Merupakan suatu kegembiraan dan kehormatan bagi saya untuk bersama Anda dalam rangka peringatan 50 tahun kegiatan IESE di Madrid, sebuah alasan untuk sukacita yang mendalam saat kita menyaksikan perkembangan inisiatif pendidikan yang telah membantu banyak orang bertumbuh dalam profesionalisme dan menemukan makna mendalam (sosial, Kristiani) dari pekerjaan — hal yang dicintai oleh Santo Josemaría dan menjadi pusat ajarannya.
Anda telah membangun salah satu sekolah bisnis paling berprestasi di dunia. Saya ingin mendorong Anda untuk tidak hanya membidik kesuksesan eksternal—yang telah dikonfirmasi oleh peringkat sekolah bisnis—tetapi juga dengan tekad yang lebih besar lagi, untuk meraih kesuksesan rohani yang memiliki nilai lebih tinggi dari sudut pandang Kristiani. Kesuksesan rohani ini, yang sejalan dengan keberhasilan maupun kegagalan dari sudut pandang bisnis, adalah buah dari pekerjaan yang dilakukan dengan baik, demi cinta. Untuk mencapai kesuksesan rohani tersebut, yang terpenting bukan hanya apa yang kita lakukan atau hasil apa yang kita capai, tetapi juga bagaimana dan mengapa kita bekerja. Bila kehidupan rohani berkembang dampak dari sekolah ini akan menjangkau lebih jauh lagi.
Realitas dan nilai kemanusiaan dari pekerjaan
Seperti yang dikatakan oleh Santo Josemaría: "Pekerjaan, semua jenis pekerjaan, adalah bukti dari martabat manusia, dari kekuasaannya atas ciptaan. Pekerjaan adalah kesempatan untuk mengembangkan kepribadian seseorang, membina ikatan persatuan dengan sesama, sarana untuk menafkahi keluarga dan untuk membangun masyarakat tempat kita tinggal serta untuk kemajuan seluruh umat manusia."[1]
Santo Josemaría di sini berbicara tentang ‘alasan’ dari pekerjaan secara umum. Bagi Anda, ‘alasan’ dari pekerjaan Anda tercermin dalam misi IESE: "Anda melatih para pemimpin yang bercita-cita untuk memberikan dampak yang mendalam, positif, dan langgeng pada orang-orang, perusahaan dan masyarakat melalui keunggulan profesional, integritas, dan semangat melayani."
Jika Anda memenuhi tujuan yang luhur ini dengan baik, Anda akan menyentuh hati masyarakat. Anda akan memperbaiki dunia dari dalam. Dan misi mulia ini dapat dihayati dalam semua kegiatan Anda dan tidak hanya kegiatan yang memiliki nilai strategis yang tinggi yang dilaksanakan oleh manajemen IESE yang tertinggi. Setiap jenis pekerjaan dapat memiliki nilai rohani yang besar.
Bahkan secara kodrati, "martabat pekerjaan tidaklah tergantung pada apa yang dilakukan, tetapi pada siapa yang melakukannya, dan dalam kasus manusia, ia adalah makhluk spiritual, berakal budi, dan bebas."[2]
Dengan kata lain, martabat kodrati dari pekerjaan terletak pada martabat spiritual pribadi manusia, dan besar atau kecilnya martabat itu tergantung pada kualitas atau baik-buruknya pekerjaan itu sebagai suatu tindakan spiritual. Dan kualitas ini pada dasarnya bergantung pada kebebasan; pada cinta—cinta bukan sebagai gairah atau perasaan, tetapi sebagai dilectio, cinta elektif pada suatu tujuan, sebagai tindakan khas dari kebebasanmanusia. [3]
Seperti Juan Antonio Pérez López dari sekolah Anda sendiri mengajarkan, ini adalah soal meningkatkan motif-motif transenden dalam diri kita masing-masing dan dalam diri orang-orang yang kita pimpin: Keinginan untuk melayani klien dengan baik, hubungan manusiawi dengan sesama, komitmen terhadap tujuan perusahaan. Semua ini memotivasi kita untuk melayani lebih banyak dan lebih baik—dan ini dapat dicapai sekaligusdengan membawa hasil strategis yang dibutuhkan perusahaan dan mengembangkan ketrampilan yang diperlukan pada orang-orang yang bersangkutan.
