VI. Kerja, kondisi kodrati pribadi manusia
Ketika kita menengok kembali sejarah manusia, sungguh mengejutkan melihat bagaimana kerja berevolusi selama berabad-abad. Sekitar 12.000 tahun yang lalu, para leluhur kita—yang sebelumnya hidup dari berburu dan meramu—mulai mengolah tanah. Peternakan berangsur meningkat, menjadi semakin produktif. Perkembangan alat-alat mekanis, mula-mula sederhana lalu kian kompleks, mengubah kerajinan, pertanian, konstruksi, dan produksi tekstil. Energi, yang pada awalnya bergantung pada unsur-unsur alam dan tenaga hewan atau manusia sendiri, digantikan oleh mesin uap pada akhir abad ke-18, dan kemudian oleh mesin pembakaran dalam serta sistem propulsi jet. Kemajuan ilmu pengetahuan memungkinkan penemuan dan pemanfaatan listrik, transmisi gelombang elektromagnetik, dan pengendalian energi nuklir. Sepanjang abad ke-20, teknologi semakin luas diintegrasikan ke dalam dunia kerja. Dalam beberapa dekade terakhir, mikroprosesor telah mempermudah pemrosesan informasi dan pengendalian mesin. Cara kita membangun, bepergian, berkomunikasi, mengajar, dan belajar telah berubah. Cara kita bekerja telah berubah, dan akan terus berubah.
Adakah sesuatu yang tetap di tengah perkembangan yang terus-menerus ini? Apa yang, secara antropologis, mendefinisikan kerja manusia melampaui semua perubahan ini? Tidak seperti makhluk hidup lainnya, manusia tidak bekerja semata-mata untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti kelangsungan hidup, makanan, atau reproduksi. Kita juga mampu merencanakan masa depan, mentransformasikan lingkungan sesuai kebutuhan vital kita, menciptakan karya seni, serta mewariskan pengetahuan kepada generasi mendatang, sehingga kemajuan menjadi mungkin. Pada akhirnya, kerja membuat kita tetap hidup.
Namun, dalam dunia kuno — baik dalam budaya Greko-Romawi maupun dalam tradisi non-Alkitabiah lainnya — kerja tidak menikmati martabat khusus. Kerja justru dikaitkan dengan sifat kehambaan, khas dari kondisi manusia yang letih dan berada di bawah. Pemenuhan sejati dalam hidup ditemukan dalam waktu luang, yang dipahami sebagai kesempatan untuk menikmati kesenangan intelektual, seperti filsafat, atau berbagai bentuk distraksi dan hedonisme. Mungkin karena konsep dasar ini, beberapa arus asketisme Kristiani pada abad-abad berikutnya memandang kerja sebagai sekadar sarana agar tetap sibuk, hampir seperti penawar terhadap bahaya kemalasan dan lamunan.
Filsafat modern dan kontemporer kerap menimbang relasi antara manusia dan teknologi, sering berayun antara dua ekstrem: di satu sisi, keyakinan optimistis bahwa sejarah akan membawa kita kepada capaian yang kian besar, bahkan sampai melampaui kerja melalui penggantian total manusia oleh mesin; dan di sisi lain, pesimisme katastrofik yang khawatir bahwa kemajuan tekniko-ilmiah yang tak terkendali pada akhirnya akan mengarah pada kehancuran umat manusia dan planet yang menopangnya.
Sebagaimana diketahui, teologi dan Magisterium Gereja telah banyak merefleksikan tentang kerja, terutama dengan menyoroti dimensi etis dan moralnya, yang melahirkan Ajaran Sosial Gereja. Namun, refleksi tentang nilai rohani dari kerja jauh kurang berkembang. Tidak lazim ditemukan para penulis atau dokumen yang membahas dinamisme yang dikandung kerja dalam kehidupan rohani Kristiani; tentang kerja sebagai tempat dialog antara Allah dan manusia serta sebagai ruang pewartaan Injil dan pembangunan Kerajaan Allah. Inilah sebabnya ajaran St. Josemaría Escrivá menimbulkan minat khusus dewasa ini. Pendiri Opus Dei itu mengajarkan bahwa kerja—dan, secara perpanjangan, kehidupan biasa—adalah tempat perjumpaan dengan Allah dan lingkup di mana kebanyakan orang dapat mencari kekudusan. Kerja menumbuhkan jejaring relasi manusia yang mendukung kerasulan Kristiani dan menjadi bahan yang harus dikuduskan demi memerahkan masyarakat tempat kita hidup agar lebih Kristiani, dan karena itu lebih manusiawi. Bahkan, kita dapat berbicara tentang suatu panggilan khusus kepada kekudusan di dalam dan melalui kerja. Kedekatan peringatan seabad berdirinya Opus Dei (1928–2028) menjadi kesempatan untuk menemukan kembali relevansi pesan ini dan menghargai sumbangannya bagi perutusan Gereja dan kehidupan sosial, dalam dunia di mana bentuk-bentuk kerja yang baru membentuk masa kini dan menuntun masa depan.
