“Sungguh Berharga!” (I): Sebuah Kekuatan yang Menaklukan Waktu

Kesetiaan adalah kebajikan yang muncul dalam hubungan antar manusia – dan juga dengan Tuhan – ketika kita percaya pada cinta orang lain.

“Tidak ada orang yang berada di suatu pulau, hidup dengan dirinya sendiri; setiap orang merupakan suatu bagian kecil dari suatu benua, merupakan suatu bagian dari kesatuan…. Setiap kematian dari seseorang mereduksi diriku, karena bagian dari diriku berada dalam keutuhan kemanusiaan dan karena itu jangan pernah pergi untuk mengetahui untuk siapa bel itu berbunyi; bel berbunyi untukmu.” Dalam kutipan yang cukup terkenal, penyair Inggris abad ketujuh belas John Donne berbaring sekarat di tempat tidurnya ketika dia mendengar bel berbunyi dari kejauhan ketika ada pemakaman dari seseorang yang tidak dikenal.

Peristiwa ini mengiringnya untuk berefleksi tentang keterkaitan antara semua orang. Setiap orang terhubung dengan orang lain dalam pengertian tertentu. Kita semua memiliki tujuan yang sama dan sedang melewati dunia ini menuju Allah dengan cepat.

Sebuah Risiko dan Pertaruhan yang besar

Setiap dari kita membentuk sebuah jaringan relasi yang telah menyambut dan menopang hidup kita. Dan hal itu berada dalam ikatan personal dimana kebutuhan akan kesetiaan muncul. Walaupun kata “kesetiaan” digunakan dalam bermacam-macam konteks, “ini sangat relevan,” tulis Bapa Prelat Opus Dei, “untuk mempertimbangkan kesetiaan dalam hubungan antar manusia, dalam aspek terdalam hidup manusia.”[1]

Kita membutuhkan orang lain bukan hanya sekadar untuk kebutuhan material semata, namun juga untuk bahagia. “Karena manusia adalah “animal social”, seseorang secara alamiah berhutang kepada orang lain terkait apapun yang diperlukan untuk pelestarian manusia,” kata Santo Thomas Aquinas, ketika berbicara terkait kebutuhan dari kepercayaan timbal balik dalam masyarakat.

Benar bahwa hal pertama yang kita butuhkan biasanya adalah hal material, tetapi hanya untuk bertahan hidup. Namun, kita juga membutuhkan dukungan orang lain untuk melangkah bersama dalam harapan dan kepercayaan. Oleh karena itu, lanjut Santo Thomas Aquinas: “merupakan hal yang mustahil untuk manusia bisa hidup bersama, kecuali manusia saling mempercayai, seperti menyatakan kebenaran satu sama lain.”[2]

Kita beberapa kali mendengar bahwa waktu kita dicirikan oleh pencarian pribadi untuk otonomi total daripada kesadaran bahwa tindakan kita terkait dengan orang-orang di sekitar kita, bahwa kita lebih memilih ilusi untuk menjadi sepenuhnya mandiri, daripada mengakui kebutuhan kita kepada orang lain. Sikap yang membawa kita untuk mengisolasi diri kita dari orang lain, yang kita semua simpan di dalam diri kita pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil, adalah celah pertama yang harus kita atasi ketika berjuang untuk setia.

Meskipun beberapa keutamaan tidak secara langsung terikat pada relasi dengan orang lain, seperti keberanian atau kesabaran, keutamaan-keutamaan lain hanya ada dalam hubungan. Kesetiaan, secara partikular, merupakan salah satu dari keutamaan itu, karena kesetiaan melibatkan tindakan memberi dan menerima antara dua orang. Pertama, mempercayai bahwa orang lain yang memandangku mempunyai intensi baik, dan yang kedua membangun kehidupan dengan kepercayaan ini bahwa orang lain mencintaiku dan akan terus mencintaiku sampai di masa depan.

Dalam arti ini, ini muncul terlebih dahulu dalam diri orang lain, dan tidak secara tiba-tiba bergantung pada diri kita sendiri. Ini merupakan keutamaan yang mengalahkan tendensi kita terhadap kecukupan diri and mengundang kita kepada keterbukaan yang rendah hati yang, seperti dikatakan Paus Fransiskus ketika berbicara tentang kesetiaan dalam pernikahan, “selalu melibatkan risiko dan pertaruhan yang besar.”[3] Kesetiaan merupakan kekuatan dinamis yang harus bertumbuh. Itu adalah “kekuatan yang menaklukan waktu, bukan melalui kekerasan atau kekakuan, tetapi dengan cara yang kreatif,”[4] dan mengarah pada kehidupan bahagia bersama dengan orang yang kita percayai.