Dalam konteks ini, kata-kata Santo Josemaría sangat inspirasitif sekaligus menuntut: "Perlu diingat bahwa martabat pekerjaan berdasarkan pada Cinta. Privilese manusia yang terbesar adalah kemampuan untuk mencintai dan melampaui apa yang fana dan sementara. Manusia dapat mencintai sesama, mengucapkan 'aku' dan 'kamu' yang penuh makna. Dan ia pun dapat mencintai Tuhan, yang membuka gerbang surga bagi kita, menjadikan kita anggota keluarga-Nya dan memungkinkan kita untuk berbicara dengan-Nya dalam persahabatan, berhadapan muka."
Dengan kata lain, kita diciptakan untuk Cinta, dan pekerjaan adalah salah satu panggung di mana Cinta dapat tumbuh di dalam diri kita dan di masyarakat. Ini adalah bagian sentral dari panggilan Kristiani di dunia dan di masyarakat. "Inilah sebabnya manusia tidak boleh membatasi diri pada produksi material. Pekerjaan lahir dari cinta; pekerjaan adalah manifestasi dari cinta dan diarahkan kepada cinta."[4]
Baru-baru ini saya menemukan sebuah kisah inspiratif yang diterbitkan bertahun-tahun lalu di majalah Forbes, yang menggambarkan koneksi manusiawi ini; cinta yang diwujudkan melalui pekerjaan. Kisah ini ditulis oleh seorang perawat ruang gawat darurat di sebuah rumah sakit di Amerika yang menyaksikan tindakan kepemimpinan yang luar biasa: "Saat itu sekitar pukul 22.30. Ruangan itu berantakan. Saya sedang menyelesaikan beberapa hal dalam rekam medis sebelum pulang. Dokter jaga (Saya sangat senang bekerja dengan beliau) sedang memberikan pengarahan kepada seorang dokter baru, yang bekerja dengan baik dan kompeten dan menunjukkan apa yang telah dilakukannya dengan baik dan apa yang dapat dilakukan lebih baik. Kemudian dokter itu meletakkan tangannya di bahu dokter muda dan berkata, 'Ketika Anda selesai(dengan pekerjaan), apakah Anda memperhatikan seorang pemuda dari bagian kebersihan yang masuk untuk membersihkan ruangan?' Dokter muda itu tampak kebingungan.
Dokter senior itu berkata, 'Namanya Carlos. Dia sudah bekerja di sini selama tiga tahun. Dia bekerja secaraluar biasa. Begitu dia datang, dia membereskan ruangan begitu cepat sehingga Anda dan saya bisa segera menangani pasien berikutnya. Nama istrinya adalah Maria. Mereka punya empat anak.' Kemudian dia menyebutkan nama keempat anak itu dan usia masing-masing.
"Dokter senior itu melanjutkan, 'Dia tinggal di sebuah rumah kontrakan sekitar tiga blok dari sini, di Santa Ana. Mereka datang dari Meksiko sekitar lima tahun yang lalu. Namanya Carlos,' ulangnya. Lalu dia berkata, 'Minggu depan saya ingin Anda menceritakan tentang Carlos yang belum saya ketahui. Oke? Sekarang, mari kita periksa pasien-pasien lainnya.'" Perawat yang menceritakan kisah ini berkomentar kemudian: "Saya ingat, saya berdiri menulis catatan medis disana—terpaku—dan berpikir, saya baru saja menyaksikan kepemimpinan yang luar biasa."
Terkadang, dimensi kemanusiaan bisa hilang bila kita memandang pekerjaan hanya dalam konteks persaingan dengan perusahaan lain untuk menghasilkan lebih banyak keuntungan, alih-alih memikirkan bagaimana kita dapat melayani orang-orang dengan penuh kasih dan perhatian.
Tentu saja, suatu perusahaan tidak dapat mengabaikan strategi dan profitabilitasnya, yang adalah tanda dari layanan berkualitas penuh tanggung jawab dan efisien. Namun, sama pentingnya—atau mungkin lebihpenting lagi—adalah melayani dengan cinta pada pekerjaan dan cinta pada sesama.
