Dalam lukisan cat minyak di atas kanvas yang tersimpan di Berlin, pada tahun 1627 Rembrandt menggambarkan sebuah gambar seorang lelaki tua yang duduk di meja di tengah kegelapan, yang diterangi dengan sebuah lilin. Koin emas dan surat kepemilikan yang menggunung di sekelilingnya. Diantara banyak benda di meja itu ada sebuah jam, suatu pertanda bahwa waktu hidupnya sendiri sudah dihitung. Orang tua itu memakai kacamata untuk membantu penglihatannya yang buruk, dan tangan kanannya menutupi cahaya dari lilin yang menerangi meja dan barang-barang miliknya: Sebuah cahaya yang tidak pasti, seperti benang kehidupan, yang mana kelak akan segera padam.
Inilah bagaimana cara seorang seniman yang kondang menggambarkan perumpamaan yang pernah disampaikan Yesus kepada kerumunan orang banyak : Ada seorang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya. Ia bertanya dalam hatinya : Apakah yang harus aku perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat dimana aku dapat menyimpan hasil tanahku. Lalu katanya : Inilah yang akan aku perbuat; Aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan aku akan menyimpan di dalmnya segala gandum dan barang-barangku. Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku : Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya ; beristirahatlah, makanklah, minumlah dan bersenang-senanglah! Tetapi firman Allah kepadanya : Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan untuk siapakah itu nanti? Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah (Luk. 12: 16-21). Tuhan sendiri menggambarkan orang kaya itu sebagai “orang bodoh” dan tidak bijaksana. “Seseorang yang dikenal sebagai orang yang pintar dan sukses adalah orang yang bodoh di hadapan Allah: ‘Bodoh’, kata Tuhan kepada orang tersebut. Dan sekarang dia hadir dalam kehidupan nyata dengan segala perkiraannya telihat seperti orang yang sangat bodoh dan bersudut pandang sempit, sebab dalam semua perhitungannya, dia telah melupakan kenyataan bahwa jiwanya tidak hanya membutuhkan harta benda dan kepuasaan belaka, namun suatu saat nanti akan menghadap Tuhan.”[1] Orang ini tidak menyadari bahwa arti sejati dari kehidupannya terkandung dalam kasih bagi Tuhan dan sesama. Jadi, ketika dia mendapatkan kesempatan untuk melayani sesama, dia hanya bisa memikirkan dirinya sendiri. Jauh dilubuk hatinya dia tidak menyadari seperti apa “keadaannya yang sesungguhnya”, dia tidak mampu berbuat baik, karena “kebaikan itu apa yang sesuai dengan kenyataan.”[2] Itulah mengapa dia merupakan orang bodoh. Itulah mengapa dia tidak bijaksana.
Kebijaksanaan Palsu
Kebijaksanaan adalah sebuah keutamaan yang menghubungkan tindakan kita dengan kenyataan; orang yang bijaksana adalah orang yang melihat segala sesuatu seperti apa adanya. Didasari hubungan dengan kenyataan yang ada, kebijaksanaan menuntun kita untuk memilih cara yang cocok untuk menghasilkan hasil akhir yang baik, dan untuk melaksanakan hal tersebut. Inilah yang dikatakan, bahwa kebijaksanaan tidak menerima semua hasil yang baik saja. Santo Josemaria pernah berkata “ kita perlu untuk selalu bertanya pada diri kita sendiri akan: kebijaksanaan, untuk apa?”[3] Dan kita menjawab : untuk mencintai Tuhan dan sesama kita pria dan wanita. Sama halnya dengan yang dituliskan oleh Santo Agustinus, “Kebijaksanaan adalah cinta yang membedakan dengan baik antara apa yang membantu dan apa yang menjauhkan kita dalam usaha kita berjalan menuju pada Allah.”[4]
Kebijaksanaan perlu didampingi oleh iman dan belaskasih tanpa menghilangkan hakekatnya masing-masing. Itulah yang menjadi fakta atas dua bentuk kebijaksanaan palsu. Pada dasarnya ada dua bentuk kebijaksanaan yang palsu. Satu yaitu “kebijaksanaan daging” yang sederhana dan sesaat (lih Rom 8:6) yang dimiliki oleh orang yang hanya berfokus pada kesenangan dan kenikmatan inderawi yang sesaat, dan hanya semata-mata berusaha mencari kenikmatan dan memilikinya tanpa memikirkan tujuan-tujuan yang lebih penting.[5] “Dia menyebutnya akal budi, tapi hanya menggunakannya / / untuk menjadi lebih buas dari hewan manapun,” kata Mephistopheles dalam buku berjudul “Faust” karangan Goethe.[6] Kebijaksanaan palsu yang kedua adalah “Kelicikan” : kemampuan mencari berbagai cara untuk mencapai tujuan yang salah. Akhir yang buruk ini tidak perlu menjadi sesuatu yang menarik bagi indra kita, seolah-olah kesenangan adalah sesuatu yang buruk dalam dirinya sendiri. Hal ini bisa saja melibatkan, sebagai contoh, sebuah pencarian egois demi kemapanan diri sendiri, tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain,[7] sama seperti kasus orang kaya di perumpamaan kita.