Teresa dari Yesus dan Yesus dari Teresa

Dari apa yang kita lihat di media sosial dan dari pengalaman kita sendiri, kita menyadari betapa pentingnya untuk menemukan kembali keindahan dari kesetiaan, kebaikan manusia yang ditimbulkannya dan kebahagiaan yang dibawanya. Kita melihat secara jelas kebutuhan untuk menemukan kembali makna kesetiaan dalam pernikahaan, dalam keluarga, dalam hubungan antara manusia dengan Allah, dan secara umum, di setiap tipe hubungan personal manusia.[5]

Untuk menemukan kembali makna kesetiaan kita bersandar, pertama dari semuanya, pada pertolongan dari Allah kita. Dan juga pada kerinduan akan kesetiaan yang kreatif yang kita temukan dalam diri banyak orang, dan juga dalam diri kita – “kesetiaan yang adalah jawaban bebas kepada rahmat Allah, hidup dengan keceriaan dan juga dengan humor yang baik.”[6] Hati manusia tidak terpuaskan dengan kehidupan yang sepenuhnya otonom, hidup sendiri, karena “tidak ada kehidupan manusia yang terisolasi. Hidup manusia terikat dengan kehidupan orang lain. Tidak ada laki-laki atau perempuan yang hanya satu ayat, kita semua bersama membuat satu puisi ilahi.”[7]

Di saat yang bersamaan semua ini bisa terlihat seperti mimpi yang mustahil, sesuatu yang melampaui kekuatan kita. Dan dalam arti ini, jika kita hanya bersandar pada diri kita sendiri, kita lemah, dengan kaki dari tanah liat; terlebih, kesetiaan hanya bisa timbul dari relasi antara dua orang. Tetapi pengalaman dari kelemahan kitalah yang mencegah kita untuk bersandar pada keinginan atau bakat kita sendiri. Kata-kata dari Santo Paulus dapat membantu kita: “Segala perkara dapat kutanggung di dalam-Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” (Fil.4:13). Allah, yang menawarkan kepada kita cinta-Nya secara bebas bahkan sebelum kita memintanya, dan tidak akan pernah berhenti mencintai kita tidak peduli apa yang terjadi, memberikan Diri-Nya kepada kita sebagai sumber dari kesetiaan kita kepada-Nya dan kepada orang lain.

Akan tetapi, jika kita berpikir tentang pengalaman kesetiaan Allah dalam hidup kita dan dalam hidup setiap orang, kita bisa berkata “ya” kita bisa percaya kepada diri sendiri. Betapa seringnya, mungkin terutama dalam saat-saat sulit, kita ingat kepercayaan yang telah Tuhan tunjukkan kepada kita, dimulai dengan kelahiran kita (fakta bahwa kita hidup adalah pilihan-Nya), dan kemudian pembaptisan kita dan semua momen hidup kita dimana Allah telah menunjukkan cinta-Nya kepada kita, kedekatan-Nya dan bimbingan-Nya yang menerangi jalan hidup kita.

Walaupun keputusan Allah itu kekal, kepercayaan-Nya yang diberikan kepada kita terungkap dalam kehidupan kita dari waktu ke waktu, dan kita mampu bertumbuh secara konstan dalam kesadaran dan penghargaan akan hak istimewa tersebut.

Namun, ketika kita berusaha untuk menjadi setia hanya melalui kekuatan kita sendiri, ketika kita kehilangan pandangan tentang relasi yang mana kesetiaan kita berdasar padanya, kita berhenti merasakan kepercayaan Allah kepada kita. Dan kita juga melupakan tentang semua rahmat yang telah kita terima, seperti para petani anggur itu yang lupa bahwa mereka bisa bekerja hanya karena sang pemilik kebun anggur keluar mencari mereka terlebih dahulu, dan bukan karena usaha mereka sendiri (lih. Mat. 21:33-46).

Kita berfokus pada seberapa lelah dan kurangnya usaha kita. Sedikit demi sedikit keluhan akan muncul, pelarian, dan ketidaksetiaan dalam hal-hal kecil. Kita bahkan tidak dapat berada dekat dengan Allah kita, dan cukup berusaha untuk menenangkan kesadaran kita, jatuh ke dalam kemalasan. Kebaruan dari orang lain hilang, kejutan dari wajahnya, kreativitas yang selalu dibutuhkan dalam hubungan pribadi.