Nilai adikodrati: pengudusan pekerjaan
"Bagi seorang Kristiani, cakrawala (pekerjaan) ini menjadi lebih luas dan lebar. Karena pekerjaan adalah partisipasi dalam karya penciptaan Tuhan. Ketika Tuhan menciptakan manusia dan memberkatinya, Ia berkata: 'Beranak-cuculah dan bertambah banyaklah; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi' (Kej 1:28). Dan lebih dari itu, sejak Kristus mengambil pekerjaan ke dalam tangan-Nya, pekerjaan telah menjadi bagi kita sebuah realitas yang ditebus dan menebus. Bukan hanya latar belakang kehidupan manusia, tetapi juga merupakan sarana dan jalan kekudusan. Pekerjaan adalah sesuatu yang harus dikuduskan dan sesuatu yang menguduskan."[5]
Apa artinya menguduskan pekerjaan? Kita akan mempertimbangkan dua aspek mendasar yang berkaitan, yang sering dibicarakan oleh pendiri Opus Dei.
Pertama, dimensi adikodrati pekerjaan bukanlah sesuatu yang ditambahkan pada dimensi kodrati (pekerjaan) manusia. Tatanan Penebusan tidak menambahkan sesuatu yang asing pada realitas pekerjaan sebagaimana ditetapkan dalam Penciptaan: Realitas pekerjaan manusia yang sama itulah yang diangkat ke tatanan rahmat. Menguduskan pekerjaan tidak berarti "melakukan sesuatu yang suci" saat bekerja, tetapi benar-benar membuat pekerjaan itu sendiri menjadi suci.
Aspek kedua, yang tidak terpisahkan dan, dalam beberapa hal, merupakan konsekuensi dari yang pertama, adalah bahwa pekerjaan yang dikuduskan itu menguduskan: Kita tidak hanya dapat dan harus menguduskan diri kita dan berpartisipasi dalam pengudusan sesama pada saat kita bekerja, tetapi juga melalui pekerjaan kita, dengan melakukannya dengan baik dan dengan melayani orang lain demi cinta akan Tuhan.
Inilah jalan Kristiani: Melalui pekerjaan kita berkontribusi untuk perdamaian dunia, keadilan sosial, ‘sustainability’ dan mempersiapkan dunia untuk menerima Tuhan. Paus Leo XIV mengingatkan kita: "Setiap upaya harus dilakukan untuk mengatasi ketidaksetaraan global –antara kemewahan dan kemelaratan– yang menciptakan perpecahan mendalam antar benua, negara, dan bahkan di dalam masyarakat itu sendiri."
Seperti yang dijelaskan oleh Santo Josemaría, ada hubungan yang nyata antara pengudusan pekerjaan profesional dan rekonsiliasi dunia dengan Tuhan: "Menyatukan pekerjaan profesional dengan perjuangan asketis dan kontemplasi (mungkin terdengar mustahil, tetapi ini perlu jika kita ingin membantu mendamaikan dunia dengan Tuhan) dan mengubah pekerjaan biasa ini menjadi sarana pengudusan pribadi dan kerasulan: Bukankah ini sebuah cita-cita yang agung dan mulia, yang layak untuk diperjuangkan seumur hidup?" [6]
Kita dapat menghidupi cita-cita agung dan mulia ini dalam pekerjaan kita, apa pun itu, dengan tetap mengingat perspektif pelayanan kepada masyarakat—"Dunia untuk diubah," seperti semboyan Anda. Saya senang melihat bahwa misi Anda berbicara tentang kepemimpinan yang baik bagi orang-orang, bagi perusahaan, dan juga bagi masyarakat.
Dari dunia bisnis banyak hal-hal baik dan besar yang dapat dilakukan bagi masyarakat, meskipun tidak semua yang dibutuhkan masyarakat dapat dicapai melalui bisnis, karena perusahaan dibatasi oleh misi spesifik mereka dan perlu menghasilkan keuntungan (yang adalah bagian dari tujuan mereka).
Negara, komunitas, dan keluarga juga dibutuhkan, masing-masing dengan tanggung jawabnya sendiri. Oleh karena itu, dalam pelatihan Anda, berusahalah untuk menjangkau pribadi secara utuh, termasuk dimensi spiritualnya, sehingga individu-individu yang terbentuk dengan baik dapat berkontribusi untuk melayani masyarakat dalam semua dimensinya. Inilah buah dari pengudusan pekerjaan Anda, yang Anda lakukan dengan baik dan demi cinta.