Keibjaksanaan yang sejati, seperti yang diajarkan oleh Katekismus Gereja Katolik, “Kebijaksanaan adalah kebajikan yang membuat budi praktis rela, supaya dalam tiap situasi mengerti kebaikan yang benar dan memilih sarana yang tepat untuk mencapainya.”[8] Kebaikan yang sejati ini tidak dibatasi pada apa yang menarik bagi indra kita, tetapi meliputi keseluruhan diri orang tersebut; ini adalah kebaikan yang muncul dari kebenaran segala sesuatu itu sendiri, dan bukan hanya berasal dari keinginan saya sendiri. Kebijaksanaan yang sejati dapat diperoleh ketika kita bertekun dalam jalan yang akan benar-benar membuat kita bahagia — sebuah jalan kekudusan, cinta, kesetiaan — terlepas dari kesulitan yang kita hadapi. Inilah menikmati kesenangan dalam jalan yang selaras dengan kebenaran atas keberadaan kita.
Definisi kebijaksanaan ini mengisyaratkan adanya pertimbangan dan pilihan. Untuk yang pertama (“untuk dapat membedakan apa itu kebaikan sejati kita”), kita perlu membimbing kehendak dan hati kita untuk dapat mencintai dan menginginkan kebaikan sejati. Ini dicapai dalam hubungan dengan keutamaan lainnya, terutama dengan keadilan, tapi juga dengan keberanian dan penguasaan diri. Karena kebajikan moral mengarahkan kebijaksanaan menuju kebaikan : hanya dengan mereka kita dapat mengarahkan diri kita sendiri menuju tujuan yang baik dan “ memilih cara yang tepat” untuk mewujudkannya. Tapi, pada saat yang bersamaan, arti dari tindakan apapun yang dipenuhi kebajikan mencakup kebijaksanaan sebagai “ukurannya”, karena kebijaksanaan menghubungkan tindakan kita dengan kenyataan dan memutuskan, disini dan sekarang, jalan tengah, jalan yang paling baik, dan antara dua ekstrem yang salah. Artinya, kebijaksanaan merupakan syarat bagi tumbuhnya nilai-nilai moral yang lain, maupun sebagai hasil dari keutamaan-keutamaan tersebut. Ini seperti “lingkaran keutamaan”. Itulah mengapa edukasi dan lingkungan tempat kita tumbuh sangat penting. Karena di sana kita belajar untuk mencintai dan menikmati kebaikan sejati, bukan melalui penalaran, melainkan melalui pengidentifikasian diri kita sendiri dengan orang-orang yang kita cintai.
Mempertimbangkan : Berhenti untuk Berpikir
Dalam studinya yang cermat tentang keutamaan akan kebijaksanaan, Santo Thomas Aquinas membedakan di dalamnya tiga tindakan: mempertimbangkan, memutuskan dengan benar, dan memerintah. Dua yang pertama hanya terjadi pada akal budi kita, yang ketiga, sebaliknya, menuntun kita pada sebuat tindakan.[9] Ketiga tindakan ini dapat dengan jelas dilihat dalam narasi Yesus yang lain: Perumpamaan tentang sepuluh gadis, lima diantaranya bodoh dan lima lainnya bijaksana. Di dalam perumpamaan tersebut, Tuhan kita menggunakan bagian dari upacara pernikahan Yahudi sebagai gambaran Kerajaan Surga dan kedatangan-Nya yang kedua pada akhir zaman (Lih. Mat. 25 : 1-13).
