Pintu masuk menuju kerendahan hati

Tuhan membuat diri-Nya menjadi kecil, sehingga kita dapat menjadi besar dengan kebesaran yang paling sejati: kerendahan hati. Sebuah artikel oleh Guillaume Derville mengenai kehidupan Kristiani.

Bagian luar dari Basilika Kelahiran Yesus di Bethlehem masih menyimpan tanda dari pintu gerbang purbakala, yang mana seiring dengan berjalannya waktu menjadi pintu masuk yang kecil hampir satu setengah meter tingginya. Kerendahannya dimaksudkan untuk mencegah siapapun masuk dengan menunggangi kuda, untuk melindungi situs yang kudus ini. Penyusutan dimensi dari pintu masuk ini merupakan tantangan bagi peziarah yang datang ke tempat ini dengan pesan: “Kita harus membungkuk; secara spiritual kita harus melangkah masuk dengan menggunakan kaki, dalam rangka memasuki pintu masuk iman dan menjumpai Tuhan yang sangat jauh berbeda dari prasangka dan opini kita – Tuhan yang menampakkan diri-Nya di dalam kerendahan hati dari seorang bayi yang baru lahir. [1]

Kita semua adalah anak-anak Allah

Di dalam surat kedua ensikliknya, Paus Fransiskus mengingatkan kita mengapa kita sangat membutuhkan kerendahan hati, suatu kebenaran yang sederhana dan luhur, yang dengan mudah kita mengalami risiko untuk melupakannya dalam hiruk pikuk hidup kita sehari-hari: “Kita bukanlah Tuhan.” [2] Tentu, fakta bahwa kita adalah makhluk ciptaan adalah kebenaran yang paling mendalam mengenai diri kita; kita telah menerima keberadaan kita dari Tuhan. Ketika kita menerima kebenaran yang paling mendasar ini, kita membiarkan diri kita diubah oleh rahmat ilahi. Kita akhirnya dapat memahami realita seperti apa adanya, menyempurnakannya, dan mempersembahkannya kembali kepada Tuhan, sungguh-sungguh mengasihi dunia ini, sebagaimana Santo Josemaria seringkali menekankan hal ini. Dan ditengah perjuangan yang hebat ini terletak kerendahan hati, “yang membantu kita untuk memahami, sekaligus dan di saat yang sama, baik keburukan dan kelebihan kita” [3]: keburukan kita, di mana kita sering mengalaminya, dan kebesaran dari keberadaan kita, melalui baptisan, sebagai anak perempuan dan laki-laki Tuhan di dalam Kristus.

Kerendahan hati adalah “keutamaan dari para kudus dan mereka membiarkan dirinya dipenuhi oleh Tuhan ... semakin penting mereka di mata orang lain, semakin mereka menyadari bahwa mereka bukan apa-apa, dan tidak bisa melakukan apa-apa diluar dari rahmat Tuhan (bdk Yoh 15:8).”[4] Seperti inilah anak kecil, dan seperti inilah kita di hadapan Tuhan. Sehingga kita perlu untuk kembali ke topik yang terpenting: Tuhan mencintai saya. Pada saat seseorang mengetahui bahwa dia dicintai Tuhan – cinta yang dia temukan dalam cinta yang diterima dari sesama, orang tersebut barulah dapat mengasihi semua orang baik laki-laki maupun perempuan.

Kerendahan hati terhadap sesama

Kerendahan hati membimbing kita untuk menerima kenyataan apa adanya, khususnya orang yang dekat dengan kita karena hubungan keluarga, keterikatan dalam iman, atau kehidupan itu sendiri. Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman (Galatia 6:10). Para Rasul mengajarkan kepada kita untuk tidak lelah dalam hidup dalam tatanan kasih. Bagaimana bisa kita gagal untuk melihat mereka, yang seperti kita sendiri, telah menerima karunia baptisan sebagai saudara dan saudari, anak-anak dari Bapa yang baik dan maha rahim? “Kerendahan hati membimbing kita bagaikan bimbingan tangan untuk memperlakukan tetangga kita dengan cara yang sebaik mungkin, yaitu dengan memahami semua orang, hidup dalam damai dengan semua orang, memaafkan semua orang; tidak menciptakan perpecahan atau penghalang; dan berlaku – selalu! – sebagai alat yang memelihara kesatuan.” [5]

