Sesuatu yang Hebat itu Adalah Cinta (VIII): Apakah saya membuat keputusan yang tepat?

Dalam proses merenungkan panggilan diri kita sendiri, kita tidak pernah sendirian, karena setiap panggilan lahir dan memperoleh bentuk di dalam Gereja.

Para rasul berpikir secara mendalam saat mereka merefleksikan tentang apa yang belum lama terjadi ketika Yesus bertemu dengan seorang pemuda yang kaya raya, dan bagaimana pertemuan itu berakhir: pergilah ia dengan sedih (Mat 19:22). Mereka mungkin bingung tentang bagaimana Yesus telah melihat dia, bukan dengan kesedihan tetapi dengan pedih di mata-Nya: sesungguhnya sukar sekali bagi orang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Di suatu kesempatan lain Petrus menjadikan dirinya juru bicara untuk kekhawatiran mereka bersama: Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh? (Mat19:27). Mengulang kata-kata tersebut dan dengan keakraban seorang sahabat baik, Santo Josemaria pun bertanya kepada Tuhan ketika berada dalam situasi yang sulit untuk Karya: “Akan menjadi apakah kami? ... Apa yang sekarang akan Engkau lakukan dengan kami? Engkau tidak bisa mengabaikan mereka yang sudah menaruh iman mereka kepada-Mu. [1]

Akan menjadi apakah saya?

Permulaan dari panggilan, seperti halnya permulaan setiap jalan, biasanya akan membawa serta suatu unsur ketidakpastian. Ketika Allah mengijinkan keragu-raguan masuk ke dalam hati kita, dan kita mulai untuk merasakan bahwa sebuah jalan khusus mungkin adalah jalan yang tepat untuk kita, alamiah jika kita bertanya kepada diri kita sendiri: apakah ini jalan yang tepat?

Lalu, apakah yang tersimpan di balik keragu-raguan tersebut? Pertama-tama, ketakutan ini cukup normal. Rasa takut akan hidup kita dan akan keputusan kita: kita tidak tahu masa depan akan membawa apa, kemana jalan ini akan membawa kita, karena kita tidak pernah melalui sebelumnya. Keraguan ini juga sebuah pertanda akan keinginan kita untuk membuat sebuah keputusan yang benar; kita ingin hidup kita berharga dan berbekas. Lebih lagi, setiap perjalanan yang besar dan indah menuntut yang terbaik dari kita, dan kita tidak mau terburu-buru dalam segala sesuatu. Tetapi, alasan terdalam adalah misterius dan sederhana pada saat yang sama: Allah sedang mencari kita dan kita ingin untuk tinggal bersama-Nya. Biasanya, bukanlah Allah yang kita takuti melainkan diri kita sendiri. Kerapuhan diri kita sendiri, ketika berhadapan dengan Kasih yang begitu besar, meresahkan kita sehingga kita berpikir kita tidak bisa membalas dengan sebanding.

Keraguan ini juga sebuah pertanda akan keinginan kita untuk membuat sebuah keputusan yang benar; kita ingin hidup kita berharga dan berbekas.

Ketika Petrus bertanya kepada Yesus “akan menjadi apakah kami?”; ketika Santo Josemaria bertanya kepada Yesus “akan menjadi apakah kami?”; ketika seorang Kristen bertanya kepada Yesus, “akan menjadi apakah saya” jika saya menjalani jalan ini, bagaimanakah Kristus akan menjawab kita? Yesus berbicara langung ke hati kita, suara-Nya penuh dengan sukacita dan kasih sayang. Dia memberitahu kita bahwa setiap dari kita adalah ‘taruhan’ Allah, dan Ia tidak akan pernah kalah dalam taruhan-Nya. Hidup kita terdiri dari segala bentuk petualangan, risiko, keterbatasan, tantangan, usaha, yang mensyaratkan agar kita meninggalkan dunia kecil yang dapat kita kendalikan dan menemukan keindahan dalam mengabdikan diri kita kepada sesuatu yang lebih besar dari diri kita, yang memuaskan rasa lapar kita akan kebahagiaan. Kita bisa membayangkan sebuah tatapan tajam dari mata Yesus sendiri ketika dia menyampaikan kata-kata-Nya yang selalu bergema dalam hati kita dan akan terus bergema dalam hati banyak orang: Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal (Mat 19:29). Allah tidak pernah memberi yang setengah-setengah.