Upacara yang dijelaskan dalam perumpamaan tersebut melibatkan membawa pengantinwanita ke rumah calon suaminnya. Di penghujung hari, biasanya pada saat matahari terbenam di hari Rabu, para tamu dijamu di rumah wanita tersebut. Pengantin pria akan datang pada senja hari dengan sahabat-sahabatnya. Diterangi dengan lampu minyak, ia diterima oleh para tamu. Juga merupakan kebiasaan ada sepuluh gadis yang memegang pelita untuk menunggu kedatangan mempelai pria. Inilah kesepuluh gadis yang Yesus katakan mengambil pelita mereka dan pergi menemui mempelai laki-laki. Seluruh arak-arakan kemudian harus berjalan, disertai dengan cahaya dari lampu-lampu ini, menuju ke rumah ayah sang suami, tempat dimana pernikahan akan dilangsungkan.
Tetapi tidak semua gadis dalam perumpamaan tersebut sama-sama mempersiapkan diri dengan baik: lima diantaranya bodoh dan lima lainnya bijaksana ( Vulgata Latin di sini memiliki quinque, prudentes, “lima yang bijaksana,”, yang mana ditemukan dalam beberapa terjemahan Bahasa Inggris). Karena ketika yang bodoh membawa pelita mereka, mereka tidak membawa minyak bersama mereka; tetapi yang bijaksana membawa sebotol minyak. Yang terakhir berpandangan jauh kedepan. Mereka menyadari bahwa mempelai pria mungkin datang terlambat, dan pelita mereka tidak akan bertahan lama (mempertimbangkan). Jadi, mereka memutuskan untuk membawa sebotol minyak bersama mereka, meskipun ada ketidaknyamanan yang terlibat ( keputusan). Dan pada akhirnya mereka bertindak sesuai dengan apa yang telah dipertimbangkan dan diputuskan (perintah). Tetapi gadis-gadis yang bodoh, meskipun mungkin mereka telah mendengarkan gadis-gadis yang bijaksana berbicara tentang masalah tersebut, dan bahkan melihat mereka pergi untuk mengambil botol minyak, gadis-gadis bodoh tidak ingin memperumit hidup mereka. Mereka terbawa oleh ketergesa-gesaan dan permainan-pemainan dan canda tawa dan mereka gagal memikirkan hal-hal penting lainnya. Perumpamaan tersebut memberi kita kesan bahwa gadis-gadis yang bodoh itu tidak bijaksana mungkin terutama disebabkan oleh kurangnya pertimbangan dan kecerobohan mereka yang konyol.
Pada akhirnya, apa yang terjadi dapat dengan mudah diprediksi : ketika mempelai pria itu terlambat, mereka semua terlelap dan tertidur. Namun pada saat tengah malam terdengar suara, “lihatlah, mempelai laki-laki! Keluarlah dan temuilah dia.”. kemudian pada gadis muda bangun dan mengemasi pelita mereka, namun gadis-gadis yang bodoh menyadari bahwa pelita mereka telah padam karena kehabisan minyak. Jadi mereka meminta kepada gadis-gadis yang bijaksana untuk meminjamkan sedikit minyak pada mereka, yang kemudian ditolak mentah-mentah karena gadis-gadis itu bijaksana. Mungkin ini tidak akan cukup bagi kami dan kamu; lebih baik pergilah ke penjual minyak dan belilah untuk diri kalian. Tetapi mempelai pria pada saat itu telah tiba dan arak-arakan pengantin menuju ke rumahnya sendidri dimulai, ditemani oleh lima gadis bijaksana dengan pelita mereka yang menyala dan para tamu yang bernyanyi dan menari. Ketika rombongan ini tiba di rumah mempelai pria, pintu ditutup dan perjamuan dimulai. Pada saat lima gadis bodoh tiba, itu sudah telambat. Walapun mereka memohon untuk masuk : Tuan, tuan, bukakanlah bagi kami, mereka menerima jawaban yang keras : Aku tidak mengenal kalian.
