, dalam Kristus Yesus.

Dimanakah harapanmu?

Dalam konteks yang sama, sungguh luar biasa membaca ulang teks berikut dari Bapa Pendiri kita, dalam Instruksi untuk Karya Pembinaan Santo Raphael: “Bekerjalah dengan penuh harapan: tanam, siram, percaya kepada Dia yang memberi pertumbuhan, kepada Allah (1 Kor 3:7). Dan jika keputusasaan datang, jika Tuhan mengizinkan godaan seperti itu; bila menghadapi keadaan yang tampaknya merugikan; ketika mempertimbangkan, kadang-kadang karya pembinaan dalam kerasulan tampaknya tidak efektif; jika seseorang, seperti ayah Tobias, bertanya kepada Anda: Ubi est spes tua? Di mana harapanmu? … Angkatlah pandanganmu ke atas segala kesengsaraan hidup, yang bukanlah tujuan hidupmu, dan jawablah bersama orang yang kuat dan penuh harapan dari Perjanjian Lama: quoniam memor fuit Domini in toto corde suo (Tob 1:13), karena ia selalu mengingat Tuhan dan mengasihi Dia dengan segenap hatinya: filii sanctorum sumus, et vitam illam expectamus, quam Deus daturus est his, qui fidem suam nunquam mutant ab eo; kita adalah anak-anak para kudus, dan kita menantikan kehidupan yang akan Allah berikan kepada mereka yang tidak pernah meninggalkan iman kepada-Nya (Tob 2:18)” (Instruksi, 9-I-1935, cfr. AGP, Biblioteca, P01). Menghadapi kesulitan, kita harus bekerja dengan penuh harapan. Kita harus menabur, penuh kepercayaan kepada Allah yang memberi pertumbuhan, tidak mengandalkan usaha kita sendiri, tetapi menempatkan segalanya dalam pelayanan Tuhan dalam semua karya kerasulan. Sekali lagi, kita tahu bahwa harapan kita berdasarkan atas kepastian kasih Allah bagi kita.

Oleh karena itu, berharaplah dalam pengabdian diri kita, dengan murah hati. Bermurah hati dalam kerasulan sangatlah penting, dalam segala hal yang membutuhkan upaya untuk menjangkau sesama, termasuk dalam matiraga bagi karya kerasulan, yang berarti mendedikasikan waktu, mengatasi kesulitan, dll.

Suatu saat di Venezuela Bapa Pendiri kita, berkomentar: “Saya baru saja ingat ketika kami memulai karya (kerasulan) ini bertahun-tahun yang lalu. Saya mulai dengan tiga orang, dan sekarang jumlahnya mencapai ribuan, ratusan ribu. Namun, (waktu itu) kami memiliki harapan. Konon, ketika Alexander Agung menyiapkan diri untuk perang, pertama-tama ia membagi-bagikan semua hartanya kepada para kaptennya. Dan salah satu dari mereka berkata: ‘Tetapi, Tuan, apa yang tersisa untuk Anda?’ Alexander menjawab: ‘Yang tersisa bagi saya adalah harapan.’” Dan Bapa Pendiri kita menambahkan: “Tersisalah harapan bagi saya, ketika saya melihat Anda sekalian.” Begitulah adanya. Kata-kata ini dapat menuntun kita untuk memiliki harapan pada orang lain. Ketika Anda melihat kelemahan-kelemahan Anda sendiri, Anda dapat dipenuhi dengan harapan ketika Anda melihat para saudara-saudari Anda. Dan harapan itu harus menjangkau seluruh dunia.

Damai, doa, sukacita

Paus berbicara tentang harapan akan perdamaian di dunia, perdamaian yang nyaris ada, dan bukan hanya karena adanya perang-perang besar — mengerikan dan menyedihkan sebagaimana adanya — tetapi juga karena kurangnya perdamaian dalam masyarakat. Seperti yang dikatakan Bapa Pendiri kita : “Tidak ada kedamaian dalam hati nurani” (Dalam Dialog dengan Tuhan, no. 101). Paus menulis bahwa “tanda pertama harapan seharusnya adalah keinginan adanya perdamaian di dunia, yang lagi-lagi terbenam dalam tragedi perang saat ini” (Spes non confundit, no. 8). Kita berharap bahwa dunia akan membaik, dan itu adalah bagian dari harapan kita dari karya kerasulan yang efektif. Tetapi dengan penuh realisme juga: Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, dan kita tidak dapat memprediksi masa depan.