Mereka yang rendah hati memiliki kepekaan lebih untuk karunia-karunia yang diterima dari Tuhan, baik dalam kehidupan mereka sendiri maupun dalam kehidupan sesama; mereka memahami bahwa setiap individu adalah karunia dari Tuhan, dan dengan demikian mereka dapat menerima semua orang, tanpa membandingkan ataupun bersaing. Setiap pribadi adalah unik di mata Tuhan, dan memberi kontribusi berupa sesuatu yang tidak bisa ditawarkan orang lain. Kerendahan hati membimbing kita untuk bersuka-cita dalam kebahagiaan orang lain, semata-mata karena suka-cita itu ada dan memiliki nilai alamiah. Seseorang yang rendah hati belajar untuk hanya menjadi seseorang yang berdampingan dengan yang lain.

Di sinilah keluarga memiliki peran yang penting. Seorang anak tumbuh terbiasa bersama orang lain, untuk berbicara dan mendengar. Dengan saudara dan saudari yang lain, seorang anak tidaklah selalu menjadi pusat perhatian, dan belajar untuk saling berterima kasih dengan yang lain, dan pada saat kesuksesan pribadi datang, dia akan menyadari bahwa banyak hal dapat menjadi mungkin dengan pengorbanan dari anggota keluarga dan sahabat. Kerendahan hati tumbuh dengan rasa terima kasih, juga dengan pengampunan; memaafkan, meminta pengampunan, untuk dimaafkan. Siapakah aku sehingga orang lain harus mengatakan kepadaku, “maafkanlah aku”? Kerendahan hati seseorang yang meminta pengampunan, mungkin seseorang yang memiliki otoritas, adalah menarik dan sangat menular. Demikian terjad terutama bila dihidupkan di tengah-tengah pasangan, antara orang tua dan anak-anak, antara atasan dan rekan sekerja.

Tanpa bersikap berlebihan, umat kristiani harus terbiasa terarah kepada sesamanya, karena setiap individu sangatlah bermakna, dan sungguh bernilai. Sadar akan harga diri orang lain membantu kita tidak jatuh ke dalam “sikap acuh yang merendahkan” [6]. Panggilan kristiani menuntut perhatian terhadap sesama, terbuka terhadap mereka di sekitar kita tanpa terlalu khawatir mengenai apa yang akan mereka katakan mengenai kita atau apakah kita akan tampak konyol. Beberapa orang mengintimidasi yang lainnya karena mereka sendiri kurang percaya diri, dan gagal untuk berkomunikasi dengan ringan dan hangat. Mereka mungkin terlalu berpikir akan diri mereka sendiri, mengenai apa yang akan orang lain katakan mengenai diri mereka, mungkin akibat rasa hormat dan perhatian kepada citra diri mereka sendiri yang berlebihan, di mana dibaliknya mungkin tersembunyi kesombongan dan kurangnya kesederhanaan.

Mencoba untuk memusatkan perhatian pada diri sendiri, berulang kali mengungkapkan apa yang diinginkan dan diharapkan, menekankan masalah kesehatan yang kurang lebih umum; atau sebaliknya, menyembunyikan sebuah penyakit yang mana orang lain seharusnya mengetahuinya, agar dapat membantu kita dengan doa dan dukungan mereka; semua sikap tersebut kemungkinan adalah sebuah tanda di mana kita membutuhkan pemurnian diri. “Engkau tidak mematikan diri, apabila engkau mudah tersinggung; apabila semua pikiranmu hanyalah untuk dirimu sendiri; apabila engkau mempermalukan orang lain; apabila engkau tidak tahu cara untuk berhenti dari hal-hal yang tidak penting, dan, pada waktunya apa yang penting; apabila engkau menjadi muram karena hal-hal tidak sesuai dengan apa yang kau harapkan. Di sisi lain, engkau dapat memastikan bahwa dirimu mematikan raga, apabila engkau mengetahui bagaimana cara menjadikan dirimu menjadi ‘segala-galanya bagi semua orang, untuk mendapatkan semua’ (1 Kor 9:22). [7]”

