(Laut Tengah, kadangkala disebut Laut Mediterania—‘Mediterania’ berarti ‘daratan/negeri tengah’—atau Mare Nostrum dalam Bahasa Latin, adalah laut antarbenua yang terletak antara Eropa di utara, Afrika di selatan dan Asia di timur, mencakup wilayah seluas 2,5 juta km2.
Pada masa lalu, laut ini merupakan jalur lalu lintas yang sibuk, yang memungkinkan perdagangan dan pertukaran budaya antara orang Mesir, Yunani Kuno, Romawi Kuno dan Timur Tengah. Sejarah Mediterania berperan penting dalam permulaan dan perkembangan Peradaban Barat.
Santo Josemaria menggunakan istilah menemukan Mediterania Baru karena pada saat kita menyelam lebih dalam ke lautan yang sepertinya telah kita kenal dengan baik, cakrawala yang luas dan tidak terduga akan membentang dihadapan kita.)
Di kaki Salib, hanya Bunda-Nya, Santa Maria, beberapa wanita dan Yohanes, murid termuda, yang menemani Tuhan kita. Hanya beberapa orang ini yang berada di sisi-Nya pada saat-saat yang mengerikan itu. Beberapa orang ini … dan kerumunan penonton dan oportunis, beberapa orang serdadu yang membawa Dia ke Kalvari, dan para penuduh yang terus menerus mencemooh Dia, mungkin sedang menikmati “kemenangan” mereka. Dan murid-murid lainnya? Mereka telah melarikan diri.
Yohanes sendiri mengatakan: Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: “Ibu, inilah, anakmu!” Kemudian kata-Nya kepada murid-Nya: “Inilah ibumu!” (Yoh 19:25). Sang Penginjil mengahirinya dengan: Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya (Yoh 19:27).
Dalam diri rasul muda itu, Bunda Kristus “diberikan sebagai bunda setiap individu dan seluruh umat manusia.”[1] Sejak saat itu, Maria adalah Bunda dari semua umat Kristiani. Murid-murid perdana dengan segera mengerti hal ini. Merasa berduka karena Tuhan tidak lagi berada bersama mereka, mereka berkumpul di sekeliling Maria setelah Kenaikan-Nya ke Surga: Mereka semua bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama, dengan beberapa perempuan serta Maria, ibu Yesus, dan dengan saudara-saudara Yesus (Kis 1:14).
Kita juga dipanggil untuk merasakan keibuan Maria secara pribadi, dan menanggapinya seperti Yohanes yang “menyambut Bunda Kristus ‘kedalam rumahnya sendiri’ dan mengikutsertakan dia ke dalam segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan batinnya, yang sama dengan kedalam ‘aku’ yang manusiawi dan Kristianinya.”[2] Kita masing-masing harus melakukan perjalanan pribadi ini dengan cara kita sendiri … dan dengan irama kita sendiri.
“Aku juga adalah seorang putra dari Maria Bundaku”
Santo Josemaria sudah mempunyai devosi terhadap Bunda Maria sejak masa kanak-kanaknya. Pada bulan Mei 1970, ketika sedang melakukan novena di kaki Bunda Maria dari Guadalupe, dia berkata: “Saya sarankan agar kita semua, terutama pada saat ini, menghayati kembali masa kecil kita, dan mengingat kembali, seperti yang sering saya lakukan—berusahalah sekuat mungkin, sebisa mungkin, untuk mengingat—pertama kalinya engkau berpaling kepada Bunda Maria dengan sepenuh pengetahuan akan apa yang sedang engkau lakukan dan hanya itu yang ingin engkau lakukan.”[3] Kita tahu bahwa ketika Santo Josemaria masih kecil, ibunya mempersembahkan dia kepada Bunda Maria dari Torreciudad sebagai rasa syukur karena telah menyembuhkannya dari penyakit yang mematikan. Santo Josemaria juga belajar dari orang tuanya berdoa kepada Bunda Maria. Dengan berlalunya waktu, dia masih ingat doa yang dipelajarinya pada masa kecilnya: “Saya masih memperbarui, pagi dan petang, dan bukan hanya kadang-kadang saja melainkan sebagai kebiasaan, doa persembahan yang saya pelajari dari orang tua saya: ‘Ya Bundaku! Aku mempersembahkan seluruh diriku kepadamu, dan sebagai tanda bukti dari cintaku sebagai seorang anak, hari ini aku mengkonsekrasikan bagimu mataku, telingaku, lidahku, hatiku…”[4]
