Keagungan Yesus mulai menyebar di seluruh Galilea. Ia adalah seorang guru yang berbeda dari yang lain. Ia berbicara dengan penuh kuasa, dan perkataan-Nya memiliki kekuatan bahkan atas roh-roh jahat. Setelah Ia berkhotbah di beberapa tempat, Ia datang ke Nazaret, tempat di mana Ia dibesarkan (Luk 4:16). Santo Lukas menempatkan peristiwa ini pada awal kehidupan publik Yesus. Adegan ini begitu sarat makna sehingga bahkan disebut sebagai sebuah “Injil dalam Injil.” Dalam beberapa ayat ini bukan hanya misi Tuhan kita dibuka secara khidmat, tetapi juga seluruh hidup-Nya dirangkum di dalamnya.[1]
Yesus pergi ke sinagoga dan berdiri untuk membaca. Kepadanya diberikan gulungan kitab nabi Yesaya. Ia membuka gulungan itu dan menemukan bagian yang tertulis: “Roh Tuhan ada pada-Ku, karena Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang miskin. Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang tawanan dan penglihatan bagi orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”
Setelah menggulung kitab itu kembali dan duduk, mata semua orang di sinagoga tertuju kepada-Nya. Lalu Ia mulai berkata kepada mereka: “Hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya” (Luk 4:17-21). Yesus menyatakan status-Nya sebagai Mesias dengan cara yang jelas, memakai teks yang menekankan anugerah kebebasan. Inilah yang Yesus datang untuk berikan kepada kita. Ia datang untuk membebaskan kita dari tawanan dan penindasan dosa.
Orang-orang Kristen perdana sangat menyadari bahwa anugerah kebebasan merupakan inti dari iman mereka; karena itu Santo Paulus menjadikannya tema yang terus-menerus dalam surat-suratnya. Yesus membebaskan kita dari beban dosa dan maut, dari nasib buta yang merajalela dalam agama-agama kafir, dari hawa nafsu yang tak teratur, dan dari segala sesuatu yang membuat hidup di bumi menjadi sengsara dan tidak manusiawi. Namun, kebebasan bukan hanya anugerah, melainkan sekaligus juga sebuah tugas. Seperti yang ditulis Rasul bagi bangsa-bangsa: “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan” (Gal 5:1).
Maka kita perlu menjaga kebebasan kita, hidup sesuai dengan anugerah ini, dan tidak jatuh kembali pada hidup yang mudah tetapi penuh perbudakan. Keyakinan ini sangat tertanam dalam hati umat Kristen perdana. Tetapi bagaimana dengan kita? Banyak dari kita telah dibaptis sejak bayi. Apa arti kata-kata Yesaya yang dibacakan Tuhan kita di Nazaret bagi kita? Dan apa arti seruan Santo Paulus untuk hidup dalam kebebasan, agar tidak kembali menyerahkan diri pada kuk perhambaan?
Jika kebebasan hanya soal bisa memilih
Ketika kita berbicara tentang kebebasan, kita sering memikirkan satu kondisi sederhana: saya bertindak bebas bila saya bisa melakukan apa yang saya mau, tanpa ada yang memaksa atau menekan saya. Inilah pengalaman kebebasan yang kita rasakan ketika kita bisa memilih sendiri.
Menghadapi pertanyaan sederhana seperti, “Mau kue cokelat atau buah?”, orang yang bisa memilih salah satu dari dua opsi tampak lebih bebas daripada orang yang hanya dipaksa memilih satu. Seorang penderita diabetes, misalnya, dipaksa untuk meminta buah. Dalam arti kebebasan yang terbatas ini, mereka yang bisa memilih lebih banyak opsi dianggap lebih bebas, sebab mereka memiliki lebih sedikit batasan yang membatasi mereka pada satu pilihan. Itulah mengapa kelimpahan uang membawa rasa kebebasan yang kuat; banyak kesempatan terbuka yang tertutup bagi mereka yang tidak memiliki sumber daya finansial.