Berfokus pada hal baik dan hidup dalam keselarasan

“Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak berkabung (Mat 11:17): Tuhan kita memakai sebuah lagu atau mungkin sebuah permainan populer untuk menunjukkan bahwa beberapa orang dari angkatan-Nya gagal untuk mengenali Dia. Kita dipanggil untuk menemukan Kristus di dalam setiap peristiwa dan pada setiap individu, dan untuk menghormati jalan ilahi untuk bersikap. Tuhan adalah yang menciptakan, membebaskan, menyelamatkan, mengampuni, dan memanggil …. ”Kita tidak dapat mengambil risiko melawan kebebasan penuh dari cinta yang melaluinya Tuhan masuk ke dalam kehidupan setiap orang.”[8]

Membuka diri kita kepada orang lain menyiratkan beberapa cara untuk mengadaptasikan diri kita dengan orang lain; contohnya, bermain bersama di dalam tim olah raga dengan orang yang kemampuannya lebih kurang; atau melupakan pilihan-pilihan pribadi untuk melakukan sesuatu yang disukai orang lain dalam hal beristirahat. Dalam hubungan dengan orang lain, orang yang rendah hati suka bersikap positif. Sedangkan orang yang sombong condong terlalu menekankan hal yang negatif. Di dalam keluarga, di pekerjaan, dan secara luas di masyarakat, kerendahan hati memampukan kita untuk melihat terang dalam keutamaan mereka. Kebalikannya, mereka yang cenderung membicarakan hal-hal yang “membuat mereka gelisah” atau yang menganggu mereka mengenai orang lain, biasanya melakukan hal itu karena mereka kurang keterbukaan dalam pikiran dan hati. Mungkin mereka harus belajar untuk mengasihi orang lain dengan kekurangannya. Sehingga, kita dapat mewujudkan tindakan “pendidikan kasih” yang, sedikit demi sedikit menciptakan kekuatan yang tidak dapat ditolak: menjadi kecil agar orang lain dapat bertumbuh. Seperti pewarta Kristus, Yohanes Pembaptis, mengatakan: Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil (Yoh 3:30).

Sang Sabda yang Kekal membuat diri-Nya kecil. “Para Bapa Gereja menemukan dalam kitab Perjanjian Lama terjemahan Bahasa Yunani, suatu paragraf dari kitab nabi Yesaya yang juga dikutip oleh Santo Paulus untuk menunjukkan bagaimana jalan baru Tuhan sudah di ramalkan di dalam Perjanjian Lama. Di situ kita membaca: ”Tuhan membuat perkataan-Nya pendek, Ia menyingkatnya (Yesaya 10:23, Roma 9:28). Sang Putera sendiri adalah Sabda, Logos: Sang Sabda kekal telah menjadi kecil – cukup kecil untuk muat di dalam palungan. Dia menjadi anak kecil, sehingga Sang Sabda bisa digenggam oleh kita.”[9]

Yesus menempatkan diri-Nya dalam jangkauan semua orang. Dia berdialog dengan para murid-Nya, menjelaskan kembali perumpamaan dan menempatkan diri-Nya setara mereka. Dalam hal membayar pajak untuk kaisar, Kristus memperlakukan Petrus setara dengan-Nya (Mat 17:27). Dia juga melakukan demikian terhadap para wanita kudus dan wanita lain yang jauh dari Tuhan, dengan orang Farisi, dengan Pilatus. Kita harus “terlepas” dari cara hidup kita, untuk menghampiri orang lain. Maka kita membangun kemampuan tertentu untuk menyesuaikan diri kita terhadap orang lain, menghindarkan diri terbawa oleh obsesi atau kekalutan; menemukan apa yang disukai dalam diri orang lain, pancaran cahaya dari kasih ilahi; puas untuk menjadi salah satu dari banyak orang, di perayaan keluarga dan dalam mengikuti kalender liturgi, yang menandai irama hidup kita putera-puteri Allah. Orang yang rendah hati hidup penuh perhatian terhadap kebutuhan orang lain. Sikap ini ada di inti dari tata krama yang baik, terlihat dalam banyak hal detil seperti tidak menyela percakapan, dalam makan, dan tidak kurang ketika orang lain melakukan doa meditasi dengan menjawab telepon, terkecuali disaat yang sangat darurat. Kasih tumbuh di humus, tanah yang subur, dari kerendahan hati: Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong ( 1 Kor 13:4).