Sebuah berkat, bukan hukuman
Mereka yang mendekati ajaran pendiri Opus Dei sering terkejut oleh penekanannya yang kuat pada martabat kerja, suatu martabat yang ia tempatkan dalam konteks penciptaan, bahkan sebelum dosa Adam:
“Sebagaimana telah saya wartakan sejak 1928, kerja bukanlah kutukan; juga bukan hukuman atas dosa. Kitab Kejadian sudah berbicara tentang kenyataan kerja sebelum Adam memberontak melawan Allah. Menurut rencana Tuhan kita, kerja dimaksudkan menjadi ciri tetap manusia yang, melalui kerja, akan bekerja sama dalam tugas penciptaan yang amat besar” (Friends of God, no. 81).
Jangan keliru tentang hal ini. Kewajiban manusia untuk bekerja bukanlah konsekuensi dari dosa asal, dan bukan pula sekadar penemuan zaman modern. Itu adalah sarana yang tak tergantikan yang Allah percayakan kepada kita di bumi ini. Kerja dimaksudkan untuk memenuhi hari-hari kita dan menjadikan kita pengambil bagian dalam kuasa kreatif Allah. Kerja memungkinkan kita mencari nafkah dan, pada saat yang sama, menuai ‘buah-buah kehidupan kekal’ (Yoh 4:36), sebab ‘manusia dilahirkan untuk bekerja seperti burung dilahirkan untuk terbang’ (Ayb 5:7)” (Friends of God, no. 57).
Maka, kerja adalah kondisi awal dan panggilan kodrati setiap manusia: “Kerja adalah panggilan asli manusia. Itu adalah berkat dari Allah, dan mereka yang menganggapnya sebagai hukuman sungguh keliru. Tuhan, Bapa yang terbaik, menempatkan manusia pertama di Firdaus ut operaretur, supaya ia bekerja” (Furrow, no. 482).
Jika kita ingin memahami makna dan nilai kerja, kita harus mulai dari citra Allah yang tertanam pada setiap manusia, bukan dari dosa dan konsekuensinya. Misi dari karya baru yang dirasakan St. Josemaría dipanggil untuk dibentuk dalam Gereja adalah memulihkan nilai dan martabat asli dari kerja:
“Sudah pasti, putri-putriku dan putra-putraku, dengan datang ke Opus Dei dan bertindak demikian, yang kita lakukan hanyalah mengingatkan bahwa Allah menghendaki kita mengasihi kerja. Ketika Kitab Suci mengisahkan penciptaan manusia pertama, dikatakan bahwa Tuhan Allah mengambil manusia dan menempatkannya di taman Eden, ut operaretur, untuk bekerja (Kej 2:15). Kerja tetap merupakan realitas yang sama setelah dosa, meskipun kini—karena dosa itu—terkait dengan rasa sakit dan kelelahan: engkau akan makan roti dengan peluh wajahmu (Kej 3:19), demikian kita baca dalam Kejadian. Kerja bukan sesuatu yang kebetulan. Itu adalah hukum bagi kehidupan manusia” (Surat 14, no. 3).
Memang, ini soal “mengingat kembali” sesuatu yang mungkin terlewat dalam tafsiran tertentu atas Kitab Kejadian: kerja bukan hukuman, melainkan berkat. Orang tua pertama kita tidak menerima sekadar perintah atau tugas yang bersifat hamba dari Allah. Ia menganugerahkan pada mereka sebuah berkat sejati: “Allah memberkati mereka, seraya berfirman, ‘Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu; berkuasalah atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara, dan atas segala binatang yang bergerak di bumi’” (Kejadian 1:28). Tak ada yang lebih jauh dari semangat biblis daripada memandang kerja sebagai kutuk. Laki-laki dan perempuan tetap, sesudah dosa Adam, “pengelola” dan “penjaga” bumi, sebagaimana dikehendaki Sang Pencipta, meskipun kerja mereka kini menuntut jerih payah dan kerap serba genting serta tidak pasti. Sekalipun mereka terpapar risiko dosa, seperti ditunjukkan kisah Menara Babel (bdk. Kej 11:1–9), manusia dapat menyembah Allah melalui kerja mereka yang cermat dan tekun: mereka membangun altar, membuat tabut perjanjian, dan mendirikan Bait Suci Yerusalem.