Memang, Kitab Wahyu dan prediksi Yesus dalam Injil tentang akhir dunia sangat dramatis. Namun, hal ini tidak merampas harapan kita. Sebaliknya, hal ini mendorong kita untuk bertindak agar, setidaknya, dengan sedikit yang dapat kita perbuat, segalanya dapat menjadi lebih baik. Memandang dunia saat ini, kita dapat melihat bahwa banyak negara yang mengalami dekristianisasi. Semakin banyak orang tidak menerima sakramen-sakramen, meskipun mereka Katolik. Ada kota-kota di negara-negara yang dulunya negara Kristiani, di mana praktik -praktik keagamaan tersebar luas, sekarang hanya sebagian kecil penduduknya yang menghadiri Misa hari Minggu. Dan di saat yang sama, di negara-negara lain keadaannya jauh lebih baik. Namun, di kedua tempat-tempat tersebut diatas, kita yakin bahwa banyak orang baik. Seperti yang pernah dikatakan Uskup Javier: “Ada begitu banyak orang baik di dunia!” Kebanyakan, yang kurang hanyalah pembinaan. Kesulitan yang kita hadapi dalam karya kerasulan seharusnya tidak pernah menjadi alasan untuk berkecil hati, melainkan kesempatan untuk lebih banyak berdoa, untuk lebih berani, untuk lebih dekat dengan orang lain dan membantu mereka melalui persahabatan dan rasa kepercayaan. Semakin menantang lingkungan kita, semakin banyak Tuhan mengandalkan (kolaborasi) kita; bukan karena kita lebih baik, tetapi karena Dia telah memberi kita banyak pembinaan, meskipun kita orang yang tidak berarti. Karena itu, marilah kita kuat dalam pengharapan!

Ini berlaku untuk semuanya. Harapan apa yang kita miliki dalam doa? Tuhan bersabda, “Mintalah, dan kamu akan menerima” (Yoh 16:24). Kata-kata yang luar biasa! Mintalah, dan kamu akan menerima. Dan itu sepenuhnya benar. Ada saat-saat ketika kita meminta dan tidak menerima, tetapi kita percaya bahwa kita telah menerima dengan cara lain, atau bahwa kita tidak meminta dengan benar. Di waktu lain, kita meminta dengan benar, dan tampaknya kita masih belum menerima. Misalnya, kita mungkin berdoa untuk suatu intensi kerasulan tertentu atau untuk kesembuhan seseorang, dan orang itu tidak menjadi lebih baik. Apakah ini berarti doa itu sia-sia? Tidak. Bahkan jika kita tidak mendapatkan apa yang kita minta, doa itu tidak sia-sia. Kita boleh pasti dalam harapan, melalui iman akan Firman Tuhan. Tidak akan ada yang hilang.

Akhirnya, berharaplah dengan sukacita. “Bersukacita dalam pengharapan,” kata Santo Paulus (Rm 12:12). Dan ini bukanlah harapan seperti dalam dongeng di mana segala sesuatu akan sempurna; itulah sebabnya Santo Paulus menambahkan: “bersukacitalah dalam pengharapan, sabar dalam penderitaan, tekun dalam doa.” Bapa Pendiri kita mengungkapkan semua itu demikian: “Optimis, bergembiralah: Allah beserta kita! Itulah sebabnya, setiap hari, saya dipenuhi dengan harapan.” Optimis, bergembiralah, karena Allah beserta kita. Keutamaan pengharapan membantu kita melihat sisi positif dari segala sesuatu, keindahan hidup ini, karena kita melihat kasih Allah dalam segala hal, bahkan ketika kita tidak paham. Oleh karena itu, ketika kita merasa sedikit putus asa, pesimis, atau sedih, marilah kita bereaksi dengan cepat, dengan tindakan iman yang besar, yang didasarkan pada pengharapan yang penuh sukacita ini: hari ini, saat ini juga, Allah sangat mengasihiku. Kita masing-masing harus mengatakan ini, merenungkannya, dengan penuh iman. Dan ini akan membangkitkan semangat kita.

Berbicara tentang harapan, pikiran dan hati kita tentu saja tertuju kepada Santa Perawan Maria, Spes Nostra (Harapan kita). Ia adalah Bunda Harapan, yang memperoleh rahmat harapan bagi kita dari Putranya , agar kita memiliki harapan dan berbagi harapan, sebagaimana dikatakan Santo Petrus: “Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu” (1 Ptr 3:15).

***

Saya akan menutup dengan frasa indah dari Santo Paulus: “Semoga Allah, sumber pengharapan, memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam imanmu, sehingga kamu berlimpah-limpah dalam pengharapan oleh kekuatan Roh Kudus” (Rm 15:13). Saya mendorong Anda untuk sering membaca dan merenungkannya. Marilah kita bersukacita dan, ketika secara manusiawi ada alasan untuk tidak bersukacita, marilah kita mengingat bahwa di atas segala alasan manusiawi, ada alasan yang jauh lebih besar, yang menjadi fondasi pengharapan kita: Kasih Allah bagi kita.

Msgr. Fernando Ocáriz, Prelate of Opus Dei