Ketika bermukim di Saragosa, Santo Josemaria mengunjungi Bunda Maria dari Pilar setiap hari. Ke dalam perantaraannya Santo Josemaria mempercayakan firasat yang dirasakannya bahwa Tuhan menginginkan sesuatu yang istimewa daripadanya. Kami masih mempunyai replika kecil dari Bunda Maria dari Pilar, yang terbuat dari semen yang sederhana, dan pada alas patung itu Santo Josemaria telah mengukir dengan paku “Domina, ut sit!” dan tertanggal 24 Mei 1924. “Itu adalah perwujudan dari bagaimana doa-doa saya selama bertahun-tahun,” katanya bertahun-tahun kemudian, “seperti yang telah begitu sering saya katakan kepadamu.”[5]
Di Madrid dia mempunyai sebuah patung yang diberi nama “Bunda Maria penuh kecupan,” karena dia tidak pernah gagal menyalaminya dengan sebuah kecupan bilamana dia datang atau pergi dari rumah itu. “Bukan hanya patung itu, tetapi semua gambar Bunda Maria menyentuh hatinya. Terutama gambar-gambar yang ditemukannya terbuang di jalan dan kotor dengan debu, atau yang terlihat olehnya ketika dia menjelajahi Madrid, seperti sebuah gambar dari tegel mengkilat yang menarik perhatiannya pada saat dia meninggalkan Santa Isabel setiap hari.”[6]
Melalui permenungan Injil, dia juga belajar mendekat pada Bunda Maria dan berpaling kepadanya seperti yang telah dilakukan oleh murid-murid perdana. Dalam bukunya Rosario Kudus, buah permenungannya yang penuh dengan kasih dari kehidupan Kristus, demikian komentarnya atas Peristiwa Mulia kedua: “Petrus dan murid lainnya kembali ke Yerusalem—cum gaudio magno: dengan sangat bersukacita (Luk 24:52) ... Tetapi engkau dan aku merasa seperti yatim piatu: kita sedih, dan kita pergi kepada Bunda Maria untuk mendapatkan penghiburan.”[7]
Akan tetapi, keibuan Maria adalah suatu “penemuan” lagi yang didapati oleh Santo Josemaria ketika dia masih adalah seorang imam muda. Dalam salah satu catatan pribadinya yang tertanggal September 1932, dia menulis: “Kemarin saya menemukan satu Mediterania lagi: jika saya adalah seorang putra Allah Bapa, maka saya juga adalah putra Maria Bundaku.”[8]
Ini bukanlah sesuatu yang baru. Ini adalah suatu kebenaran yang telah direnungkannya dan dialaminya dalam kehidupannya sendiri, namun tiba-tiba hal ini memberikan arti yang baru. Mengingat lintasan rohaninya, dia menambah: “Saya akan menjelaskannya: melalui Maria saya pergi kepada Yesus, dan Maria selalu adalah Bundaku, walaupun saya bukanlah seorang putra yang baik. (Mulai dari sekarang saya akan menjadi baik).” Bunda Maria membawanya pada Yesus, Bunda Maria telah menjadi perantaranya yang utama dalam petisinya yang terus menerus untuk melihat apa yang Tuhan inginkan darinya. Jadi, apa yang baru dari penemuan ini? Dia menjelaskan: “Saya melihat kenyataan keputraanku terhadap Bundaku ini dalam terang yang jernih, dan saya merasakannya dengan lebih nyata kemarin. Itulah sebabnya, pada saat Komuni Kudus dalam Misaku, saya mengatakan kepada Bunda Maria, Bundaku: kenakanlah pakaian yang baru pada diriku. Petisiku ini adalah sesuatu yang wajar karena saya sedang merayakan salah satu pestanya.”[9]
Gambaran “mengenakan pakaian baru” adalah gema yang kuat dari ajaran Santo Paulus: Tanggalkan manusia lama yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan, supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Ef 4:22-24). Jadi penemuan baru dari keibuan Maria ini memiliki semua cita rasa dari pertobatan pribadi. Ini adalah suatu kenyataan yang dilihat olehnya dengan kejelasan yang lebih jernih, yang dia rasakan dalam cara yang baru, dan yang membimbingnya pada suatu resolusi yang sederhana namun mendalam: Mulai dari sekarang saya ingin menjadi baik.