Jika kita ingin mengubah dunia, kita harus mulai dengan mengubah diri kita sendiri dan memberi ruang bagi Tuhan dalam hidup kita, terutama di tempat kerja. Beberapa kata terkenal dari pendiri Opus Dei menawarkan definisi sederhana namun esensial tentang pengudusan pekerjaan, dalam bentuk nasihat praktis: "Tambahkan motif supranatural pada pekerjaan Anda dan Anda akan menguduskannya."[7] Ini tidak berarti melakukan sesuatu yang berbeda, tetapi melakukan hal yang sama dengan cara yang berbeda, dengan motif supranatural yang menggerakkan kita untuk berusaha lebih keras dan dengan cinta yang lebih besar.
Dengan kata lain, pekerjaan menjadi kudus ketika dilakukan dengan motif supranatural. Tetapi ini tidak boleh dipahami sebagai semacam "moralitas niat" semata. Dalam istilah klasik, kita tidak boleh mengutamakan finis operantis (niat/intensi pekerjanya) sebagai sesuatu yang terlepas dari finis operis (tujuan pekerjaan), seolah-olah yang terakhir tidak memiliki arti penting yang nyata.
Finis operantis adalah motivasi orang yang bekerja, yang mungkin didorong oleh bermacam-macam intensi. Finis operis adalah apa yang ingin mereka capai melalui aktivitas tersebut: melayani klien, menyelesaikan laporan, mencapai tujuan. Untuk benar-benar melayani melalui pekerjaan kita, niat baik saja tidak cukup: kita membutuhkan tindakan nyata. "Agar berguna, layanilah," seperti yang dikatakan Santo Josemaría.
Tatanan supranatural mengambil dan mengangkat realitas manusiawi ini, sehingga pekerjaan menjadi kudus jika pekerjaan itu "lahir dari cinta, mewujudkan cinta, dan diarahkan pada cinta," dan apabila cinta ini adalah "kasih Allah yang dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus."[8] Bila kita menghayati kesatuan hidup yang begitu sering dibicarakan oleh Santo Josemaría, kasih Allah akan meresapi semua yang kita lakukan di tempat kerja: Dari laporan-laporan sampai pembicaran telepon, sampai ke detail-detail kecil yang kita selesaikan dengan cermat. Dengan demikian, Finis operantis menembus dan mengubah finis operis dari segala tindakan kita dari dalam.
Pekerjaan itu kudus, dikuduskan, jika terinspirasi oleh dan penuh dengan cinta kepada Tuhan dan kepada sesama demi Tuhan. Inilah inti dari motif supranatural yang, jika ditambahkan pada pekerjaan kita, cukup untuk menguduskannya. Dan jelas bahwa "niat" ini secara alami akan mengarah pada keunggulan manusiawi dalam pekerjaan itu sendiri: "Tidak ada gunanya mempersembahkan kepada Tuhan sesuatu yang kurang sempurna dalam keterbatasan kondisi manusia yang malang. Pekerjaan yang kita persembahkan harus tanpa cacat dan harus dilakukan secermat mungkin, bahkan sampai detail yang terkecil, karena Tuhan tidak akan menerima pekerjaan yang asal-asalan. 'Janganlah kamu mempersembahkan sesuatu yang bercacat,' Kitab Suci memperingatkan kita, 'karena itu tidak layak bagi-Nya.'" Itulah sebabnya pekerjaan setiap orang, tugas yang menyita waktu dan energi kita, "harus menjadi persembahan yang layak bagi Pencipta kita. Itu harus menjadi operatio Dei, karya Tuhan yang dilakukan bagi Tuhan: Singkatnya, tugas yang tuntas dan tanpa cacat."[9]
Namun, kita tidak boleh menyalah-artikan bekerja sebaik mungkin dengan perfeksionisme yang berakar pada kesombongan atau ketidak-teraturan. Kita harus bekerja dengan baik secara wajar, mengetahui bahwa kita memiliki banyak tanggung jawab lain yang juga harus mendapat perhatian kita dan di mana kita juga harus membawa kasih Allah.