Tentu saja, ketiadaan paksaan adalah bagian dari makna kebebasan, tetapi itu tidak mencakup seluruhnya. Sebagai contoh, kita bisa memikirkan Santo Thomas More ketika dipenjara di Menara London. Dari sudut pandang kemampuan memilih, ia sama sekali tidak bebas berada di sana. Namun, betapa bebasnya ia menerima situasi itu. Demikian pula halnya dengan para martir perdana, dan tokoh-tokoh lebih baru yang dianiaya karena iman mereka. Setiap bentuk penganiayaan adalah upaya untuk merampas kebebasan. Tetapi tidak ada cara eksternal semata untuk melakukannya. Yesus berkata: “Jangan takut kepada mereka yang membunuh tubuh tetapi tidak dapat membunuh jiwa” (Mat. 10:28). Kebebasan bukan sekadar ketiadaan pembatasan lahiriah, melainkan kemampuan untuk memutuskan bagaimana bertindak atau menerima situasi di kedalaman jiwa kita, terlepas dari keadaan apa pun yang kita hadapi.
Selain itu, kebebasan yang kita alami dalam pilihan-pilihan khusus biasanya memiliki ruang lingkup yang terbatas. Ketika kita memikirkan orang-orang yang namanya dikenang dalam sejarah karena cara mereka hidup dalam kebebasan, bukan itu yang biasanya menonjol. Kita bisa mengingat tiga atau empat nama—dikenal semua orang atau mungkin hanya seseorang yang dekat dengan kita—yang kita anggap sebagai teladan kebebasan.
Apa yang menonjol dalam hidup mereka? Apa yang membuat mereka menjadi teladan bagi kita? Tentu saja kita tidak mengagumi mereka hanya karena mereka selalu bisa memilih makanan yang mereka sukai, atau karena mereka tidak pernah menikah agar tidak terikat pada satu orang saja. Sebaliknya, kita memikirkan orang-orang yang telah membebaskan diri dari segala sesuatu yang dapat mengikat mereka, demi memberikan hidup sepenuhnya kepada suatu tujuan mulia atau kepada seorang pribadi tertentu.
Mereka menjadi teladan kebebasan justru karena mereka mempertahankan penyerahan diri itu sampai akhir. Seandainya Thomas More melanggar suara hatinya dan bersumpah setia kepada Henry VIII, meskipun ia melakukannya dengan bebas, ia tidak akan dikenang dalam sejarah sebagai teladan kebebasan. Seandainya Santo Paulus, alih-alih berjuang sekuat tenaga untuk mewartakan Kristus dan menyerahkan hidupnya bagi-Nya, memutuskan untuk meninggalkan panggilannya dan kembali menjadi penenun kemah, sekalipun ia melakukannya dengan bebas, ia tidak akan menjadi model kebebasan bagi kita. Maka, untuk sungguh memahami kebebasan, kita perlu melampaui sekadar kemampuan untuk memilih.
Harta yang layak untuk dipersembahkan seumur hidup
Injil menceritakan kepada kita tentang pengalaman kebebasan yang mencolok: “Hal Kerajaan Surga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu dipendamkannya lagi. Karena sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu. Demikian pula hal Kerajaan Surga itu seumpama seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah. Setelah ditemukannya mutiara yang sangat berharga, pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli mutiara itu” (Mat 13:44-46).
Kedua orang dalam perumpamaan singkat ini menukar segala sesuatu yang mereka miliki demi sesuatu yang bagi mereka jauh lebih bernilai. Mereka menyerahkan diri sepenuhnya pada apa yang diinginkan hati mereka, tanpa merasa bahwa mereka sedang membuang kebebasan mereka. Justru mereka yakin bahwa mereka sedang melakukan hal terbaik dengan kebebasan itu.
Inilah pengalaman setiap orang yang jatuh cinta. Ia tidak peduli lagi bahwa ia tidak bisa berhubungan dengan wanita lain. Ia telah memberikan segalanya bagi wanita yang dikasihinya, dan ia hanya ingin mencintainya lebih lagi setiap hari. Dan ia tidak melihat hal ini sebagai pembuangan kebebasan. Sebaliknya, ia yakin tidak ada yang lebih baik yang dapat ia lakukan dengan kebebasannya selain mencintai pribadi itu, harta itu, mutiara paling berharga itu.