Kerendahan hati di pekerjaan

Di dalam ensiklik Laudato si’, Paus menunjukkan bahwa dasar dari setiap pekerjaan adalah “sebuah konsep hubungan yang dapat dan harus kita miliki dengan sesuatu selain diri kita sendiri,” [11] dengan hal-hal dan orang di sekitar kita. Sehingga pekerjaan menawarkan banyak kesempatan untuk bertumbuh dalam kerendahan hati.

Sebagai contoh, apabila atasan kita sedikit berlebihan memaksakan kehendaknya, kita dapat mencoba untuk mencari hal untuk dimaafkan, beban dari tanggung jawab yang besar, atau sekedar mengalami kesulitan tidur di malam sebelumnya. Pada saat rekan karyawan melakukan kesalahan, kita mencoba untuk memperbaiki kesalahan tanpa menyakiti perasaan orang tersebut. Merasa sedih dalam melihat kesuksesan orang lain adalah tanda jelas dari kurangnya kerendahan hati, dan juga iman: Semuanya kamu punya. Tetapi kamu adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik Allah (1 Kor 3:22-23). Mereka yang rendah hati, ketika bekerja keras untuk maju dalam formasi profesional, juga melakukan hal itu dengan tujuan untuk melayani orang lain dengan lebih baik. Hal ini berarti memurnikan niat seseorang, mengembalikan pandangan supernatural, tidak terseret ke lingkungan palsu atau bahkan korup, walaupun bukan untuk alasan ini juga kita memandang rendah orang lain. Mereka yang rendah hati menghindari sikap perfeksionisme, menyadari batas diri mereka dan bergantung pada orang lain untuk memperbaiki apa yang telah mereka lakukan. Orang yang rendah hati mampu untuk merubah diri dan meminta maaf.

Tuhan telah memanggil kita menjadi makhluk, penuh dengan kasih yang cuma-cuma; namun kadangkala, kita harus menyatakan keberadaan kita. Keinginan untuk menonjol, untuk melakukan hal dengan cara yang berbeda, untuk menarik perhatian untuk diri sendiri, sebuah keasikan yang berlebihan untuk merasa dibutuhkan dan berusaha untuk “bersinar” bahkan dalam melayani, mungkin adalah tanda dari sakit dalam jiwa yang membutuhkan pertolongan orang lain dan patuh pada rahmat.” Dengan pandangan yang acuh pada hal yang baik dan lebih memperhatikan apa yang penting dari ego kita sendiri, orang yang suam-suam kuku akan menambah dalam jiwanya endapan egoisme dan kesombongan … percakapan kosong yang terpusat pada diri sendiri … bahwa non cogitare nisi de se ditunjukkan dalam non loqui nisi de se. Satu tindakan amal kasih berkurang, dan semangat kerasulan berkurang.” [12] Kebalikannya, orang yang rendah hati menghindari percakapan mengarah pada kehidupan dirinya sendiri, pengalamannya, dan apa yang telah dia capai; dia menghindari untuk mencari tahu secara belebihan apa yang orang lain tahu mengenai kebaikannya. Sangat berbeda adalah sikap dari seseorang yang secara konstan mengingat kerahiman Tuhan dan melihat hidup dalam terang penyelenggaraan ilahi. Apabila seseorang mebicarakan apa yang telah dia lakukan, hal itu dilakukan agar rang lain memperoleh manfaat. Jadi testimonial dari perjumpaan pribadi dengan Kristus, dalam batasan yang dibutuhkan kepatutan, dapat membantu orang lain menemukan bahwa Yesus juga mencintainya, memaafkannya, dan menguduskan dia. Suka cita adalah hasilnya! “Aku dikasihi, oleh karena itu aku ada”.[13]

