Membangun Tatanan Batin

Sebuah kepribadian yang dewasa bisa berkerja keras dengan kebatinan yang tetap teratur dan tenang.

Pada akhir hayatnya, ketika Santo Agustinus menulis pax omnium rerum tranquillitas ordinis (kedamaian dari segala hal adalah ketenangan dari keteraturan), dia menulisnya dengan pengalaman dari seseorang yang telah mengecap desakan berbagai tuntutan selama bertahun-tahun: keprihatinan pastoral terhadap bagian Umat Allah yang dipercayakan kepadanya; khotbahnya yang menumpuk; tantangan-tantangan pada saat-saat yang meresahkan, dengan berbagai perubahan dalam masyarakat dan kebudayaan. Jadi ini bukanlah pepatah yang ditulis dalam suasana ketenangan dari seseorang yang menikmati masa pensiunnya, melainkan dalam kehingar-bingaran kehidupan harian, dengan segala tuntutannya yang tidak terduga. Kesatuan hidup dari Santo ini dirajutnya hari demi hari. Lama kelamaan, usahanya yang tidak tergoyahkan untuk “membidik sasaran” akhirnya membuat kepribadiannya sangat kuat.

Salah satu ciri kepribadian yang dewasa adalah kemampuan untuk merajut kesibukan sehari-hari dengan keteraturan dan kedamaian batin. Untuk mencapai keseimbangan ini diperlukan usaha yang sungguh-sungguh. Suatu kali, Santo Josemaria berkata kepada seseorang yang menyatakan kesukaran yang disebabkan oleh pekerjaannya sehingga dia tidak dapat memperhatikan pembinaan rohani untuk dirinya sendiri: “Ingin sekali saya melihatmu dalam jubah imam ini! Saya juga harus melakukan berbagai tugas. Di atas ketidak teraturan ini kita harus membangun keteraturan.” Keteraturan, keharmonisan kehidupan kita, adalah hadiah yang harus kita menangkan sedikit demi sedikit, dalam medan pertempuran kehidupan harian. “Mulai dengan pekerjaan yang paling tidak kau sukai tetapi yang paling mendesak, ketekunan dalam memenuhi kewajiban yang dapat dengan mudah kita abaikan, tidak menunda sampai esok pekerjaan yang dapat kita selesaikan hari ini: dan semua ini untuk menyenangkan Dia, Allah Bapa kita!” [Santo Josemaria, Friends of God, no. 67]

Penguasaan diri

Perjuangan yang tenang ini bukan hanya meliputi tindakan-tindakan dan pelaksanaan tugas-tugas yang memenuhi hari kita, melainkan juga termasuk perjuangan batin kita. Tanpa detak jantung batiniah itu, keteraturan hanyalah merupakan managemen waktu, “pengoptimisasian tugas,” keefisiensian yang hambar, dan bukanlah latihan yang sejati untuk kedewasaan Kristiani. Konsistensi Kristiani dibangun di atas aliran dari dalam ke luar dan dari luar ke dalam yang terus menerus, dan tumbuh bersama dengan penguasaan diri, keteraturan dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan, permenungan batin dan kebijaksanaan.

Bukannya kita tidak menyadari adanya halangan-halangan dalam mencapai keharmonisan batin ini, melainkan, walaupun kita menghargai pesona kehidupan Kristiani dengan sepenuhnya, sering kali kita merasakan kecenderungan yang berbeda dan kadang-kadang bahkan bertentangan. Santo Paulus mengutarakan hal ini dengan berseru: Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku [Rm 7:21-23]. Kita tahu apa yang baik, namun kita merasa tertarik pada yang lain. Kita sadar bahwa hati kita terbelah antara apa yang menarik bagi diri kita dan apa yang harus kita lakukan, dan hal ini mengelabui pandangan kita. Sehingga, pada akhirnya, bahkan sepertinya menjadi tidaklah mengapa jika kita tidak terlalu konsisten—ini adalah suatu tanda yang jelas dari cinta yang goyah.

Namun, pujian Tuhan terhadap Natanael bergema dalam hati kita: Lihatlah, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya [Yoh 1:47]. Mereka yang berusaha untuk dipandu oleh suara Allah yang bergema dalam hati nuraninya dengan sendirinya mengilhami rasa hormat yang besar. Orang yang hatinya tidak terbelah sangatlah menarik, karena segala sesuatu dalam orang itu memancarkan kebenaran. Sebaliknya, orang yang berkehidupan ganda, yang mencari kompensasi (walaupun kecil), yang tidak tulus, menodai keindahan jiwanya. Karena kita semua adalah mangsa dari penyimpangan kecil ini, apa yang harus kita lakukan adalah bertindak dengan kesederhanaan yaitu membetulkan kekurangan ini dengan gigih, sehingga kita dapat menghindari bahaya menjadi hanyut dalam lautan kehidupan ini.