Mereka yang telah mempelajari tulisan-tulisan Santo Josemaria dengan lebih mendalam telah menggarisbawahi agenda perjalanan dari penemuan ini. Delapan hari sesudah melukiskan Mediterania baru yang telah terbuka dihadapannya ini, dia menulis satu catatan lagi yang kemudian tampil dalam Jalan: “Kita senantiasa pergi kepada Yesus, dan kepada Dia kita selalu ‘kembali’, melalui Maria.”[10] Ini adalah permenungan yang telah cukup lama membara dalam jiwanya, tetapi dengan tiba-tiba dia memahami kedalamannya yang baru, dan hal ini memberikan penerangan yang baru akan kepentingan Maria dalam hubungannya dengan Tuhan. Empat hari setelah mencatat hal ini, dia menulis: “Kepada sebanyak mungkin anak muda ingin kuserukan ke dalam telinga mereka: Jadilah milik Maria … dan engkau akan menjadi “milik kita!”[11] Bertahun-tahun kemudian, ketika ditanya apa artinya ini, dia menjawab: “Saya ingin katakan apa yang telah kau mengerti dengan baik … Disatu pihak, jika tidak ada devosi terhadap Maria, engkau tidak dapat melakukan apapun: karena sepertinya jiwa-jiwa itu tidak mempunyai landasan bagi kehidupan rohani. Dipihak lain, jika ada devosi sebagai anak terhadap Perawan terkudus, jiwa-jiwa itu akan siap melayani Tuhan, apapun status mereka: lajang, menikah, janda, dan para imam sebagai imam.”[12] Akhirnya, Marialah yang membimbing kita pada Yesus; dan Yesus membawa kita kepada Sang Bapa. Bunda Marialah yang “mempermudah” jalan kita menuju Tuhan.
“Kembali” kepada Yesus melalui Maria
Di bulan September 1932 yang sama itu, Santo Josemaria merenungkan lagi dan lagi peran yang dimainkan oleh Bunda Maria dalam menapaki jalan kita ke Yesus. Sekarang dia tidak mengfokus pada menemukan Kristus atau mencari kehendak-Nya bagi kita, melainkan mengenai “kembali” pada-Nya ketika kita tersesat. Cara mengungkapkannya ini adalah hal yang baru bagi mereka yang mendengar dia berbicara demikian. Misalnya, Beato Alvaro del Portillo ingat bahwa dia sendiri merasa heran: “Saya bertanya kepada Bapa: Bapa, mengapa engkau menulisnya demikian? Bahwa kita pergi melalui Maria, itu saya mengerti, tetapi yang ‘kembali’ itu … Dan dia menjawab: Putraku, jika seseorang menemui kesialan sehingga memisahkan dirinya dari Tuhan karena dosa, atau berada di titik perpisahan karena dia telah menjadi suam-suam kuku atau apatis, lalu dia memohon pada Perawan Kudus dan mendapatkan kekuatan lagi, kekuatan untuk mengaku dosa jika perlu, untuk melepaskan beban hati nuraninya pada pembimbing rohaninya dengan ketulusan yang amat sangat, tanpa menutupi kegelapan dalam jiwanya, tanpa membagi rahasia dengan iblis, dan melalui Maria dia pergi pada Yesus.”[13]
Bangkit kembali sesudah suatu kejatuhan dapat menjadi sukar, dan menjadi lebih sukar lagi dengan berlalunya waktu. Secara jasmaniah, hal ini sangat jelas; kita hanya perlu memikirkan masalah yang timbul jika seseorang yang sudah lansia jatuh di jalanan. Demikian juga yang terjadi dalam kehidupan rohani. Semakin bertambahnya usia, bisa jadi akan semakin sukar bagi kita untuk meminta maaf. Kejatuhan yang terus menerus dalam hal yang sama merendahkan diri kita; kita merasa malu karena jatuh dalam dosa yang demikian “di usia yang masak ini!” Bukti kelemahan kita yang terus menerus dapat menjadi beban yang terlalu besar, dan ada kalanya bahkan dapat membuat kita menyerah dan kehilangan harapan sehingga dapat memapas kegembiraan kita.