Selama masih ada laki-laki dan perempuan di bumi
Fakta bahwa, sejak awal, kerja merupakan dimensi eksistensial dari setiap kehidupan manusia, bersama dengan keberagaman cara aktivitas manusia menampakkan diri, mendorong St. Josemaría untuk merumuskan dua pertimbangan mendasar. Yang pertama adalah bahwa panggilan kepada kekudusan di tengah dunia, yang menjadi panggilan Allah bagi setiap orang Opus Dei, harus—dalam suatu cara—mencakup panggilan profesional dan manusiawi yang masing-masing sudah dijalani atau sedang dipersiapkan untuk dijalani:
“Yakinkanlah dirimu bahwa panggilan profesional kita merupakan bagian esensial dan tak terpisahkan dari kondisi kita sebagai orang Kristiani. Tuhan kita menghendaki kalian menjadi kudus di tempat kalian berada, dalam pekerjaan yang telah kalian pilih karena alasan apa pun. Bagi saya, setiap pekerjaan yang tidak bertentangan dengan hukum ilahi adalah baik dan mulia, serta mampu diangkat ke tataran adikodrati, yakni dimasukkan ke dalam arus kasih yang terus-menerus yang menjadi ciri hidup seorang anak Allah” (Friends of God, no. 60).
Kedua, mengingat kekayaan dan keberagaman bentuk yang diambil oleh kerja manusia serta keadaan khusus kehidupan sehari-hari, panggilan kepada kekudusan di dalam dan melalui kerja mengandung, hampir sebagai konsekuensi alami, suatu panggilan universal kepada kekudusan.
Jalan yang ditetapkan oleh karya baru itu dimaksudkan untuk bertahan sampai akhir zaman, karena, sebagaimana ditulis St. Josemaría, akan selalu ada laki-laki dan perempuan yang bekerja di bumi: “Karya ini akan ada selama masih ada laki-laki dan perempuan di bumi” (Surat 3, no. 92).
Tidak diragukan, universalitas panggilan kepada kekudusan berakar pada sakramen baptis, bukan pada kerja. Baptislah yang membentuk orang beriman menjadi serupa dengan Yesus Kristus, mengundang mereka untuk menghidupi sepenuhnya identifikasi dengan-Nya sepanjang seluruh hidup mereka. Semua anggota Umat Allah — para pelayan tertahbis dan kaum awam, kaum religius dan mereka yang hidup bakti, laki-laki dan perempuan, sehat dan sakit — dipanggil untuk berusaha meraih kesempurnaan Kristiani.
Namun, pemahaman bahwa kekudusan dapat dikejar melalui kerja dan kehidupan biasa (bdk. Surat 3, no. 2) memungkinkan pendiri Opus Dei menunjukkan bahwa universalitas ini, dalam praktiknya, dapat diakses oleh setiap orang. Dengan demikian, tegasnya, jalan-jalan ilahi di bumi terbuka (bdk. Christ is Passing By, n.. 21; Friends of God, n.. 314), karena semua pekerjaan dan kegiatan sehari-hari dapat menjadi tempat perjumpaan dengan Allah (bdk. Friends of God, nos. 149, 208).
Berikut dua teks yang secara khusus penting:
Berangkatlah, anak-anakku, ke setiap sudut bumi. Di mana pun orang jujur dapat hidup, di sana kita akan menemukan udara untuk bernapas. Kita harus ada di sana, membawa sukacita kita, kedamaian batin, dan kerinduan untuk membawa jiwa-jiwa kepada Kristus. Di manakah tempat-tempat yang kumaksud: di mana para intelektual berada? Ya, di mana para intelektual berada. Di mana para pekerja manual berada? Ya, di mana para pekerja manual berada. Dan dari tugas-tugas ini, yang manakah yang terbaik? Akan kukatakan apa yang pernah kukatakan kepada kalian: pekerjaan mana pun yang dilakukan dengan kasih kepada Allah yang lebih besar itulah yang lebih bernilai. Ketika kalian bekerja dan menolong teman, rekan kerja, atau tetangga kalian sedemikian rupa hingga mereka tidak menyadarinya, kalian sedang menyembuhkan mereka; kalian adalah Kristus yang menyembuhkan; kalian adalah Kristus yang hidup tanpa meremehkan, bersama mereka yang membutuhkan kesembuhan, sebagaimana kapan saja salah satu dari kita pun mungkin membutuhkannya” (Pertemuan di Teater Coliseo, Buenos Aires, 23-VI-1974).