Memainkan irama Allah

MENATA KEHIDUPAN BATIN KITA BUKANLAH HANYA MEMBUAT AKAL BUDI KITA "MENGUASAI" IMAGINASI KITA

Menata kehidupan batin kita bukanlah hanya membuat akal budi kita “menguasai” imaginasi kita dan menyalurkan dorongan kepekaan perasaan kita. Kita perlu menemukan segala sesuatu yang teman- teman seperjalanan dalam kehidupan kita ini dapat dan ingin mengatakannya kepada kita. Dengan kata lain, kita tidak dapat membetulkan ketidak harmonisan dengan membungkamkan salah satu dari irama-iramanya: Allah telah membuat kita “polifonik.” Penguasaan diri, yang juga disebut ugahari, bukanlah pembekuan otak. Allah ingin agar kita mempunyai sebuah hati yang “besar dan kuat dan lembut, penuh kasih sayang dan halus” [Friends of God, no. 177].

Kita dapat memainkan musik bagi Tuhan dengan hati kita. Tetapi untuk memainkannya dengan baik kita perlu menyetelnya, sama seperti alat-alat musik disetel agar memberikan nada yang benar. Kita perlu mendidik rasa kasih kita, mengembangkan kepekaan untuk apa yang benar-benar baik karena hal ini mencakup semua segi dari seorang pribadi. Perasaan kita mewarnai seluruh kehidupan kita dan memungkinkan kita untuk menangkap apa yang terjadi di sekeliling kita dengan lebih mendalam. Namun, sama seperti lukisan yang warnanya tidak terpadu tidaklah menarik, atau sebuah alat musik yang tidak senada sangatlah mengganggu, maka hati yang penuh dengan liku-liku perasaan mengacaukan keharmonisan kepribadian kita dan mengikis hubungan kita dengan orang lain yang ada kalanya secara serius.

Santo Josemaria menasihati orang-orang untuk mengunci hati mereka dengan “tujuh kunci” (Jalan, 161,188). Seperti yang beliau jelaskan di Chile pada 30 Juli 1974, katanya: “kuncilah hatimu dengan tujuh buah kunci yang seperti saya sarankan: satu kunci untuk setiap dosa pokok (capital sin). Tetapi janganlah berhenti memiliki hati.” Himpunan pengalaman dari abad-abad silam, termasuk di bagian dunia sebelum tibanya Kristiani, memperlihatkan bahwa kasih sayang dan naluri, jika tidak dikontrol, dapat menghanyutkan kita seperti air bah yang menabur kerusakan kemanapun dia pergi. Masalahnya bukanlah menghentikan aliran air itu, melainkan melakukan apa yang dilakukan oleh para insinyur yang menyalurkan air terjun yang deras dari gunung ke tempat pembangkitan listrik. Begitu limpahan air yang deras yang mungkin dapat menumbangkan pohon-pohon dan merobohkan rumah-rumah tersalurkan, setiap orang dapat hidup dengan tenang dan menggunakan listrik untuk menerangi dan menghangatkan/mendinginkan rumah-rumah mereka. Jika jiwa kita gagal menyalurkan dorongan- dorongan naluri dan perasaan dari kodrat manusia dengan stabil, kita tidak akan menemukan kedamaian atau ketenangan, tidak juga mempunyai kehidupan batin.

Mempertanggungjawabkan hari kita

LANGKAH YANG PENTING MENUJU PENGUASAAN DIRI ADALAH USAHA UNTUK MENGATASI KEMALASAN

Langkah yang penting menuju penguasaan diri adalah usaha untuk mengatasi kemalasan, suatu virus yang ampuh dalam melumpuhkan kita jika kita tidak mengawasinya. Kemalasan akan mengakar dalam diri orang yang tidak mempunyai tujuan yang jelas dalam hidupnya, atau dalam diri orang yang walaupun mempunyai tujuan tetapi tidak menjalankannya. “Jangan menyamakan ketenteraman dengan kemalasan atau kecerobohan, dengan menunda keputusan atau menangguh pembelajaran hal yang penting” [The Forge, no. 467]. Pusatkan perhatian pada hal-hal yang perlu diperhatikan, hadapi hal-hal yang lebih memerlukan usaha, tidak menangguh apa yang dapat kita kerjakan sekarang – dengan kebiasaan-kebiasaan ini kita siap membangun kepribadian yang tangkas, kuat dan tenang.