Beberapa kesempatan adalah secara istimewa menguntungkan untuk memperbaharui keinginan kita untuk kerendahan hati. Contohnya, pada saat menerima promosi atau memulai pekerjaan dengan pantauan publik dalam jumlah tertentu. Itu adalah kesempatan untuk membuat keputusan-keputusan yang mencerminkan cara kristiani dalam bekerja: melihat posisi ini sebagai kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita untuk melayani lebih lagi; tidak menggunakannya untuk kepentingan pribadi; meningkatkan perhatian kita kepada yang paling lemah, tanpa menyerah kepada godaan untuk melupakan mereka, karena sekarang dia berhadapan dengan orang di mana sebelumnya dia tidak memiliki akses kepadanya. Dan juga adalah suatu kesempatan untuk memberikan contoh melepaskan diri dari keuntungan-keuntungan pribadi dan kehormatan yang melekat pada posisi atau pekerjaan ini, untuk tidak menganggap penting pujian yang umumnya diberikan kepada orang yang bertugas, melainkan lebih terbuka kepada kritik, yang seringkali mengandung inti kebenaran. Ada banyak cara untuk mengupayakan kesederhanaan di dalam pekerjaan kita: menertawakan diri kita sendiri ketika, contohnya, kita menyadari diri kita mencari bagaimana kita muncul dalam foto atau jika kita dikutip di sebuah tulisan; tidak mencoba meninggalkan tanda pribadi pada pada segalanya atau tersinggung saat saran kita tidak diminta untuk memecahkan beberapa masalah …

Belajar untuk mengalah pada penilaian pribadi

Dalam suatu reuni pekerjaan atau keluarga, seringkali terjadi pertukaran sudut pandang yang mungkin bertentangan. Apakah kita seseorang yang selalu ingin agar orang lain mengalah pada cara pikir kita? Cara semua hal seharusnya terjadi, apa yang harus diselesaikan …

Kecenderungan berlebih untuk bersikeras pada cara pandang diri sendiri mungkin menandakan pikiran yang kaku. Tentu, mengalah kepada orang lain bukanlah sesuatu yang otomatis yang selalu bijaksana untuk dilakukan. Tapi seringkali itu menunjukkan bahwa kita dapat berdiri di atas cara pandang kita. Mengambil keuntungan dari kesempatan untuk menyerahkan penilaian pribadi kita adalah sesuatu yang sangat berkenan di mata Tuhan.[14] Dengan kata-kata yang tajam, Benediktus XVI pernah membahas kekakuan pikiran Tertullian di masa akhir hidupnya, ketika dia mengisolasi dirinya dalam cara pandangnya sendiri. “Ketika seseorang hanya melihat pikirannya sendiri di dalam kebesarannya, justru pada akhirnya, kebesaran inilah yang hilang.”[15]

Terkadang kita butuh untuk mendengarkan orang yang lebih muda yang memiliki lebih sedikit pengalaman tetapi mungkin memiliki karunia yang lebih dalam kecerdasan atau hati, atau memegang kedudukan di mana rahmat Tuhan memberikan mereka pertolongan khusus. Apabila kita telalu berlebihan memikirkan apa yang akan orang katakan mengenai kita, kita kurang kerendahan hati. Kehidupan dari Yesus, Putra Allah, adalah pelajaran yang tidak ada habisnya untuk setiap orang Kristen memiliki sebuah tanggung jawab di mana dunia menganggap sangat penting. Sambutan pada saat memasuki Yerusalem tidak membawa Sang Raja dari Raja untuk melupakan bahwa yang lainnya akan menyalibkan Dia dan juga mengalami kesengsaraan sebagai seorang pelayan (cf. Yoh 12:12-19).