“Apakah kalian mengira hal kecil bila dikatakan bahwa kita dapat dan harus menjadi kudus di tengah jalanan, bahwa orang yang menjual es krim dengan gerobak, pegawai yang bekerja di dapur sepanjang hari, direktur bank, profesor universitas, pekerja ladang, dan kuli angkut yang memanggul koper di punggungnya... dapat dan harus menjadi kudus? Kita semua dipanggil kepada kekudusan!” (Pertemuan di São Paulo, 30-V-1974, dikutip dalam S. Bernal, Msgr. Josemaría Escrivá de Balaguer; A Profile of the Founder of Opus Dei, Scepter, London 1977).
Kedua teks tersebut, terutama yang kedua, mengembangkan universalitas panggilan kepada kekudusan dengan secara langsung menyebut beragam aktivitas, profesi, dan pekerjaan. Jika semua kerja yang jujur dapat dikuduskan dan menjadi tempat perjumpaan dengan Allah, maka panggilan kepada kekudusan itu seluas dan seuniversal berbagai segi dunia kerja yang dijalankan oleh laki-laki dan perempuan di segala zaman.
Keyakinan St. Josemaría bahwa karya baru yang ia rasakan terinspirasi untuk memulainya akan bertahan sepanjang waktu didasarkan pada suatu kepastian yang sederhana namun mendalam: karena bekerja adalah kondisi kodrati manusia, maka pengudusan kerja akan selalu mungkin. Akan selalu mungkin untuk mengasihi dan hidup dalam kehadiran Allah di tengah kehidupan sehari-hari.
Jalan yang ia usulkan bukanlah suatu penyesuaian bagi kaum awam dari bentuk-bentuk kesaksian Kristiani lainnya yang, berdasarkan konsekrasi khusus atau kaul kanonik, menuntut pengabdian total pada doa kontemplatif dan berbagai bentuk keterpisahan dari dunia. St. Josemaría tahu bahwa ia sedang berbicara kepada orang-orang yang tenggelam dalam kegiatan sekuler. Mereka pun dapat mencapai puncak kehidupan doa yang mendalam dan persatuan dengan Allah. Hal ini, misalnya, tersirat dari penggunaan kata sifat “kontemplatif” yang berulang-ulang dan ungkapan “kontemplatif di tengah dunia” (bdk. Furrow, no. 497; The Forge, nos. 738, 740), yang digunakan untuk merujuk pada kehidupan biasa orang-orang yang bekerja. Para buruh, ibu rumah tangga, peneliti ilmiah, dan seniman dapat mencapai kedalaman doa yang sama dengan yang diidamkan oleh seorang religius kontemplatif dengan cara hidup yang jauh dari dunia:
“Dengan membangkitkan Karyanya pada tahun-tahun ini, Tuhan kita telah menghendaki agar kebenaran ini tidak lagi tidak dikenal atau dilupakan: bahwa setiap orang memiliki kewajiban untuk menguduskan dirinya, dan bahwa sebagian besar orang Kristiani harus menguduskan diri di dunia melalui pekerjaan mereka yang biasa. Karena itu, Karya ini akan tetap ada selama masih ada laki-laki dan perempuan di bumi. Akan selalu ada fenomena orang-orang dalam setiap profesi dan pekerjaan yang mencari kekudusan dalam keadaan hidup mereka, dalam profesi atau pekerjaan mereka sendiri, dengan menjadi jiwa-jiwa kontemplatif di tengah dunia” (Surat 3, no. 92).
Kerja, tempat perutusan
Para ahli sosiologi kerja menyatakan bahwa kira-kira sepertiga dari anak-anak yang lahir saat ini di negara-negara maju akan memiliki pekerjaan yang belum ada sekarang. Dinamika kehidupan sosial akan membentuk profesi-profesi baru dalam tahun-tahun mendatang, sebelum anak-anak itu memasuki pasar kerja. Terlepas dari perubahan cepat yang menjadi ciri zaman kita, kita yakin bahwa ajaran St. Josemaría tentang pengudusan kerja tetap sepenuhnya relevan, karena ajaran itu berfokus pada pribadi yang bekerja, bukan pada jenis pekerjaan yang ia lakukan.