Maka, kebebasan untuk memilih—meskipun merupakan salah satu dimensi kebebasan—tertata menuju dimensi yang lebih dalam: yaitu kemampuan untuk mengasihi. Kita bisa menyebut dimensi terdalam ini sebagai “kebebasan untuk mempersembahkan diri.”
Inilah kebebasan yang kita jalani ketika kita mengasihi, dan yang membuat kita menyadari bahwa “kebebasan dan penyerahan diri bukanlah sesuatu yang bertentangan; keduanya saling menopang.”[2] Dengan mempersembahkan seluruh hidup, kita tidak kehilangan kebebasan, melainkan justru mengalaminya dengan lebih intens.
“Ketika orang-orang memberikan diri mereka dengan bebas, pada setiap saat penyerahan diri itu, kebebasan memperbarui cinta mereka; diperbarui dengan cara itu berarti selalu muda, murah hati, mampu memiliki cita-cita luhur dan pengorbanan besar.”[3] Misalnya, setelah seharian bekerja keras, kita menyadari bahwa kita belum menyisihkan waktu khusus untuk berdoa di akhir hari. Lalu kita memutuskan untuk berdoa daripada beristirahat sambil menonton berita. Itulah cara kita menggunakan kebebasan yang justru memperkuat penyerahan diri. Kuncinya di sini sekali lagi adalah cinta.
Demikian juga seorang ibu yang dengan bebas mengubah rencananya untuk merawat anaknya yang sakit karena cinta, menemukan bahwa penyerahan diri itu membawa sukacita yang tidak akan pernah ia dapatkan dengan melakukan hal yang semula ia inginkan. Ketika kita mempersembahkan seluruh hidup demi suatu tujuan atau seseorang yang menurut kita pantas menerima kasih kita, kasih itu membentuk kita dan menuntun kita untuk menjadi semakin sepenuhnya “diri kita sendiri”: pribadi yang unik, dengan nama dan jati diri.
Sebagai contoh, Teresa dari Kalkuta. Kita bisa membayangkan sejenak bahwa seseorang menawarkan kepadanya sebuah rumah yang nyaman untuk menikmati tahun-tahun terakhir hidupnya dengan damai, dan sebuah LSM untuk mengambil alih pelayanannya kepada orang miskin. Apa yang akan ia jawab? Kebebasan besar dalam hidupnya berasal dari penyerahan seluruh hatinya kepada Kristus yang hadir dalam diri orang termiskin dari yang miskin, dan meninggalkan segala hal lain yang bisa menghalangi cita-cita itu.
Kita dengan mudah bisa menemukan contoh serupa dalam hidup banyak pria dan wanita kudus lainnya. Yang menggerakkan mereka adalah kerinduan untuk setia kepada Kasih yang telah mereka persembahkan segalanya; untuk menjawab panggilan yang mereka temukan di tengah dunia, dengan sebuah misi yang membentuk hidup mereka.
Kita bisa mengingat, misalnya, kata-kata Santo Josemaría dari tahun 1932: “Dua jalan terbuka bagiku: yang pertama, aku belajar, meraih jabatan profesor universitas dan menjadi seorang terpelajar. Aku ingin melakukan semua itu dan tampak memungkinkan. Yang kedua: aku mengorbankan ambisi itu, bahkan hasrat mulia akan pengetahuan, cukup puas dengan menjadi sederhana, meskipun bukan bodoh. Jalanku adalah yang kedua: Tuhan menghendaki aku kudus, dan Ia menghendaki aku untuk Karya-Nya.”[4]
Inilah yang bisa disebut sebagai “kebebasan batin.” Inilah sumber yang menjelaskan mengapa tindakan saya bukanlah sekadar reaksi atas keinginan sesaat, atau perintah eksternal, atau tujuan kaku, melainkan tanggapan kepada harta tersembunyi yang untuknya saya telah memberikan segalanya: Sang Kasih yang datang mencari saya dan memanggil saya untuk mengikuti-Nya. Panggilan ini lah yang menjelaskan “kelebihan gila” para santo, yang hidupnya bukan sekadar pemenuhan serangkaian kewajiban eksternal.