Santo Louis, Raja Perancis, pernah menasehati anaknya bahwa, apabila suatu hari dia menjadi seorang raja, pada waktu pertemuan dengan penasehatnya dia jangan mempertahankan pendapatnya dengan terlalu gigih, tanpa mendengarkan terlebih dahulu yang lainnya: “Anggota dari penasehat itu mungkin takut untuk membantahmu, sesuatu yang mungkin tidak diinginkan.” [16] Sangatlah baik untuk belajar tidak menawarkan kepada yang lain pendapatmu telalu cepat, di atas semuanya ketika seseorang tidak mempunyai tanggung jawab yang paling utama dan kurang informasi latar belakang dari topik itu, belum lagi kekurangan rahmat pengudusan serta pengetahuan akan fakta-fakta yang mungkin orang berwenang memilikinya. Seseorang perlu untuk mempelajari kebijaksanaan dari mendengarkan para penasehat dan merubah pendapat pribadi. Bijaksana dalam menilai diperkuat dengan kerja sama kelompok. Bekerja sama sebagai sebuah tim mempersatukan usaha, mencerminkan kehati-hatian, dan memperoleh keputusan dengan pertolongan dari orang lain: semua ini juga melatih di dalam kerendahan hati dan kepandaian.

Kerendahan hati dari pelayan yang tidak berguna

Dalam inisiasif pastoral, di dalam paroki, di dalam perusahaan social, di dalam project untuk untuk membantu immigrant, seringkali solusi dari sebuah masalah bukanlah pembuktian tanpa bukti, dan masih banyak cara lagi untuk mendekati mereka. Orang yang rendah hati akan membuktikan pendapatnya sendiri, sementara meminta point yang specific untuk dijelaskan apabila dibutuhkan, bahkan menerima petunjuk yang berbeda dari pandangan diri sendiri. Maka seseorang menunjukkan kepercayaannya kepada Rahmat Tuhan, di mana membantu mereka yang mengemban tanggung jawab mereka dengan tujuan yang benar dan bergantung kepada nasihat kepada orang yang ahli di area itu.

Beberapa orang menyadari bahwa Gereja Katolik, dengan koleksi yang mengagumkan mengenai kerendahan hati, menginspirasi diseluruh dunia dengan jumlah yang besar dari inisiatif untuk menolong yang sakit dan kaum papa. Kerendahan hati sangatlah diperlukan bagi orang-orang Tuhan, di mana kemanusiaan dan keIlahian berkaitan sangat dekat. Betapa indahnya untuk menjadi sebuah amplop surat yang dibuang pada saat sebuah surat diterima! Kita adalah pelayan yang tidak berguna, kita telah melakukan apa yang telah diwajibkan (Lukas 17:10).

Serupa, seorang pastor akan memiliki “kerendahan hati untuk mempelajari untuk tidak menjadi modern,” dan tidak selalu mencari untuk menjadi pusat dari segalanya; dia akan menolak dengan naluriah keinginan untuk menonjol, untuk selalu menjadi pusat perhatian, di mana dengan mudah dapat menjadi sebuah tanda dari seseorang yang melihat dirinya sendiri sebagai “pemilik” dari jiwa. Dalam peranan mereka, orang awam, apabila mereka rendah hati, akan menghormati kesucian kepastoran mereka dari apa yang mereka wakilkan; mereka tidak akan mengkritik pastor paroki mereka, atau pastor pada umumnya, tetapi lebih kepada mencoba untuk membantu mereka dan berdoa untuk mereka. Putra dari Noah menutupi ketelanjangan dari ayah mereka yang mabuk (Kejadian 9:23). “Seperti anak yang baik dari Noah, membentangkan sehelai kain dari amal kasih dari kekurangan yang engkau lihat di dalam ayah engkau, pastor “Santo Thomas More bahkan mengaplikasikan kisah ini pada Bapa Paus, yang seharusnya didoakan —bukan dianiaya— oleh orang Kristiani!

