Saya, seorang suci?

Isabella Tan, seorang janda dan ibu tiga anak, menceritakan bagaimana kehidupannya berubah dengan kedatangan Kristus dalam hidupnya

“Saya, seorang suci?” pertanyaan ini timbul terus menerus dalam benak saya ketika saya mulai mengunjungi rumah Opus Dei untuk mengikuti pendalaman iman, rekonsiliasi dan bimbingan rohani. Untuk saya itu hampir tidak masuk akal karena orang suci yang saya tahu adalah imam, biarawan atau martir yang hampir semua hidup dan wafat berabad-abad yang lalu.

Hidup saya waktu itu adalah suatu perjuangan yang tak henti-hentinya untuk mencapai cita-cita duniawi yang tinggi dan semua itu tidak pernah memuaskan hati saya. Saya hanya Katolik KTP dan memenuhi ajaran-ajaran agama semau saya tanpa bersedia berkurban dan biasanya mengabdi Tuhan dalam kata-kata saja. 

Titik Balik

Stephen, suami saya, meninggal secara mendadak karena infeksi virus di jantung pada tahun 2005, tidak lama sesudah peringatan pesta pernikahan kami yang ke 13. Dalam keadaan shock dan terpukul saya harus menghadapi sendirian tugas berat mendidik tiga anak kami (pada saat itu berusia 3,6 dan 8 tahun) . Banyak rencana yang belum tercapai dan Ayat dari buku Amsal 19:21 -.Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana- meninggalkan kesan yang mendalam. Itu adalah masa yang terburuk dalam hidupku, hari hari kelam yang penuh dengan  kesedihan, ketakutan, kemarahan, rasa kesalahan dan kebingungan. Karena doa-doa dari teman dan  para wanita Opus Dei, yang pada waktu itu belum banyak yang saya kenal, Tuhan berkenan memperlihatkan kepada saya bahwa segala kesedihan dan kepedihan terasa berbeda bersama  Dia dalam hidup saya.  Sedikit demi sedikit saya mulai mendapatkan kekuatan baru untuk mulai lagi dan untuk membantu orang lain yang berada di situasi yang sama

Saya keluar dari kekangan hidup ‘seenaknya’ dan mulai menjalani kehidupan iman dengan lebih serius. Dengan menentukan waktu untuk doa setiap hari, dan usaha keras untuk melaksanakan rencana hidup rohani telah membawa saya merasa lebih dekat dengan Tuhan. Terutama Sakramen Ekaristi dan doa renunganbenar-benar memberi saya kekuatan untuk menghadapi tantangan setiap hari di tempat kerja atau di rumah.

Lebih dari sukses yang nampak

Perkerjaan marketing saya di suatu perusahaan makanan sering membuat saya pergi ke negara-negara Asia. Menjaga keseimbangan antara keluarga dan pekerjaan, upaya untuk menjadi ibu, anak, pegawai, kolega serta kawan yang baik dapat membuat saya gila jika saya tak memiliki apa yang diajarkan oleh Opus Dei: mencintai Tuhan dan membiarkan Tuhan mencintaiku. Tanpa cinta kasih, tak sesuatupun mungkin terlaksana.

Saya senang dan menikmati pekerjaan saya dan berusaha melaksanakannya dengan baik. Tetapi bila saya bekerja hanya untuk tujuan manusiawi, misalnya, untuk mendapat pujian, saya menjadi patah semangat dan merasakan kepahitan jika pekerjaan saya itu tidak membawa sukses yang nampak. Sekarang saya berusaha bekerja karena cinta, untuk memuliakan Tuhan, dengan demikian fokusnya bukan diri saya lagi.

Tahun lalu, suatu proyek yang saya pimpin tidak memberikan hasil yang kami harapkan walaupun sudah direncanakan dengan teliti dan dikerjakan dengan baik. Saya tidak merasa marah atau kecewa, saya hanya berdoa: “Tuhan, Engkau mengetahui bahwa aku telah berusaha sebaik-baiknya. Tetapi jika Engkau tidak menghendaki kemuliaan ini, akupun tidak menginginkannya”. Dan saya terus berjuang karena yang penting sebenarnya adalah bagaimana Tuhan memandang  perkerjaan saya, perjuangan saya, dan  bukan hasil yang saya capai

Doa adalah ‘senjata’ yang paling baik

Dulu, ketika saya menemukan kesulitan atau bertemu dengan orang-orang yang tidak menyenangkan di tempat kerja, sepanjang hari saya terganggu oleh hal yang tidak menyenangkan ini. Sekarang saya telah belajar berdoa kepada  Malaikat Pelindung saya supaya ia berbicara dengan Malaikat Pelindung orang itu. Sebenarnya saya harus berterima kasih kepada orang-orang itu sebab tanpa mereka saya mungkin tidak akan berdoa sebanyak ini, dan mungkin tidak ingat akan Malaikat Pelindung saya sesering itu.

Anak-anak saya pun telah membiasakan diri untuk berhubungan dengan Malaikat pelindung mereka. Bilamana saya mendapat ruang parkir di suatu tempat yang padat, Jeremias dengan riang hati berkata bahwa dia telah minta pertolongan dari Malaikat Pelindungnya.Ini hal kecil tetapi di masa depan, jika ia harus menghadapi masalah yang berat, sikap ini akan muncul dengan sendirinya. Suatu malam Natalie, sekarang berumur 6 tahun, berkata : “ Mami, saya telah berdoa tiga Salam Maria – satu bersama dengan Malaikat Pelindungku, satu untuk permohonanmu dan satu lagi untuk kondisi kulit muka Carmen, Jeremias, Mami dan aku”. Doa adalah senjata yang paling ampuh bagi kami sekeluarga

Sering kali, anak-anak saya bertengkar atas hal-hal yang sepele, kemudian mereka segera rukun kembali; mereka berjanji untuk menjadi anak yang baik, tapi beberapa menit kemudian  mereka ribut lagi. Ketika saya pulang dari kerja, saya sering kehilangan kesabaran. Dulu saya biasanya mengeluarkan ‘senjata’ saya–rotan- untuk mendapatkan hasil yang cepat. Sekarang tidak lagi.

Sepulang dari retret, saya  mengatakan kepada mereka bahwa saya tidak akan menggunakan rotan lagi, tetapi kami harus menyetujui beberapa peraturan rumah supaya ada ketertiban. Mereka sangat senang, tetapi dengan segera mereka menyadari bahwa hukuman baru ini lebih ‘berat’ sebab sekarang hukumannya adalah tidak boleh nonton program favorit di televisi atau tidak boleh main computer games.

Yang penting adalah bahwa mereka dapat memutuskan bagi diri mereka sendiri bila mereka mau menjadi baik atau nakal dan kemudian bersedia menerima konsekwensinya

Saya yakin bahwa kesucian dapat dicapai oleh semua orang, termasuk saya sendiri. Menakjubkan, bukan?