Bertindak dengan kebebasan batin tidak berarti bahwa kita tidak menemukan kesulitan. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, Bapa sering mengingatkan kita akan sesuatu yang ditekankan Santo Josemaría: “jangan kita berpikir bahwa satu-satunya pekerjaan yang bisa kita lakukan dengan gembira hanyalah yang menyenangkan hati kita.”[5] Kita bisa melaksanakan dengan gembira — dan bukan dengan enggan — apa yang sulit bagi kita, apa yang tidak kita sukai, bila kita melakukannya demi cinta dan bersama cinta, dan karena itu dengan bebas.[6]
Kita bekerja dengan kebebasan penuh, karena usaha kita bersumber dari cinta yang kita bawa dalam hati. Mungkin pada hari tertentu kita tidak ingin melakukan sesuatu, dan kita bahkan tidak begitu mengerti mengapa kita harus melakukannya. Tetapi saya melakukannya karena saya tahu bahwa itu adalah bagian dari cinta yang telah saya peluk dengan seluruh hidup saya, dan karena itu saya menemukan kemungkinan untuk mencintai tindakan itu.
Ketika saya bertindak demikian, saya tidak melakukan sesuatu secara otomatis atau sekadar karena “itu harus dilakukan.” Sebaliknya, saya melakukannya “demi dan bersama cinta”, dengan kesiapan hati yang selalu diperbarui. Seiring waktu, apa yang sekarang saya lakukan dengan melawan arus, digerakkan oleh Kasih yang untuk-Nya saya telah menyerahkan seluruh hidup, akan menemukan makna terdalamnya.
“Melihat panggilan sendiri sebagai anugerah dari Allah (dan bukan sekadar daftar kewajiban), bahkan ketika kita menderita, juga merupakan tanda kebebasan roh.”[7]
Kebebasan sebagai sebuah respons
Banyak orang saat ini, dalam pemahaman mereka tentang kebebasan, sering gagal melihat lebih jauh daripada sekadar kemampuan untuk memilih setiap saat apa yang mereka inginkan tanpa adanya paksaan atau batasan eksternal. Dan jika kemampuan untuk memilih ini dipertanyakan, bagi mereka kebebasan tampak lenyap.
Namun pada kenyataannya, memilih satu hal sering berarti melepaskan hal-hal lain, dan menginginkan sesuatu tidak selalu berarti mampu mencapainya. Antropologi Kristen menawarkan pandangan tentang kebebasan yang jauh lebih harmonis dan tenang, melihatnya sebagai karunia sekaligus panggilan. Kita telah dipanggil untuk hidup dalam kebebasan (Gal 5:13); bukan kebebasan yang samar atau tak bermakna, tetapi kebebasan yang mulia dari anak-anak Allah (Rom 8:21). Kebenaran akan status kita sebagai anak-anak Allahlah yang membuat kita bebas (bdk. Yoh 8:31-32).
Oleh karena itu, kebebasan kita bukanlah pilihan spontan yang tidak memiliki dasar di luar kehendak kita sendiri. Dalam dimensi yang paling dalam, kebebasan kita adalah sebuah respons terhadap Kasih yang mendahului kita. Itulah sebabnya Santo Josemaría dapat menggambarkan kehidupan batin, sejauh ia melibatkan perjuangan, sebagai bertindak “karena kita merasa terdorong… untuk merespons kasih karunia Allah.”[8] Kita dengan bebas merangkul kehendak Dia yang “telah mengasihi kita lebih dahulu” (bdk. 1 Yoh 4:19), dan kita berusaha sekuat tenaga untuk menanggapi kasih itu.
Sebagai contoh, menghadapi banyak pilihan yang kita buat setiap hari, kita dapat bertanya pada diri sendiri: “Ke mana hal ini akan membawa saya? Apakah ini selaras dengan kasih Allah, dengan status saya sebagai anak laki-laki atau perempuan Allah?”