Profil rohani yang digambarkan pendiri Opus Dei dalam pewartaannya bagi orang-orang Kristiani yang tenggelam dalam realitas dunia sebenarnya memberikan jawaban yang jelas terhadap banyak ketidakpastian yang kita hadapi saat ini.
Dalam dunia modern, kerja sering dipandang sebagai hambatan yang menghalangi seseorang untuk mencurahkan waktu bagi dirinya sendiri, keluarganya, atau minat pribadinya. Hidup—hidup yang sejati—seolah baru dimulai ketika hari kerja berakhir. Pandangan ini tampak jelas dalam pertentangan antara hari-hari kerja dan akhir pekan: hari kerja dijalani dengan menunggu datangnya akhir pekan; bulan-bulan kerja yang panjang dijalani karena penghiburan yang ditawarkan oleh masa liburan. Bahkan orang-orang yang mempraktikkan iman Kristiani pun cenderung berpikir bahwa mereka hanya dapat mengabdikan diri kepada sesama, berpartisipasi dalam karya kerasulan, berdoa, dan menumbuhkan kehidupan batin setelah pekerjaan selesai.
Meskipun pandangan ini memiliki sebagian kebenaran — baik karena kerja menuntut waktu dan energi yang tidak dapat dicurahkan untuk kegiatan lain, maupun karena banyak pekerja harus bekerja dalam kondisi yang tidak layak bagi martabat manusia — kesimpulan tersiratnya adalah bahwa kehidupan rohani, hubungan dengan Allah, dan kepedulian terhadap sesama hanya berkembang di luar lingkungan kerja, di ruang-ruang yang terpisah dari kehidupan sehari-hari. Kota-kota itu sendiri tampaknya memperkuat logika ini, mendorong penduduknya untuk mencari tempat-tempat alternatif bagi rekreasi, refleksi, dan makna hidup.
Namun, dalam kesinambungan dengan Injil — sebab Yesus berkhotbah baik di kota maupun di pedesaan, bekerja dengan tangannya sendiri, dan mengenal dengan baik realitas kerja manusia — pewartaan St. Josemaría menampilkan perspektif yang berbeda. Ia mengajarkan kesatuan hidup dan pengudusan hal-hal sehari-hari: kita menemukan Allah dalam pelaksanaan kegiatan harian kita; kerja bukan hanya tidak menghalangi doa, tetapi justru dapat menjadi doa; kerja memiliki tempat di altar, berdampingan dengan Ekaristi. Komitmen Kristiani, kerasulan, serta pertumbuhan manusiawi dan rohani masyarakat sering kali berlangsung melalui kerja.
Hal ini tidak berarti bahwa tujuan-tujuan tersebut tidak dapat juga dikejar di luar konteks kerja, sebagaimana kita semua ketahui dari pengalaman pribadi. Tetapi hal ini menunjukkan bahwa kerja tidak menghalangi kehidupan atau perutusan seorang Kristiani. Sebaliknya, bagi banyak orang, kerja justru menjadi tempat di mana kehidupan dan perutusan itu secara alami diungkapkan dan disuburkan.
Banyak orang sezaman kita memandang kerja sebagai cermin untuk memproyeksikan citra diri mereka sendiri, menjadikan komitmen profesional sebagai bentuk penegasan diri. Pencapaian profesional menjadi kartu identitas di hadapan dunia, bukti nilai diri. Sebaliknya, kegagalan tidak hanya membawa kesedihan, tetapi bahkan dapat membuat seseorang merasa hampa dan tak berharga.
Ketika kerja dipandang sebagai ruang istimewa bagi penegasan diri pribadi, kita dengan mudah dapat mulai “menyembahnya”, bahkan sampai rela “mengorbankan” waktu, kesehatan, dan hubungan antarmanusia demi pekerjaan itu. Pada titik itu, secara sadar atau tidak, kerja menjadi berhala. Dan berhala itu sesungguhnya adalah diri kita sendiri.