Pekerjaan yang dikuduskan bukan hanya pekerjaan untuk Tuhan dan di dalam Tuhan, tetapi juga pekerjaan dari Tuhan, karena Tuhanlah yang menguduskan. Dia mencintai kita lebih dahulu dan Dialah yangmemungkinkan kita mencintai melalui Roh Kudus, yang kasih-Nya telah kita terima.
Agar Tuhan bekerja di dalam diri kita dan melalui pekerjaan kita (sehingga pekerjaan kita menjadi karya Tuhan), kita perlu memberi ruang bagi-Nya dalam kehidupan sehari-hari kita: Ruang untuk berdoa dan mendengarkan—di rumah, di kantor, di jalan, di gereja—agar kita memiliki kesatuan dengan Tuhan yang memungkinkan Dia hadir dalam semua tindakan kita.
Menguduskan pekerjaan dalam arti objektif, eksternal dan struktural (misalnya, dalam pekerjaan keuangan atau akuntansi) tidak terpisahkan dari menguduskan melalui pekerjaan (dalam usaha sehari-hari untuk mencapai tujuan kita dan melayani orang), dan juga dari menguduskan diri dalam pekerjaan (bertumbuh dalam cinta). Memang, ini adalah hasil langsung dan pasti dari menguduskan pekerjaan dalam dimensi subjektifnya (sebagai tindakan pribadi seseorang).
Tidak diragukan bahwa pekerjaan yang secara subjektif tidak dikuduskan masih dapat berkontribusi pada pengudusan dunia, sejauh pekerjaan itu membantu membangun struktur sosial, ekonomi dan struktur lainyang pada dasarnya efektif dan adil—aspek penting adalah menata struktur-struktur ini sesuai dengan kehendak Tuhan. Misalnya, the United Nations’ Sustainable Development Goal (Pembangunan Berkelanjutan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Namun, hanya pekerjaan yang dikuduskan secara subjektif, dan oleh karena itu menguduskan orang yang melakukannya, yang akan berkontribusi tidak hanya untuk (menuju) dunia yang adil, tetapi juga untukmenanamkan kasih Kristus di dunia dengan menguduskannya. Tentu saja, pengudusan dunia dari dalam ini tidak tergantung pada satu orang saja, tetapi tergantung pada banyak orang yang menguduskan pekerjaan mereka dan dikuduskan melalui pekerjaan mereka, dalam segala jenis profesi.
Seperti kata Santo Josemaría, "jalan-jalan ilahi di bumi telah terbuka,"[10] dan kita membutuhkan banyak pria dan wanita yang bersedia menempuh jalan itu untuk mengangkat dunia dari dalam, bukan melalui kampanye ideologis atau kampanye yang memecah belah, tetapi melalui pertumbuhan batin, keterbukaan terhadap sesama, dan kesediaan untuk menerima rahmat Tuhan, yang ingin mencurahkan iman, harapan, dan kasih di sekeliling kita.
Pentingnya Pekerjaan Manajerial secara Khusus
Anda memiliki misi besar di hadapan Anda: Untuk mendidik para pemimpin bisnis yang akan menciptakan lingkungan di mana banyak orang akan bekerja dan berkembang secara pribadi, melalui pekerjaan mereka.Mempersiapkan orang-orang yang akan memikul beban berat ini adalah suatu tanggung jawab yang besar.
Sering kali, mereka tidak akan memiliki solusi siap pakai tentang bagaimana menafsirkan masalah atau menyelesaikan suatu situasi. Secara umum, manajemen melibatkan serangkaian kegiatan seperti memprediksi, mengorganisasi, mengkoordinasikan, dan mengawasi perkembangan melalui hasil-hasilkegiatan suatu organisasi.
Mengingat kompleksitas dan variabilitas dari realitas, dapat dimengerti bahwa timbul lah berbagai teori interpretasi tentang hakikat manajemen atau dalam menganalisa pekerjaan manajerial.[11] Itulah sebabnya pendidikan seorang manajer tidak hanya terdiri dari menghafalkan prinsip-prinsip atau mencari perangkat untuk pemasaran, keuangan, strategi, atau akuntansi, tetapi mencapai pemahaman yang bijaksana (prudential understanding), yang biasanya hanya diperoleh melalui pengalaman panjang yang diproses dengan baik.