Waktu adalah milik Tuhan: iman dan kerendahan hati

“Saksi dari Injil adalah kesepakatan di mana perhatian dari Penyelenggaraan Ilahi adalah konkrit dan segera; Tuhan memelihara semua orang, dari hal yang kecil sampai kejadian yang besar di dunia dan sejarahnya. Kitab Suci dengan tegas memastikan kedaulatan mutlak Tuhan dari perjalanan: ‘Tuhan kita ada di dalam Surga; Ia melakukan apa yang Dia kehendaki-Nya’ (Mazmur 115:3); dan juga demikian halnya dengan Kristus. ‘apabila Ia membuka, tidak ada yang dapat menutup, apabila Ia menutup, tidak ada yang dapat membuka’ (Wahyu 3:7). Seperti Injil Amsal menyatakan: ‘Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana’ (Amsal 19:21).

Iman dan kerendahan hati berjalan dengan seiringan. Di dalam perjalanan kita menuju rumah Surgawi kita, kita butuh untuk membiarkan diri kita dipimpin oleh Tuhan, sebagai penolong untuk Dia dan mendengarkan Sabda-Nya. Pembacaan yang tenang pada perjanjian Lama dan Baru, dengan bantuan dari penjelasan teologi dan sprititual, membantu kita untuk memahami apa yang Tuhan ingin katakan kepada kita pada setiap saat, mengundang kita untuk berubah. “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demiianlah Firman Tuhan” (Yesaya 5:8, Roma 11:33). Kerendahan hati dari Iman belutut sebelum Yesus dipersembahkan di dalam Sakrament Maha Kudus, menyembah perwujudan Sang Sabda seperti penggemballa di dalam Bethlehem. Santa Benedicta dari Salib, Edith Stein, mengatakan dia tidak pernah lupa sewaktu dia melihat seorang wanita masuk kedalam Gereja dengan tas belanjaannya dan berlutut untuk berdoa.

Kerendahan hati membawa kita untuk hidup di waktu sekarang terlepas apa yang masa depan akan berikan, menemukan disana kehendak Tuhan. Untuk kita orang Kristiani “yang merindukan Kedatangan-Nya” (2 Timotius 4:8). Apabila kita mendapatkan diri kita sendiri kesal dengan keadaan, kita butuh untuk bertumbuh di dalam iman dan kerendahan hati. “Pada saat engkau benar-benar menyerahkan diri kita sendiri kepada Tuhan, engkau akan mengetahui bagaimana untuk menjadi puas dengan apapun yang terjadi. Engkau tidak akan kehilangan kedamaianmu apa yang kau jalankan tidak sesuai dengan apa yang engkau harapkan, bahkan apabila engkau telah berusaha dengan segala upaya, dan menggunakan berbagai macam cara yang diperlukan. Karena akan “terjadi sesuai” dengan apa yang Tuhan kehendaki.

Maka kita dapat menghindari menjadi kesal yang berlebihan, atau kecenderungan untuk terus mengingat kenangan yang memalukan. Seorang anak Allah memaafkan pelanggaran dan melupakan tanpa mendendam. Dan apabila seseorang berpikir mereka telah tersinggung oleh orang lain, mereka akan mencoba untuk tidak memikirkan pelanggaran ini, dan tidak untuk mendendam. Kita perlu untuk melihat pada Yesus, menyadari bahwa “lebih banyak yang telah dimaafkan untukku. Betapa besar hutang cinta kasih yang perlu dibayar olehku!” Orang yang rendah hati mengingat contoh Santo Paulus di dalam hatinya: aku telah melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, aku berlari menuju tujuan untuk memperoleh hadiah yaitu panggilan surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus (Filipi 3:13-14).

Bahkan penyakit dapat diterima sebagai suatu tugas yang Tuhan berikan kepada kita. Dan sebagian dari tugas melibatkan pembelajaran bagaimana untuk membiarkan diri kita untuk di bantu dan di temani, sebuah tanda penyerahan di di dalam Tangan Yesus menjadikan Diri-Nya hadir di dalam saudara dan saudari kita. Karena kita harus melengkapi apa yang “kurang dalam penderitaan Kristus untuk Tubuh Nya yaitu gereja” (Kolose 1:24).