Kita juga harus waspada akan ekstrem yang lain—aktivisme yang tidak beraturan. Anakku, janganlah terjerat ke dalam terlalu banyak kegiatan… Ada orang yang bersusah payah, berjerih lelah dan berburu-buru, namun semakin kekurangan [Sir 11:10-11]. Kepribadian yang matang berarti merenungkan kejadian-kejadian dan mengatur kegiatan kita. Dengan demikian kita tidak akan dibuat kewalahan oleh tuntutan kehidupan yang tidak berkesudahan. Melainkan kita akan berinisiatif dalam mendistribusikan kegiatan-kegiatan kita ke dalam waktu yang tersedia; dengan merencanakan hari kita dan tanpa menjadi terlalu kaku, kita tidak akan melakukan apa saja yang timbul pada saat itu melainkan memberikan prioritas pada apa yang harus kita lakukan terlebih dahulu. Dengan demikian kita dapat mencegah melakukan apa yang kelihatannya mendesak dan mengesampingkan apa yang benar-benar penting. Tentu saja kita tidak perlu memprogram segalanya, tetapi kita harus menghindari improvisasi yang membuat kita membuang waktu hanya karena kita menjadi terlibat dalam apa saja yang terjadi pada hari itu. Seperti yang sering dikatakan oleh Santo Josemaria, “kita harus mengatur jadwal kita karena kita tidak dapat melakukan segalanya sekali gus.”

Setiap hari ada saat-saat pokok yang dapat kita atur sebelumnya: waktu untuk tidur, waktu untuk bangun, waktu untuk berbakti kepada Tuhan, waktu untuk bekerja, waktu untuk makan… Dengan demikian kita akan melakukan semua yang perlu kita lakukan dengan baik, bekerja keras dan sebaik mungkin, yaitu, bekerja dengan penuh cinta kasih. “Penuhilah kewajiban kecil setiap saat: lakukanlah apa yang harus engkau lakukan dan pusatkan perhatianmu pada apa yang sedang kaukerjakan [Jalan, no. 815]. Pada akhirnya ini adalah sebuah program kekudusan yang tidak membelenggu kita karena diarahkan pada tujuan yang mulia: untuk menyenangkan Tuhan dan membuat orang lain bahagia. Dan juga, cinta kasih yang membuat kita mematuhi suatu jadwal akan memberitahu kita ketika rencana itu harus dikesampingkan demi kebaikan orang lain, atau demi alasan baik lainnya yang menjadi jelas bagi siapa saja yang hidup di hadapan Allah.

Memupuk ruangan batin

Dunia batin dari seseorang adalah inti kehidupan dimana kekuatan, kualitas sikap dan kegiatan pribadi tersebut bersatu. Barang siapa mampu masuk ke dalamnya untuk memusatkan indra dan kemampuannya dan menenangkan jiwanya, akan dapat membangun kepribadian yang lebih kaya, yang lebih mampu untuk berhubungan dan berdialogue dengan orang lain. “Keheningan adalah bagian yang tak terpisahkan dari komunikasi, dan tanpa saat-saat hening, kata-kata dengan arti yang mendalam tidak akan ada” kata Benedictus XVI.

KITA AKAN BERINISIATIF DALAM MENDISTRIBUSIKAN KEGIATAN-KEGIATAN KITA KE DALAM WAKTU YANG TERSEDIA

Untuk menghindari hanya meluncur di atas permukaan hidup, kita memerlukan waktu untuk merenungkan apa yang telah terjadi pada diri kita, dengan buku-buku yang telah kita baca, dengan apa yang telah orang lain katakan kepada kita, dan di atas segalanya, dengan terang yang telah kita terima dari Tuhan. Renungan memperkaya dan meluaskan ruang batin kita dan membantu kita memadukan berbagai segi kehidupan kita – bekerja, hubungan social, waktu senggang, dsb – ke dalam rencana hidup Kristiani yang kita jalankan dan yang dibimbing oleh tangan Tuhan. Kebiasaan ini membuat kita belajar memasuki jiwa kita, mengatasi ketergesaan, ketidaksabaran dan gagal focus, sehingga ruang untuk merenung di hadirat Allah terbuka. “Siapa diantara kita, pada malam hari, ketika hari sudah berakhir dan kita sendirian, tidak menanyakan dirinya sendiri: Apakah yang telah terjadi di dalam hatiku hari ini? Peristiwa apa? Hal-hal apa saja yang telah melintasi hatiku?” [Paus Franciskus, Homili, 12 Desember 2013].