Tanggung jawab seorang manajer menuntut praktik kebijaksanaan praktis (prudence), kebajikan yang paling penting dalam pemerintahan/kepemimpinan. Saya teringat akan sebuah kutipan terkenal dari Santo Thomas Aquinas: "Semoga orang arif mengajar kita, orang suci mendoakan kita, dan orang yang bijaksana memerintah kita."
Melalui kuliah-kuliah dan metode studi kasus, para mahasiswa Anda belajar untuk melatih kebijaksanaan praktis dengan mengajukan pertanyaan yang tepat, menggali argumen secara mendalam, memahami sudut pandang orang lain tanpa prasangka, dan mengubah pendapat mereka sendiri.
Secara umum, tindakan yang bijaksana (prudent) memerlukan pengetahuan yang cukup tentang masa lalu, perhatian pada keadaan/kondisi saat ini, dan pandangan ke depan mengenai konsekuensi di masa depan dari keputusan-keputusan yang akan dibuat.
"Kebijaksanaan (Prudence), selain kebajikan yang menyempurnakan aktivitas seperti ini (praxis), merupakansatu-satunya kebajikan intelektual yang mempunyai objek moral; kebajikan ini berfungsi sebagai semacam 'jembatan' antara kedua dimensi, mendamaikan pemikiran dan tindakan. Sebagai keutamaan (habit) moral, kebajikan ini secara intrinsik menyempurnakan pelakunya—dengan kata lain, membentuk pribadi sang pelakumelalui kepemimpinan."12
Dengan menghayati kebijaksanaan (prudence) dalam kepemimpinan, para peserta akan bertumbuh baik secara moral maupun intelektual, dan mereka akan mampu menciptakan lingkungan di mana orang lain juga akan bertumbuh dan dengan demikian berkontribusi membangun masyarakat yang lebih baik.
Karakteristik kunci lain dari pekerjaan manajerial yang baik adalah keterbukaan dan fleksibilitas: Keterbukaan pikiran untuk belajar dari pengalaman dan dari studi; keterbukaan untuk memahami perubahan yang dituntut oleh perkembangan zaman; keterbukaan untuk menyambut dan menghargai saran atau penjelasan orang lain (tanpa tergesa-gesa dan tanpa prasangka); kemampuan untuk mendengarkan.
Keterbukaan juga berarti tidak mematikan inisiatif secara sewenang-wenang, tetapi mendorong dan membimbingnya. Ini termasuk keterbukaan terhadap perubahan, dan terutama keterbukaan mental untuk mengubah pikiran bila diperlukan. Seperti yang dikatakan Santo Josemaría, "Kita bukanlah sungai yang tidak bisa mengalir balik."
Dan terutama ini berarti keterbukaan hati, untuk memahami dan mencintai orang lain. Keterbukaan itu membawa kita untuk menerima orang lain apa adanya, tanpa menghakimi. Itu juga berarti menjadi jembatan bagi orang-orang yang mempunyai pikiran yang berbeda-beda. Kita dapat bekerja dengan sangat baik dengan orang dari keyakinan lain atau orang yang tidak mempunyai keyakinan, dan orang-orang yang memiliki gaya hidup yang mungkin tidak seperti gaya hidup kita, namun memiliki banyak kebaikan di dalam diri mereka. Persahabatan dan proyek bersama di perusahaan dapat dibangun di atas fondasi yang baik itu.
Tentang fleksibilitas, jelas ini berlawanan dengan kekakuan, tetapi tidak berlawanan dengan kekuatan. Ini adalah kemampuan untuk menerima dan memutuskan pengecualian yang perlu dan yang tepat. Dalam konteks ini, saya pandang penting juga untuk menekankan pentingnya membantu perkembangan kebebasan batin para kolaborator di semua tingkat profesional, dengan menjelaskan alasan di balik segala keputusan atau arahan.
Tujuannya adalah agar mereka melaksanakan pekerjaan mereka dengan baik dan dapat melayani dengan lebih baik. Sejalan dengan itu, kepemimpinan yang baik menghindari kontrol yang berlebihan dan instruksi yang terlalu rinci. Manajemen mikro (micromanagement), sebagai gaya kepemimpinan, akan menciptakan boneka, bukan orang dewasa yang memiliki penilaian yang sehat.