Kita bisa bertanya pada diri kita masing-masing : mengapa Yesus menyebut beberapa gadis itu bijak dan yang lain bodoh? Perumpamaan tersebut menolong kita untuk mengenali ketiga tahap tindakan yang bijaksana, tetapi yang pertama menonjol secara khusus : pertimbangan. Untuk bertindak dengan baik, langkah pertama yang dibutuhkan adalah untuk berhenti dan berpikir tentang situasi yang ada, dalam sikap mendengarkan dengan setia dan penuh perhatian bagaimana hal-hal sebenarnya terjadi; untuk mengingat kejadian yang serupa, untuk mendapatkan pengalaman ; dan membiarkan diri sendiri dinasihati oleh orang lain- oleh mereka yang bijaksana. Karena seperti yang juga dikatakan oleh Santo Thomas, “dalam hal-hal yang menyangkut kebiijaksanaan, tidak ada seorang pun yang selalu mandiri.”[10] Dan pada akhirnya kita perlu juga untuk menaruh perhatian pada keadaan yang berubah-ubah, yang mana mungkin menyarankan unutk mengadaptasi rencana yang ada dan membuat keputusan baru untuk mencapai kebaikan yang diinginkan. Akhirnya, hal tersebut membutuhkan pengetahuan akan kebenaran tentang apa yang ada, yang mana merupakan prasyarat yang sangat diperlukan untuk mencapai kebaikan. “Intensi baik” atau “kehendak baik” tidaklah cukup: kita perlu “berjalan dalam kebenaran”, karena hanya kebenaran yang akan membebaskan kamu (Yoh 8 :31).
Santo Josemaria mendorong kita untuk mencermati sebuah masalah secara hati-hati sebelum membuat keputusan, untuk mendengarkan semua pihak yang terlibat dan tidak tergesa-gesa. “Yang mendesak bisa menunggu” katanya, “dan yang sangat mendesak harus menunggu.”[11] Santo Josemaria menekankan kepada kita perlunya meminta nasihat Roh Kudus dalam doa, karena “kebijaksanaan sejati selalu memperhatikan bisikan Tuhan.”[12] Dia juga menyarankan untuk mencari nasihat dari mereka yang dapat membantu kita, seperti pembimbing rohani atau mereka yang berbagi tanggungjawab dengan kita untuk membuat keputusan. Dalam proses mempertimbangkan ini, kerendahan hati sangatlah diperlukan agar membuka diri kita pada kebenaran, pada kenyataan segala sesuatu yang ada.
Memutuskan : Memilih Sebuah Jalan
Sebagai contoh dari tindakan kedua dari kebijaksanaan – memutuskan — kita dapat melihat pada catatan Santo Markus tentang jam-jam awal pada hari Minggu kebangkitan. Maria Magdalena dan para wanita lainnya, yang telah membeli rempah-rempah untuk mengurapi tubuh Yesus, berangkat pagi-pagi sekali ke kubur. Mereka berkata seorang kepada yang lain : Siapa yang akan menggulingkan batu itu bagi kita dari pintu kubur? (Mrk 16:3). Meskipun mereka tidak punya solusi untuk masalah yang akan mereka hadapi, kasih kepada Yesus menggerakkan para wanita tersebut untuk membuat keputusan yang tepat dan bijaksana : mereka memutuskan untuk bertindak dengan data yang mereka punya. “Itu adalah sebuah batu yang besar,” Santo Josemaria berkata. “Inilah yang biasanya terjadi. Kesulitan dapat langsung terlihat, namun ketika kasih hadir, seseorang tidak akan fokus pada hambatan itu. Dengan kenekatan, keputusan, keberanian, apa yang harus dilakukan pasti dilakukan! Siapa yang akan memindahkan batu tersebut? Mereka tidak dapat melakukannya sendirian; namun mereka tetap melanjutkan berjalan menuju kuburan tersebut. Anakku, engkau dan aku, apakah kita cenderung goyah? Apakah kita memiliki tekad yang suci ini, atau apakah kita harus mengakui bahwa kita mereasa malu merenungkan tekad, keberanian, kenekatan para wanita tersebut? Ketika mereka tiba di kuburan, mereka melihat dari dekat, tampaklah, batu yang memang sangat besar itu sudah terguling (Mrk 16:4). Inilah yang selalu terjadi. Ketika kita memutuskan untuk melakukan apa yang perlu kita lakukan, kesulitan akan dengan mudah diatasi.”[13]