Terakhir, kita bisa menjadi setia karena Allah mempercayai kita. Inilah mengapa para Santo/a telah menjadi begitu setia. Penulis biografi menceritakan bahwa suatu hari Santa Teresa Avila, ketika hendak menaiki tangga di biara Inkarnasi (the convent of the Incarnation), bertemu dengan anak kecil yang tampan yang tersenyum kepadanya. ¿Santa Teresa bertanya kepadanya, “siapa kamu?” Anak kecil itu menjawab: “Dan siapa kamu?” Sang Santa menjawabnya: “Saya Teresa dari Yesus.”

Dan si anak kecil, dengan tersenyum, berkata kepadanya: “Saya Yesus dari Teresa.” Dalam hubungan seperti inilah, antara dua orang, kesetiaan timbul, termasuk relasi kita dengan Allah: “seorang Kristiani tidak bisa menjadi orang yang menyendiri, karena kita hidup dalam relasi terus-menerus dengan Allah, yang berada dekat dengan kita dan berada di surga.”[8]

Kesetiaan anak-anak Allah

“keutamaan dari kesetiaan sangat berkaitan dengan rahmat supranatural dari iman, itu menjadi ungkapan ketabahan yang pantas bagi mereka yang menjadikan Allah sebagai fondasi dari seluruh kehidupan mereka.” Kata Paus Benediktus XVI. Dan ia melanjutkan bahwa: “dalam iman, kita menemukan satu-satunya jaminan dari iman kita (lih. Yes. 7:9), hanya dalam fondasi inilah kita bisa menjadi benar-benar setia.” [9] Melihat kesetiaan Allah, yang mendahului kesetiaan yang kita inginkan, kita bisa mengerti bahwa ada tiga cara untuk memperkuat kesetiaan kita sendiri: mengalami sukacita menjadi bagian dari Bapa, dalam Kristus, sebagai orang yang bebas, memperdalam identifikasi pribadi kita dengan kehendak-Nya, yang juga merupakan hal yang personal, dan selalu menjadi suatu rahmat bagi kita, dan menghidupi hubungan persaudaraan yang lebih baik yang muncul di antara mereka yang ingin setia.

Pertama, kita adalah milik Allah – bukan sebagai sesuatu yang mati, namun sebagai makhluk hidup, sebagai orang yang bebas, mampu baik untuk mencintai dan membuka diri kita kepada cinta dari orang lain. Allah telah memberikan Diri-Nya kepada kita secara personal, dalam Kasih Trinitas-Nya. Oleh karena itu, kita ingin untuk mengenal Tuhan kita dan diri kita sendiri dengan lebih baik, dalam kebahagiaan, penderitaan, pekerjaan, dan berelasi dengan yang lain yang juga mendalami keputraan ilahi. Sama seperti mimpi tentang tangga, sesuai dengan interpretasi dari Santo Yohanes dari Salib, semakin kita mendaki pengetahuan dan cinta akan Allah, semakin kita turun ke kedalaman dari jiwa kita.[10]

Semakin mengenal Allah akan membawa kita juga untuk mengenal diri kita sendiri, karena kita adalah karya tangan-Nya, dan pada saat yang sama, semakin mengenal ciptaan-Nya semakin baik, terutama tentang diri kita sendiri, mampu mengisi diri kita dengan kekaguman dan cinta. Itulah mengapa kita dengan penuh sukacita mengikuti nasihat Santo Josemaría Escriva dalam poin terakhir dari buku Jalan: “jatuh cintalah dan engkau tidak akan meninggalkan-Nya”[11] yang mana Beato Alvaro merangkumnya sebagai: “jangan meninggalkan-Nya dan engkau akan jatuh cinta.”[12] Keinginan kita untuk mengikuti-Nya dengan setia, yang terkadang melawan arus, itu cukup untuk Allah untuk menanamkan dalam diri kita cinta yang diperbaharui dan lebih bersemangat untuk-Nya.