Keputusasaan adalah musuh dalam selimut yang membuat kita menutup diri. Kita berpikir bahwa kita telah mengecewakan Tuhan, seperti seseorang yang membeli sebuah peralatan elektronik lalu menyadari bahwa alat tersebut tidak sebaik seperti dalam iklan. Namun, melihat kita dalam keadaan demikian, Allah ingin mengingatkan kita bahwa Dia mengenal kita dengan sempurna! Dia dapat mengatakan kepada kita masing-masing, seperti yang dikatakan-Nya kepada Yeremia: Sebelum Aku membentuk engkau dalam Rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau (Yer 1:5). Oleh sebab itu, Cinta kasih-Nya bagi kita membuat kita merasa aman: mengetahui kita seperti apa adanya, Tuhan mencintai kita dengan amat sangat hingga memberikan hidup-Nya bagi kita … dan hal ini bukanlah suatu kesalahan.
Pada saat kebenaran ini, yang sedemikian menghibur, menjadi sukar bagi kita untuk memahaminya, mengingat Bunda kita dapat menjadi “jalan pintas” yang membantu kita menjejaki jalan pulang.[14] Maria membawa kita dengan khusus pada Kerahiman Allah yang menantikan kita dengan lengan terbuka. Dalam pertemuan masalnya yang terakhir, Benedictus XVI mengatakan: “Saya ingin mengundang kita semua untuk memperbarui kepercayaan kita yang teguh dalam Tuhan, untuk menyerahkan diri kita ke dalam pelukan Allah seperti anak-anak, yakin bahwa lengan-lengan itu akan selalu memeluk kita, sehingga memungkinkan kita untuk maju terus setiap hari, bahkan kala menghadapi gelombang besar. Saya ingin setiap orang merasa dikasihi oleh Allah yang memberikan Putra-Nya bagi kita dan yang telah memperlihatkan kepada kita kasih-Nya yang tak terhingga. Saya ingin setiap orang merasakan kegembiraan dari menjadi seorang Kristiani.”[15] Dan agar kita dapat sungguh-sungguh merasakan kegembiraan ini, Allah ingin menyatakan cinta kasih-Nya bagi kita, suatu cinta kasih yang bersamaan, kebapaan … dan juga keibuan.
Cinta kasih Allah yang “keibuan” diungkapkan di berbagai bagian dari Kitab Suci; mungkin yang paling terkenal adalah kalimat dari Yesaya ini: Dapatkah seorang ibu melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau (Yes 49:15). Atau yang lebih jelas lagi: Seperti seseorang yang dihibur ibunya, demikianlah Aku ini akan menghibur kamu (Yes 66:13). Namun, Allah ingin bertindak lebih jauh lagi dan memberikan Bunda-Nya, sang Wanita yang daripadanya Putra terkasih-Nya menjadi daging. Alhasil, umat Kristiani dari segala zaman telah menemukan dalam diri Maria suatu hak istimewa dan terutama jalan yang dapat ditapaki menuju Kasih yang tak terhingga dari Allah yang memaafkan.
Kadang-kadang kita berjumpa dengan orang yang merasa tidak mudah untuk menyapa seorang Allah yang sepertinya abstrak atau jauh dari mereka, atau yang tidak berani melihat secara langsung pada Kristus. Sama seperti anak-anak yang lebih suka mencari ibu mereka sebelum menghadap pada ayah mereka ketika mereka telah melakukan kesalahan atau memecahkan sesuatu yang bernilai tinggi… Demikian juga, “banyak orang berdosa yang tidak dapat mendoakan doa Bapa kami tetapi dapat mendoakan Salam Maria.”[16] Dan dengan demikian, melalui Maria, mereka dapat “kembali” kepada Yesus.
Menuju Maria, dengan kelembutan anak-anak
Dalam kehidupan Santo Josemaria, penemuan akan kepentingan diri Maria berjalan seiring dengan semangat kanak-kanak. Salah satu titik dari Jalan berasal dari kesusahan yang dialaminya dalam kehidupannya, tulisnya: “Bunda! Panggillah dia dengan lantang. Dia mendengarkanmu, dia melihatmu mungkin dalam bahaya, dan dengan rahmat Putranya, Maria Bunda Kudusmu, menawarkan lengannya bagimu untuk berlindung, pelukannya yang lembut. Panggilah dia, dan engkau akan merasakan adanya kekuatan untuk perjuangan baru.”[17] Mereka yang bersama dengan Santo Josemaria pada saat itu tidak mengetahui seberapa banyak dari pengalamannya sendiri yang dicerminkan ke dalam kalimat-kalimat tersebut. Pada tahun-tahun itu, Santo Josemaria juga sedang belajar mendekat pada Tuhan seperti seorang anak kecil.