Mempertimbangkan, tindakan pertama dari kebijaksanaan, tidak dapat berlangsung tanpa batas, pada titik tertentu kita harus mengakhirinya dan memutuskan. Keraguan adalah bentuk lain dari ketidak bijaksanaan, yang menjadikan pertimbangan sebelumya menjadi steril: tidak ada gunanya untuk mempertimbangkan mana tindakan yang paling baik/benar jika saya tidak berkomitmen untuk melakukannya, baik karena itu tidak menarik bagi saya, atau saya sedang tidak mood, atau saya khawatir pada “ apa yang orang lain akan katakan,” atau takut membuat kesalahan, atau alasan lain apa pun. Tidak ada gunanya untuk mengetahui apa yang terbaik untuk dilakukan, jika saya tidak memutuskan untuk melakukannya. “Besok”: kadang kala itu bijaksana; sangat sering itu adalah keterangan dari kekalahan”[14] kata Santo Josemaria. Orang yang bijaksana tidak mengharapkan kepastian dimana kepastian itu mustahil untuk diraih;, sebaliknyadia “ lebih memilih untuk meleset dua puluh kali dari pada menyerah pada sikap ‘ tidak melakukan apa-apa’ yang santai.”[15] Tidak memutuskan seringkali merupakan bentuk kurangnya kebijaksanaan, karena kemudian orang lain, atau waktulah, yang akan memutuskannya untuk kita. Orang yang bijaksana tidak berpura-pura bahwa segalanya ada dibawah kendali mereka; mereka mengenali keterbatsan mereka sendiri dan percaya pada Allah, karena itulah yang paling sesuai dengan realitas.
Yesus memberikan kepada kita contoh yang mengesankan disini. Dalam Injil, Dia dilihat sebagai seseorang yang mengenal realitasNya, apa yang harus dilakukan-Nya dan kebaikan yang sejati. Dia dengan bijaksana menunggu kedatangan “ waktu-Nya”. Sebagai contoh, di Kana Yesus berkata kepada ibu-Nya: saat-Ku belum tiba (Yoh 2:4). Kemudian pada dua kesempatan, Santo Yohanes menceritakan kepada kita bagaimana Dia berjalanan melewati kerumunan sebab saat-Nya belum tiba (Yoh 7:30; 8:20). Di satu titik, kita bahkan melihat bahwa keinginan dan perasaan-Nya tidak saling bertemu (lih Mat 26 :39). Namun meski demikian Dia memilih untuk melakukan yang baik. Arahan-Nya sebelum penangkapan-Nya di taman Getsemani, Bangunlah, marilah kita pergi! (Mat 26:46), adalah sebuah keputusan yang bijaksana, sebuah pilihan yang bijaksana secara heroik.
Melaksanakan : mengambil tindakan
Pada akhir Khotbah-Nya di Bukit, Yesus berbicara tentang orang yang bijaksana : setiap orang yang mendengarkan perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu ( beberapa terjemahan Inggris mengartikan “ orang yang bijaksana”) … dan setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir (Mat 7 :24-26). Orang yang bijaksana dibedakan dari yang bodoh dalam kemampuan untuk menerapkan apa yang telah dipelajari. Sekedar mempertimbangkan dan memutuskan itu tidaklah cukup : kita perlu bertindak. Inilah tindakan ketiga dari kebijaksanaan sejati : Memimpin atau eksekusi melaksanakan. Santo Thomas berkata bahwa inilah tindakan yang paling penting dari ketiganya, sebab mengetahui cara melakukan sesuatu itu tidak berguna apabila saya tidak melakukannya.[16] Seseorang data bertindak kurang bijaksana, tidak hanya melalui keraguan dan ketergesa-gesaan, tapi juga karena menjadi terhalang oleh tantangan atau gagal untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan, sering kali terjadi karena sekedar lupa untuk melakukannya.