Ketenangan jiwa ini tercapai ketika kita membebaskan diri kita dari ketegangan hidup dan mengekang diri kita dari tuntutan hal-hal yang belum terselesaikan dan dari imaginasi kita, ketika kita memperlambat irama kehidupan jasmani, sehingga diri kita dapat mencapai kesunyi jasmani maupun rohani. Dengan demikian pengetahuan dan pengalaman kita memperoleh kedalaman; kita belajar untuk dikejutkan, untuk merenungkan, untuk menikmati kekayaan batin, untuk mendengarkan Tuhan. Dengan kekayaan batin ini, pada saat kita bertemu dengan orang lain, kita dapat lebih menikmati berkomunikasi dengan mereka, karena kita mempunyai sesuatu yang pribadi, sesuatu dari milik kita, untuk dibagikan.

Dalam keheningan, kita dapat mendengar suara Allah. Di gunung Horeb, ketika Tuhan berlalu di depan Elia, Kitab Suci mengatakan bahwa Tuhan tidak berada di dalam angin puyuh yang membelah gunung- gunung dan memecahkan bukit-bukit batu, Tuhan juga tidak berada dalam gempa yang menakutkan, juga tidak berada di dalam api yang datang sesudah gempa, melainkan Tuhan berada di dalam angin sepoi-sepoi basa yang hampir-hampir tidak terasakan [Bdk. 1 Raj 19:11-13]. Keheningan adalah sesuatu yang indah; keheningan bukanlah kekosongan melainkan suatu kehidupan yang tulen dan penuh asalkan hal ini memperkenankan kita membangun percakapan yang akrab dengan Allah. “Kemerduan irama keheningan: demikianlah kita dapat menghampiri Tuhan, karena irama keheningan adalah milik orang-orang yang sedang jatuh cinta” [Francis, Homili, 12 Desember 2013].

Kebijaksanaan hati

KITA MEMERLUKAN WAKTU UNTUK MERENUNGKAN APA YANG TELAH TERJADI PADA DIRI KITA

Orang yang bijak hati disebut berpengertian [Ams 16:21]. Kemampuan untuk permenungan memungkinkan kita membangun dengan lebih besar dan mendalam sebab-alasan yang memandu kehidupan kita. Dengan demikian keteguhan dalam kehidupan kita memasak sama seperti buah- buahan yang memasak di bawah sinar matahari, dan ke dalam hati kita dicurahkan anggur kebijaksanaan yang membantu kita mengambil keputusan yang tepat.

Kita tidak perlu untuk selalu segera memberikan tanggapan pada apa yang kita hadapi. Sering kali kebijaksanaan akan membuat kita mencari informasi lebih lanjut sebelum menyatakan pendapat atau mengambil keputusan, karena hal-ihwal peristiwa sering kali tidak seperti pandangan sekilas. Ciri-ciri kedewasaan seseorang adalah kemampuannya untuk mempertimbangkan peristiwa dan kejadian dengan penuh perhatian, mengingat kembali pengalaman masa lalu yang serupa, dan mencari nasihat dari mereka yang dapat memberikannya. Dan di atas segalanya, sesuatu yang sangat lazim bagi seorang Kristiani, hampir seperti bernafas adalah: mencari nasihat dari Tuhan Allah. “Janganlah pernah mengambil keputusan tanpa terlebih dahulu mempertimbangkannya di hadapan Allah” [Jalan,266]. Dengan demikian, keputusan terhadap suatu kejadian tertentu yang telah dipertimbangkan dengan hati-hati akan lebih mudah diberikan, dan dengan tanpa memberikan kesempatan pada kepicikan, atau pada kenyamanan, atau pada kebiasaan buruk dimasa silam, atau pada tekanan dari sekeliling kita. Dan kita akan mendapatkan keberanian yang diperlukan untuk mengambil keputusan – walaupun setiap keputusan mempunyai resikonya masing-masing–dan melaksanakannya dengan tanpa ditunda, dengan kesiapsediaan untuk meralat jika nantinya kita menyadari bahwa kita telah melakukan kesalahan.

Keteguhan Kristiani–buah dari kehidupan batin yang kaya--memungkinkan kita untuk mendedikasikan diri kita pada suatu cita-cita dan tekun melaksanakannya. “Tuhan, karuniakanlah aku rahmat untuk menyerahkan segalanya yang bersangkutan dengan diriku sendiri. Sehingga aku tidak mempunyai keprihatinan apapun selain KemuliaanMu – dengan kata lain, KasihMu. Segalanya demi Cinta! [St Josemaria, The Forge, 247].

José Benito Cabaniña – Carlos Ayxelà

Fotos oleh: Álvaro García Fuentes e Ismael Martínez