Buku Rosario Kudus adalah buah dari cara berdoanya ini, sama seperti beberapa bab dari Jalan. “Penemuan” yang baru saja kita ingat kembali berasal dari hubungannya yang penuh kepercayaan dengan Allah dan dengan Maria. Sesungguhnya, Santo Josemaria mengikuti jalan ini sepanjang hayatnya. Beberapa hari sebelum Natal terakhirnya di dunia ini, dia membuka isi hatinya kepada sekelompok putranya: “Biasanya saya menyerahkan diri saya, saya berusaha membuat diri saya kecil dan berlindung dalam pelukan Bunda Maria. Kata saya pada Tuhan kita: Yesus, berikanlah sedikit tempat untukku! Cobalah kita lihat kalau kita berdua dapat bersama-sama dalam pelukan Bunda-Mu! Dan itu saja. Tetapi kalian harus mengikuti jalanmu sendiri: jalanku tidak harus menjadi jalanmu juga. Hidup kebebasan!”[18]
Tanpa menjadi jalan tunggal untuk mencapainya, menjadi kanak-kanak membantu dalam sikap kerendahan hati dan penyerahan diri yang penuh harapan dalam semua situasi kehidupan. Hal ini juga adalah suatu cara untuk tumbuh dalam kesederhanaan dan kewajaran dalam usaha kita untuk mendekat pada Allah. Lebih lagi, karena ini adalah jalan yang ditandai dengan pengenalan akan kelemahan diri sendiri dan ketergantungan, yang memungkinkan kita untuk lebih mudah membuka bagi Tuhan pintu-pintu hati kita, yaitu, keintiman hati kita.
Anak-anak umumnya lebih renta, dan oleh karena itu mereka sangat peka akan cinta kasih; mereka memiliki pengertian yang mendalam akan gerak gerik dan sikap orang dewasa. Karenanya, kita perlu membiarkan diri kita untuk “disentuh” oleh Allah, dengan membuka pintu jiwa kita bagi-Nya. Sri Paus juga menyarankan hal ini bagi anak-anak muda: “Tuhan bertanya kepada kita apakah kita menginginkan kehidupan yang penuh. Dan dalam nama-Nya saya bertanya padamu: apakah engkau menginginkan kehidupan yang penuh? Mulailah sekarang juga dengan membuka diri dan menjadi penuh perhatian!”[19] Mempunyai hati tidak berarti jatuh dalam tingkah laku yang dibuat-buat atau kecengengan, semata-mata suatu karikatur kelembutan sejati. Sebaliknya, menemukan kembali hati seseorang, membiarkan dirinya disentuh, dapat menjadi jalan untuk menemukan Tuhan. Seperti yang dikatakan oleh Santo Josemaria di Tahun 1932: “Hatiku yang papa ini merindukan kelembutan. Si oculus tuus scandalizat te… Tidak, tidak perlu untuk membuangnya jauh-jauh; tidaklah mungkin untuk hidup tanpa hati … Dan kelembutan yang telah Kau tempatkan dalam diri kami itu, akan terpuaskan dan terpenuhi dengan sempurna, ketika kami mencari Dikau dengan kelembutan (yang menuntun-Mu pada kematian) dari Hati ilahi-Mu.”[20]
Kita dapat pergi kepada Maria, dan melaluinya kepada Yesus, dengan kelembutan, yang adalah jalan dimana anak-anak mulai mengenal ibu mereka dan mempercayai mereka sepanjang hayat mereka. Melalui jalan ini dan jalan-jalan lainnya yang mungkin disarankan oleh Tuhan kepada kita, kita memasuki sebuah Mediterania yang sangat luas: Yaitu memiliki seorang Bunda yang sangat elok di Surga, Maria yang Kudus.