Menyadari dari kelemahan diri kita membawa kita untuk membiarkan diri kita untuk di bantu, menjadi murah hati kepada orang lain, untuk mengerti kondisi manusia, dan untuk menghindari menjadi orang farisi. Kelemahan kita membuka akal dan hati kita untuk memahami kelemahan orang lain: selalu menganggap bermaksud yang baik, contohnya, atau meredakan keadaan yang menjadikan itu sulit bagi orang lain untuk bertindak sebaliknya, walaupun ini tidak berarti mengabaikan kebenaran, mengatakan yang buruk baik, dan baik buruk, atau mengubah pahit menjadi manis, dan manis menjadi pahit (Yesaya 5:20).

Sikap ini menjauhkan dari ketidak percayaan diri yang mejadi kebiasaan di sekarang ini, dan itu tidaklah sehat sejak itu menjadi kegagalan untuk menanggapi kebenaran dan menghalangi orang untuk menetapkan tujuan yang berani. Tidak ada alasan untuk berkecil hati. Kerendahan hati membawa kita untuk menerima apa yang kita tidak dapat terima, dengan pengakuan yang dalam yang Tuhan kita ingin membawa kita menuju jalan dari Kerahiman Nya (Ibrani 3:!0; Mazmur 95 [94] 10). “Untuk menyadari kita terbuat dari tanah liat, menyambungkan bersama lagi, adalah sumber kebahagiaan yang berkesinambungan. Itu berarti menyadari kekecilan kita dimata Tuhan: seorang anak kecil, seorang putra. Apakah ada kebahagiaan lagi dibandingkan dengan apa yang orang yang, mengetahui dirinya menjadi miskin dan lemah, juga mengetahui bahwa dia adalah seorang anak Allah?”

Terbuka untuk penyelenggaraan Ilahi

Mereka yang rendah hati terbuka untuk kejadian dari Penyelenggaraan Ilahi. Mereka tidak mencari untuk mengontrol segalanya di dalam hidup mereka. Mereka menghormati misteri dari kemanusiaan individu dan percaya di dalam Tuhan, walaupun masa depan terlihat tidak pasti. Mereka tidak berusaha untuk mencari rahasia kehendak Tuhan, atau apa yang melampaui kemampuan mereka (Sirakh 3:21). Rahmat Tuhan sudah cukup bagi mereka karena kuasa dijadikan sempurna di dalam kelemahan (2 Korintus 12:9). Kita menemukan rahmat ini di dalam hubungan kita dengan Kristus, membagikan hidup Dia.

Setelah tindakan mengucap syukur ke Tuhan Allah Bapa, Yesus mengundang murid-Nya untuk setiap waktu untuk mendekat Kepada-Nya, quia mitis sum et humilis corde (Matius 11:29). Tuhan kita lemah lembut dan rendah hati, dan di dalam Dia kita akan menemukan pemahaman dan damai. Kita mendekat kepada Tuhan di dalam Ekaristi, tubuh-Nya terluka dan dibangkitkan: in humilitate carnis assumptae, seperti kata Prefasi Adven I. Dia datang kepada kita di dalam kerendahan hati dari kedagingan kita. Kita menyentuh yang tak terlukiskan kerendahan hati dari Tuhan. “Kerendahan hati dari Yesus: di dalam Bethlehem, di dalam Nazareth, pada bukit golgota. Tetapi lebih kepada penghinaan dan merendahkan diri lebih di dalam Hosti Kudus: lebih dari di dalam kandang, lebih ari di dalam Nazareth, lebih dari di atas Salib.”

Perawan Maria menemani kita supaya kita dapat menerima Dia dengan kerendahan hati di mana Dia menerima Putra-Nya Yesus Kristus. Salve radix, salve porta, ex qua mundo lux est orta. Terpujilah Sang Tunas, terpujilah gerbang yang melahirkan Sang Terang yang menerangi dunia, menyelam di dalam kegelepan dari kesombongan. Yesus Kristus, Terang dari terang, mengungkapkan kepada kita belas kasihan dari Tuhan Sang Bapa.

Guillaume Derville