Kedua, kita mengerti bahwa mencintai Allah merupakan, pada dasarnya, suatu jalan mengindentifikasi diri kita dengan Kristus, membiarkan kepercayaan-Nya berbuah melalui diri kita. Bagaimanapun juga, untuk mencapai ini kita juga membutuhkan pertolongan. Bahkan, tidak ada seorang pun yang bisa memanggil Allah Bapa, atau menganggap dirinya sebagai putra/putri Allah, kecuali bersatu di dalam Kristus. Namun walaupun kita berbagi dalam kehidupan yang sama dengan Yesus, setiap dari kita melakukannya dengan caranya masing-masing.

Allah telah menganugerahkan kepada setiap dari kita talenta dan keutamaan, suatu kepribadian yang unik, sebuah cara untuk melihat dunia yang adalah milik kita sendiri. Oleh karena itu, setiap kesetiaan dari seseorang kepada Allah bukanlah suatu keseragamaan, seperti seolah-olah dicap dari cetakan, akan tetapi itu adalah sesuatu yang unik dan personal, tertempa dalam kehidupan masing-masing.

Jadi, tidak masuk Akal jika kita membandingkan diri kita dengan orang lain, atau merasa terhakimi oleh orang lain. “kesetiaan adalah tentang menjadi setia kepada komitmen cinta dan itu merupakan cinta kepada Allah yang adalah makna sejati dari kebebasan… Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan (Mt. 11:29-30).”[13]

Terakhir, sebagai anak-anak Allah, kita semua adalah saudara/i. Dan sebagai bagian dari penyelenggaraan-Nya yang sederhana (cara-Nya untuk memelihara kita), kita semua berbagi secara setara di hadapan kebapaan Ilahi-Nya, kita semua “mengulurkan tangan” kepada Allah dengan menjadi ayah dan ibu yang baik bagi orang lain. Tidak ada seorang pun yang mampu menulis kehidupannya sendirian, melainkan kita merupakan rekan penulis bersama dengan mereka yang hidup dengan kita, dan kita membentuk bagian, pada saat yang sama, cerita kehidupan orang lain, di dalam buku kehidupan. Karena itu, kita menyadari bahwa kesetiaan dari orang-orang yang di sekitar kita bergantung juga pada kesetiaan kita sendiri.

Dan sebaliknya: untuk menghadapi kelemahan kita, kita memiliki kekuatan dari diri orang lain. Perhatian dan kepedulian ini harus diarahkan, pertama dari semuanya, kepada keluarga kita sendiri, baik secara natural ataupun supranatural, dan kemudian diperluas kepada seluruh anggota Gereja. Dan karena “dari seratus jiwa yang ada kita tertarik kepada seratus jiwa itu,”[14] kita peduli terhadap kekudusan dari semua orang yang diberikan Allah kepada kita. Ini adalah jalan terbaik untuk menjaga kesetiaan kita sendiri.


[1] Monsignor Fernando Ocáriz, Surat Pastoral, 19 Maret 2022, no. 1.

[2] St. Thomas Aquinas, Summa Theologica, II-II, q. 109, art. 3, ad 1.

[3] Paus Fransiskus, Exhortasi Apostolik, Amoris Laetitia, no. 132.

[4] Guillaume Derville, “On the Feast of Saint Joseph: A Renewed Faithfulness,” di opusdei.org.

[5] “Loyalitas” sering disamakan dengan “kesetiaan.” Akan tetapi, loyalitas tidak selalu didasarkan pada cinta kepada orang lain, tetapi dari aspek-aspek yang terkait dengan keadilan. Inilah mengapa keutamaan dari loyalitas tidak selalu mengarah kepada orang lain, tetapi hanya mengarah kepada ide, nilai, atau institusi.

[6] Monsignor Fernando Ocáriz, Surat Pastoral, 19 Maret 2022, no. 4.

[7] Santo Josemaria Escriva, Kristus yang Sedang Berlalu, no.111.

[8] Santo Josemaría Escriva, Kristus yang Sedang Berlalu, no. 116.

[9] Benediktus XVI, Pidato, 11 Juni 2012

[10] Lih. Santo Yohanes dari Salib, Malam Gelap Jiwa, II, 8, 5.

[11] Santo Josemaría Escriva, Jalan, no. 999.

[12] Beato Alvaro del Portillo, Surat Pastoral, 19 Maret 1992, no. 50.

[13] Monsignor Fernando Ocáriz, Surat Pastoral, 19 Maret 2022, no. 8.

[14] Lih. Santo Josemaría, Sahabat-Sahabat Allah, no. 9.

Penulis: Antonio Malo

Diterjemahkan: Fr. Dimas Kusuma Wijaya Sembiring

Antonio Malo