Ketika kita menerima kebebasan kita sebagai respons, kita menemukan bahwa tidak ada kekuatan pendorong yang lebih kuat dalam hidup kita daripada menjaga hidup ingatan akan Kasih yang telah memanggil kita. Hal ini juga berlaku pada tingkat manusiawi: tidak ada dorongan yang lebih besar bagi seseorang selain kesadaran bahwa dia dicintai. Kekasihku berbicara dan berkata kepadaku: “Bangunlah, kekasihku, cantikku, dan marilah; sebab lihat, musim dingin telah berlalu, hujan telah berhenti dan pergi. Bunga-bunga bermekaran di bumi, saat bernyanyi telah tiba, dan suara burung dara terdengar di tanah kita” (Kidung Agung 2:8-11).
Mereka yang mengetahui bahwa mereka dicintai oleh Allah dengan cara ini, dipanggil untuk menyalakan seluruh dunia dengan Kasih-Nya, bersedia melakukan apa pun yang diperlukan. Segala sesuatu tampak kecil bagi mereka dibandingkan dengan apa yang telah mereka terima. Kata-kata Santo Josemaría tampak jelas bagi mereka: “Betapa sedikitnya hidup yang bisa dipersembahkan kepada Allah!”[9]
“Menyadari bahwa Allah menantikan kita dalam setiap orang (bdk. Mat 25:40), dan bahwa Dia ingin hadir dalam hidup mereka juga melalui kita, mendorong kita untuk berusaha membagikan dengan melimpah kepada orang lain apa yang telah kita terima. Dan dalam hidup kita, anak-anakku, kita telah menerima dan terus menerima banyak kasih. Memberikan kasih kepada Allah dan kepada sesama adalah tindakan kebebasan yang paling tepat. Kasih memenuhi kebebasan, ia menebusnya. Kasih memungkinkan kebebasan menemukan asal-usul dan tujuannya dalam Kasih Allah.”[10]
Tidak ada ketakutan atau perintah eksternal yang dapat menggerakkan hati sekuat kekuatan kebebasan yang mengidentifikasi dirinya dengan Kasihnya, hingga pada rincian terkecil sekalipun. Seperti yang dikatakan Santo Paulus, dengan keyakinan seseorang yang telah mengalaminya sepenuhnya: “Sebab aku yakin, bahwa baik maut maupun hidup, malaikat-malaikat maupun pemerintah-pemerintah, yang ada sekarang maupun yang akan datang, kuasa-kuasa, ketinggian, kedalaman, atau sesuatu makhluk lain manapun, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah dalam Kristus Yesus, Tuhan kita” (Rom 8:38-39). Namun agar Kasih Allah memperoleh kekuatan ini dalam diri kita, kita perlu menumbuhkan keintiman yang mendalam dengan-Nya, terlebih dahulu dalam doa kita. Di sana, dalam merenungkan Tuhan kita, kita belajar jalan menuju kebebasan, dan kita juga membuka hati kita terhadap tindakan transformatif Roh Kudus.
Kebebasan sejati mengambil bentuk sebuah respons, sebuah “ya” yang besar. Hal ini terkait dengan salah satu warisan yang ingin Santo Josemaría tinggalkan bagi anak-anaknya di ranah manusiawi: humor yang baik.[11] Lebih dari sekadar sifat kepribadian, ini adalah kekuatan sejati – virtus – dari kebebasan. Jika kehidupan Kristen hanya didasarkan pada keputusan etis semata, pada perjuangan untuk melaksanakan suatu program, hal itu hampir pasti akan berujung pada kelelahan, putus asa, dan frustrasi.
Tetapi kenyataannya sangat berbeda, karena kehidupan Kristen yang autentik bersumber pada perjumpaan dengan Pribadi yang telah datang mencari kita.[12] Sumber inilah yang menopang kita saat kita berusaha mencapai tujuan dengan segenap kekuatan kita, meskipun kita mungkin melihat diri kita lemah: “Bukan bahwa aku telah memperoleh semuanya atau telah menjadi sempurna; tetapi aku mengejar untuk meraihnya, karena Kristus Yesus telah menjadikanku milik-Nya” (Fil 3:12).