Saya juga ingin menyebutkan di sini pentingnya bagaimana mendelegasikan (tugas), dengan mempertimbangkan situasi pribadi setiap orang dan lingkungannya. Saya ingat apa yang ditulis Santo Josemaría dalam konteks yang lebih luas: "Anda tidak bisa menggunakan cara yang sama untuk semua orang. Para ibu, sekali lagi, adalah contoh yang terbaik: Keadilan mereka terapkan dengan perlakuan yang berbeda terhadap setiap anak."13
Beberapa orang, terutama mereka yang masih muda, perlu diikuti dari dekat dan diberi masukan (feedback)untuk mendapatkan pengalaman yang mereka butuhkan secepat mungkin sehingga dapat melakukan pekerjaan mereka dengan baik. Orang yang lebih dewasa, memerlukan pembinaan (coaching) yang membantu mereka belajar membuat keputusan sendiri. Dan pada akhirnya, mereka akan mencapai titik di mana mereka dapat bekerja secara mandiri, dan para pemimpin dapat mendelegasikan kepada mereka dengan penuh kepercayaan dan tanpa kekhawatiran. Namun mereka semua itu membutuhkan kepercayaan, kedekatan, dan persahabatan dari para manajer mereka.
Manajemen biasanya melibatkan penyaluran berbagai elemen dan tindakan menuju tujuan bersama. Ini menuntut kapasitas sintesis tertentu, yang meskipun tetap memperhatikan aspek-aspek yang berbeda dari setiap masalah, mampu menyatukannya untuk mencapai tujuan bersama. Di sinilah letak apa yang disebut sebagai "tujuan" (purpose) perusahaan, yang mencakup memberi perhatian pada semua pemangku kepentingan, sehingga kepemimpinan dapat menyatukan upaya semua orang secara terpadu.
Jelaslah bahwa pentingnya pekerjaan manajerial ini terletak pada kenyataan bahwa sebagian besar dari efektivitas pekerjaan orang, pertumbuhan pribadi mereka melalui pekerjaan, serta budaya dan suasana kerja dalam perusahaan bergantung padanya. Dengan demikian, beban tanggung jawab ini ditanggung oleh para manajer.
Peran kepemimpinan bukanlah suatu privilese, melainkan sebuah pelayanan dan tanggung jawab, yang terdiri dari menciptakan konteks yang efektif untuk orang lain. Oleh karena itu, manajer perlu mengembangkandisposisi batin yang mengarah pada komitmen yang teguh pada tugas mereka sendiri.
Di sini Anda membentuk para pemimpin seperti itu tidak hanya melalui kuliah-kuliah dan team work, tetapi juga dengan menciptakan budaya kerja yang diselesaikan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dalam banyak hal kecil yang praktis (taman yang terawat baik, papan tulis yang bersih, kelas yang disiapkan dengan cermat dengan kesimpulan yang jelas dan meyakinkan), serta dalam semangat sukacita, kehangatan dan kepedulian terhadap setiap individu.
Pada akhirnya, suasana persahabatan ini, di mana setiap orang menyadari bahwa mereka benar-benar dihargai dan dicintai, menjelaskan keterbukaan dan sukacita yang dapat dirasakan di sekolah Anda dan dalam pertemuan para alumni.
Terima kasih banyak.
Daftar Pustaka
[1] Christ is Passing By, no. 47.
[2] Saint John Paul II, Address, 3 July 1986, no. 3.
[3] See C. Fabro, Riflessioni sulla libertà, Maggioli, Rimini 1983, pg. 43–51; 57–85.
[4] Christ is Passing By, no. 48.
[5] Christ is Passing By, no. 47.
[6] Instruction, 19 March 1934, no. 33.
[7] The Way, no. 359.
[8] Rom 5:5.
[9] Friends of God, no. 55.
[10] Christ is Passing By, no. 21.
[11] See, for example, G. Scalzo and S. García Álvarez, “El Management como práctica: una aproximación a la naturaleza del trabajo directivo,” in Empresa y humanismo, XXI [2018], pg. 95–118.
[12] G. Scalzo & S. García Álvarez, pg. 112.
[13] Letter, 29-IX-1957, no. 25.