*************************
Menemukan berbagai “Mediterania” yang telah kita pertimbangkan dalam artikel-artikel ini mengembangkan hati Santo Josemaria secara luar biasa. Sambil memegang tangan Tuhan dan mengambil langkah-langkah kecil dalam kehidupan rohaninya, dia memahami arti dari Salib, dan merasakan bahwa dia adalah seorang putra dari seorang Bapa yang Cinta-Nya meluap. Dia juga menemukan kehangatan dan kelembutan Cinta Yesus. Dan dia belajar untuk membiarkan dirinya dicintai oleh Allah, Penghibur kita, lebih mempercayai Allah daripada kekuatannya sendiri; dan perlahan-lahan dia menemukan jalan untuk membiarkan Roh Kudus berperan dalam kehidupan rohaninya dan tindakan-tindakannya. Singkatnya, dia menjadi mengerti dengan lebih jelas bahwa kepenuhan dari kehidupan Kristiani bukan terdiri dari memenuhi suatu daftar tugas, memenuhi standar tertentu, atau “melaksanakan usaha yang luar biasa, melainkan bersatu dengan Kristus, dalam menghayati misteri-misteri-Nya, dalam menjadikan teladan-Nya, pikiran-Nya, kelakuan-Nya milik kita. Ukuran kekudusan didapatkan dari seberapa berhasilnya Kristus dapat menanamkan dalam diri kita, sejauh mungkin dengan kuasa Roh Kudus, teladan-Nya dalam seluruh kehidupan kita.”[21]
Mengikuti jejak-jejak Santo Josemaria, kita juga dapat memohon agar Allah membimbing kita dengan lebih penuh ke dalam Mediterania-mediterania kehidupan rohani, “agar kita dapat menyelami Cinta Allah dengan lebih mendalam, dan memperlihatkan cinta itu pada orang lain melalui apa yang kita lakukan dan katakan.”[22] Tidak ada lagi usaha yang lebih mendesak atau lebih indah daripada hal ini.
[1] Saint John Paul II, Enc. Redemptoris Mater, 25 March 1987, 23.
[2] Ibid., 45.
[3] Saint Josemaría, Notes from his prayer done out loud in the old basilica of Our Lady of Guadalupe, Mexico, 20 May 1970, in Pedro Casciaro, Dream and Your Dreams Will Fall Short, Scepter, 1997, p. 321.
[4] Saint Josemaría, Friends of God, 296.
[5] Notes from a family gathering, 26 July 1974 (AGP, library, P01). The replica is preserved in a gallery of mementoes from his life, in the central offices of Opus Dei, in Rome.
[6] Andres Vázquez de Prada, The Founder of Opus Dei, vol. 1, Scepter, p. 352.
[7] Saint Josemaría, Holy Rosary, Second Glorious Mystery.
[8] Saint Josemaría, Apuntes intimos, 820, 5 September 1932, in Holy Rosary, Critical-Historical Edition, introduction to the Second Glorious Mystery.
[9] Ibid.
[10] Saint Josemaría, The Way, no. 495.
[11] Saint Josemaría, Text from Notebook VI, no. 825, dated 17 September 1932, in The Way. Critical-Historical Edition, comment on no. 494.
[12] Saint Josemaría Notes from a get-together, Madrid, 23 October 1972, in The Way. Critical-Historical Edition, comment on 494.
[13] Notes from a conversation with Alvaro del Portillo, Madrid, 4 September 1977, cited by Pedro Rodríguez, The Way. Critical-Historical Edition, comment on 495. Saint Josemaria called the fraternal chat or conversation of spiritual accompaniment the "confidence," highlighting the trust and discretion that should mark it.
[14] “Mary, Mother of our Lord and our Mother ... provides a short-cut to God” (Javier Echevarría, “Love for Holy Mary in the Writings of Monsignor Josemaría Escrivá de Balaguer,” Palabra, 156-157 (1978), pp. 341-345.
[15] Benedict XVI, General Audience, 27 February 2013.
[16] Jean Daniélou, Advent, Sheed and Ward, New York, 1950, p. 112.
[17] The Way, 516.
[18] Saint Josemaría, Notes from his preaching, 20 December 1974, in E. Burkhart, J. López, Vida cotidiana y santidad en la enseñanza de San Josemaría , vol. 2, p. 68.
[19] Pope Francis, Speech, 28 July 2016.
[20] Saint Josemaría, Intimate notes, 1658, 9 October 1932, in The Way. Critical-Historical Edition, comment on no. 118. Cf. Mk 9:47.
[21] Benedict XVI, General Audience, 13 April 2011.
[22] Saint Josemaria, Christ is Passing By, no. 97.