Dialah yang telah menggenggam hidup kita, yang telah memperhatikan kita, yang telah percaya kepada kita. Oleh karena itu, jika kita merasakan kecilnya diri kita sendiri, kesengsaraan kita, tanah liat – humus – yang menjadi bahan kita, respons kita akan bersifat rendah hati sekaligus penuh dengan humor yang baik. Pandangan kita terhadap dunia menjadi lebih dalam, “dan kita belajar menangkap sisi positif – dan, kadang-kadang, sisi lucu – dari berbagai hal dan situasi.”[13] Tentu saja, kita terbuat dari tanah liat, dan jika kita telah bercita-cita untuk hal-hal besar, itu bukan karena kita melupakan kenyataan ini, melainkan karena Seseorang yang mengenal kita lebih baik daripada kita mengenal diri kita sendiri telah mengundang kita untuk melakukannya.
Dialog yang dilakukan nabi Yeremia dengan Tuhan (bdk. Yer 1:5-8) sangat indah. Hanya sedikit nabi yang menderita seperti dia dalam berusaha menghadirkan firman Allah di tengah umatnya. Allah sendiri yang telah mengambil inisiatif:
“Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim, Aku telah mengenalmu, dan sebelum engkau lahir, Aku telah menguduskan engkau; Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.”
Namun Yeremia tampaknya hanya melihat ketidakmampuannya sendiri:
“Ah, Tuhan Allah! Lihatlah, aku tidak tahu bagaimana berbicara, sebab aku masih muda.”
Tetapi Allah tidak menyerah: “Jangan katakan, ‘Aku hanya seorang muda’; sebab kepada semua orang yang akan Kukirim engkau, engkau akan pergi, dan apa pun yang Kuperintahkan kepadamu, engkau akan katakan.” Dan dari manakah nabi akan menemukan kekuatan untuk melakukannya? Apa yang akan menjadi jaminannya? Lebih dari mandat yang telah diterimanya, itu adalah janji Tuhan:
“Jangan takut kepada mereka, sebab Aku menyertaimu untuk melepaskanmu.”
Kadang-kadang kita sendiri adalah musuh terbesar bagi kebebasan kita, terutama ketika kita melupakan dasar sejati dari keberadaan kita. Pada akhirnya, yang mengejutkan bukanlah bahwa kita lemah dan kadang jatuh, tetapi bahwa kita terus bangkit kembali. Semoga hati kita tetap memiliki ruang untuk memimpikan mimpi-mimpi Allah. Dia mengandalkan baik kebebasan kita maupun tanah liat kita. Ini masalah melihat Dia lebih dekat, dan kurang pada ketidakmampuan kita sendiri. Keintiman dengan Allah, mempercayai-Nya sepenuhnya: dari sinilah muncul kekuatan dan kelincahan yang kita butuhkan untuk hidup di tengah dunia pada ketinggian sebagai anak-anak Allah.
“Seorang penulis pernah berkata bahwa malaikat bisa terbang karena mereka tidak terlalu menganggap serius diri mereka sendiri. Dan mungkin kita bisa terbang sedikit lebih baik jika kita tidak terlalu memandang penting diri kita sendiri.”[14]
Diterjemahkan oleh Fr. Dimas Kusuma Wijaya Sembiring
[1] Lih. Jose Maria Casciaro, “The Holy Spirit in the Synoptic Gospels,” in Pedro Rodríguez et al. (eds.), The Holy Spirit and the Church, Eunsa, Pamplona 1999, 65.
[2] Santo Josemaría, Friends of God, no. 31.
[3] Ibid.
[4] Santo Josemaría, Intimate Notes, no. 678, cit. di Buku JALAN, Critical-Historical Edition.
[5] Santo Josemaría, Surat 13, no. 106.
[6] Fernando Ocáriz, Surat Pastoral, 9 Januari 2018, no. 6.
[7] Fernando Ocáriz, Surat Pastoral, 9 Januari 2018, no. 7.
[8] Santo Josemaría, Surat 2, no. 45.
[9] Santo Josemaría, Jalan, no. 420.
[10] Fernando Ocáriz, Surat Pastoral, 9 Januari 2018, no. 4.
[11] Lih. Santo Josemaría, Surat 24, no. 22.
[12] Lih. Benedict XVI, Enc. Deus caritas est, no. 1.
[13] Fernando Ocáriz, Surat Pastoral, 9 Januari 2018, no. 6.
[14] Benedict XVI, Wawancara di Castelgandolfo, 5 Agustus 2006.