Bahkan alat-alat teknologi pun, jika tidak diarahkan untuk melayani sesama dan kebaikan bersama, dapat berubah menjadi berhala. Tidaklah kebetulan bahwa sebuah dokumen baru dari Tahta Suci, Antiqua et nova (2025), tentang kecerdasan buatan, memperingatkan bahaya ini. Dokumen tersebut menegaskan agar kita berhati-hati untuk tidak mencurahkan harapan-harapan terdalam kita (keinginan akan relasi, kepastian, keamanan...) kepada teknologi-teknologi ini, karena hal itu sama saja dengan menjadikannya berhala teknologi (bdk. Antiqua et nova, no. 105).
Jauh dari pandangan yang bersifat penyembahan berhala itu, pandangan yang selaras tentang kerja—seperti yang terlihat dalam Injil dan yang dibaca ulang serta disampaikan oleh St. Josemaría kepada zaman kita—membantu kita menjaga agar tujuan sejati dari usaha manusia tetap jelas: untuk memuliakan Allah saja, melayani sesama, dan memajukan kebaikan masyarakat. Namun hal itu juga berarti menerima pengorbanan salib, menaruh kepercayaan terutama kepada Allah, bukan pada jaminan manusiawi.
Pendiri Opus Dei mendorong kita untuk bekerja dengan baik, cakap, dan profesional, menghindari sikap dangkal atau solusi yang tidak dipikirkan matang-matang. Ia menegaskan bahwa hal itu bukan hanya syarat yang perlu agar kerja kita dapat dipersembahkan kepada Allah sebagai kurban yang berkenan, tetapi juga kekuatan transformatif yang mampu menyembuhkan banyak penyakit zaman kita.
Dalam era ketika kecepatan mengalahkan refleksi, obsesi terhadap hasil dengan segala cara mengorbankan profesionalisme serta penghormatan terhadap tata cara dan hukum. Ketakutan dan emosi sering menggantikan analisis fakta yang tenang dan masuk akal. Maka, seruan untuk bekerja dengan baik—meskipun menuntut waktu dan usaha—merupakan undangan yang bersifat penyelenggaraan ilahi. Dengan sudut pandang ini, keberhasilan dan kegagalan memperoleh makna yang baru.
Kompetensi, profesionalisme, dan studi tidak hanya melindungi pekerjaan kita dari kesalahan, tetapi juga mencegah kerugian bagi orang lain dan pemborosan sumber daya. Mengajarkan orang untuk bekerja dengan baik tidak diragukan lagi merupakan salah satu pelayanan terbesar yang dapat diberikan, bukan hanya kepada masyarakat, tetapi juga kepada Gereja, yang tidak kebal terhadap klerikalisme ketika ada kekurangan keterampilan atau kurangnya pengetahuan tentang realitas dan dinamika dunia.
Akhirnya, memahami kerja manusia sebagai partisipasi dalam karya penciptaan dan penebusan — suatu gagasan yang sering muncul dalam tulisan-tulisan St. Josemaría — memberi kita pandangan yang sangat seimbang tentang kemajuan. Hal ini berarti mengakui teknologi sebagai ekspresi sah dari kreativitas dan dimensi rohani manusia, yang diciptakan menurut citra dan keserupaan dengan Allah.
Dari sudut pandang ini, kemajuan tekniko-ilmiah dan perkembangan pribadi manusia tidak dapat dilihat sebagai kekuatan yang saling bertentangan. Teknologi dan etika, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, dapat — dan harus — bekerja sama secara harmonis. Kehidupan Kristiani tidak mendukung pandangan bahwa kita memerlukan “lebih sedikit ilmu pengetahuan dan lebih banyak kemanusiaan,” karena justru melalui ilmu dan pengetahuanlah kemanusiaan juga berkembang.
Otonomi dan kebebasan dengan mana laki-laki dan perempuan mengarahkan kemajuan, sebagaimana dikatakan St. Josemaría, bukanlah sesuatu yang mutlak, melainkan bersifat anak-anak Allah; dijalankan sebagai putra dan putri Allah yang sadar akan panggilan mereka untuk melayani. Dalam Kerajaan Kristus, memerintah berarti melayani. Ketika kerja benar-benar dipandu oleh kasih dan semangat pelayanan, kemajuan ilmiah menjadi kemajuan manusia yang sejati.
Seri ini dikoordinasikan oleh Profesor Giuseppe Tanzella-Nitti. Seri ini juga mencakup para kontributor lainnya, beberapa di antaranya adalah profesor di Universitas Kepausan Salib Suci (Roma).