“Berpikir perlahan dan bertindak cepat,” Santo Josemaria pernah menasehati Beato Alvaro del Portillo.[17]Dia ingin mengingatkannya akan kesalahan yang diakibatkan oleh ketergesa-gesaan, dan juga kurangnya kebijaksanaan yang sebetulnya tidak perlu terjadi, namun berperan dalam penundaan keputusan dan implementasinya. Sikap berani itu bukan tanda dari kurangnya kebijaksannan. Lebih dari pada itu, jika memang itu keberanian yang sejati, maka itu adalah kebijaksaan sejati. “Apa yang harus dilakukan, pasti dilakukan... tanpa keraguan, tanpa kecemasan. Jika tidak demikian, Teresa dari Avila tidak akan menjadi santa Teresa: atau Inigo dari Loyola,tidak akan menjadi Santo Ignatius. Tuhan dan keberanian!”[18]
Penundaan yang tidak perlu dalam melaksanakan apa yang telah diputuskan juga dapat merugikan orang lain: Terutama jika seseorang memiliki tugas pembinaan atau pemerintahan, seperti orang tua dengan anak-anak mereka, atau manajer dengan karyawan mereka. Kekuatan itu dibutuhkan untuk mengalahkan ketakutan, dan godaan untuk melakukan apa yang nyaman, atau kelekatan yang berlebihan pada citra diri sendiri. Kita melihat ini dengan jelas pada surat dari Santa Katarina dari Siena kepada Paus Gregorius XI, yang mendesaknya untuk mengatasi kikap berlebihan yang dimiliki oleh beberapa anggota klerus: “Sikap memuaskan diri jenis ini, yang mana berasal dari cinta diri dan cinta kerabat, teman dan kedamaian duniawi, adalah benar-benar kekejaman terburuk, karena jika luka tidak dibersihkan dengan besi panas dan pisau bedah bila perlu, luka itu akan terinfeksi dan akhirnya berujung pada kematian. Mengoleskan minya wangi-wangian bisa jadi menyenangkan bagi mereka yang sakit, tetapi mereka tidak akan menjadi sembuh dengan melakukan hal tersebut.”[19]
Tentunya, keberanian yang berasal dari kebijaksanaan sejati itu tidak bertentangan dengan usaha mencari waktu terbaik untuk menjalankan apa yang telah diputuskan, selalu mengutamakan kasih, kebaikan dari semua orang yang terlibat. Kadang kala kita harus tahu bagaimana untuk menunggu dengan sabar. Di lain waktu, tidaklah bijaksana untuk menunggu, karena konskuensi dari menunggu tersebut bisa jadi lebih buruk, atau kesempatan tersebut tidak akan mucul lagi, atau karena alasan lainnya. Orang yang bijaksana adalah dia yang, di sini dan saat ini, “memahami dengan pandangan pasti apakah tindakan tertentu adalah jalan yang sungguh-sungguh mengarah pada pencapaian tujuan yang dicari.”[20] Bagaimanapun, hanya melakukan apa yang telah diputuskan, setelah pertimbanganyang bijaksana, akan membuat keinginan terdalam akan Yesus tersebut menjadi nyata dalam hidup kita : Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu di sorga (Mat 5:16).
José Brage
Diterjemahkan oleh Frater Bryan
[1] Joseph Ratzinger, The Yes of Jesus Christ, The Crossroad Publishing Company, 1991, hlm. 15.
[2] Joseph Pieper, The Four Cardinal Virtues.
[3] Santo Josemaría, Friends of God, no. 85.
[4] Santo Augustinus, De moribus Eccesiae, I, 15, 25.
[5] Sainto Thomas Aquinas, S. Th. II-II, q. 47, a. 13.
[6] Faust, “Prologue in Heaven.”
[7] Lih. Santo Thomas Aquinas, S. Th. II-II, q. 47, a. 8, ad. 3.
[8] Katekismus Gereja Katolik, no. 1806.
[9] Santo Thomas Aquinas, S. Th. II-II, q. 47, a. 8.
[10] Joseph Pieper, The Four Cardinal Virtues.
[11] Javier Echevarría, Memoria del Beato Josemaría, Rialp, Madrid, 2000, p. 165.
[12] Santo Josemaría, Friends of God, no. 87.
[13] Santo Josemaría, Notes taken during a meditation, 29 March 1959.
[14] Santo Josemaría, The Way, no. 251.
[15] Santo Josemaría, Friends of God, no. 88.
[16] Lih. Santo Thomas Aquinas, S. Th. II-II, q. 47, a. 8.
[17] Letter to Alvaro del Portillo, 28 Februari 1949, di Andrés Vázquez de Prada, El Fundador del Opus Dei III, Rialp, Madrid, 2003, p. 153.
[18] Santo Josemaría, JALAN, no. 11.
[19] Sigrid Undset, Saint Catherine of Siena.
[20] Joseph Pieper, The Four Cardinal Virtues.