Namun, kita tidak bisa mengharapkan sebuah nubuat sebening kristal, atau sebuah rencana yang dirinci sampai hal-hal yang paling detil. Allah telah memiliki rencana untuk kita masing-masing, tetapi Ia juga mengandalkan inisiatif kita. “Ketika seseorang merasa tidak yakin akan sebuah panggilan khusus dari Allah, ia perlu meminta bantuan Roh Kudus suatu ‘cahaya untuk melihat’ panggilannnya. Tetapi jika dia khawatir dan mereka yang berperan dalam membantunya mempertimbangkan sebuah panggilan (contohnya, melalui bimbingan rohani), tidak melihat sebuah keberatan atau halangan yang berarti, dan jika Penyelenggaraan Ilahi (biasanya melalui saluran-saluran manusiawi) telah membimbing orang itu melalui pengalaman tersebut, maka selain melanjutkan meminta ‘cahaya untuk melihat’, adalah penting (menurut saya, adalah prioritas utama) untuk meminta bantuan Roh Kudus akan ‘kekuatan untuk menginginkannya’, sehingga dengan kekuatan yang mengangkat kebebasan pada waktunya, panggilan ilahi dan abadi itu terbentuk [2].

Kita tidaklah sendiri: Gereja menemani kita

Dalam proses perenungan akan panggilan kita sendiri, kita tidaklah pernah sendirian, karena setiap panggilan tersebut lahir dan memperoleh bentuk di dalam Gereja. Melalui Bunda kita yaitu Gereja, Allah menarik kita kepada diri-Nya sendiri dan memanggil kita; dan Gereja sendiri menyambut kita dan menemani kita dalam setiap langkah kita menuju Allah.

Setiap panggilan di dalam Gereja, yang ditanggapi dengan kasih, akan membawa seseorang kepada kekudusan

Gereja yang memikat. Di sepanjang sejarah, Allah telah memakai orang-orang yang membuka alur hidup yang dalam, mereka yang telah menandai langkah-langkah pemberian diri kepada orang lain. Hidup mereka, idealisme mereka, dan pengajaran-pengajaran mereka telah menginspirasi dan ‘mengusik’ kita; mereka menarik kita keluar dari keegoisan kita dan memanggil kita kepada hidup yang lebih penuh, yaitu hidup Cinta. Ajakan ini membentuk bagian dalam rencana Allah – tindakan dari Roh Kudus yang menyiapkan jalan untuk kita.

Gereja yang memanggil. Allah “tidak memiliki alasan untuk mempersulit hidup kita. Ia masuk ke dalamnya dan hanya itu!” [3]. Dan untuk melaksanakannya, Ia bergantung kepada kerinduan anak-anak-Nya untuk mengundang orang lain berpikir secara serius tentang kemungkinan mengabdikan hidup mereka kepada-Nya. Yesus mengumpamakan Kerajaan Allah dengan sebuah perjamuan pesta dimana Allah menginginkan semua orang laki-laki dan perempuan untuk ikut ambil bagian di dalamnya, termasuk mereka yang awalnya tidak diundang. (bdk. Luk. 14:15-24). Dan kenyataannya, Allah biasanya bergantung kepada undangan eksternal untuk membuat suara-Nya bergaung di hati seseorang.

Setiap panggilan di dalam Gereja, yang ditanggapi dengan kasih, akan membawa seseorang kepada kekudusan. Oleh sebab itu, panggilan terbaik bagi setiap orang adalah panggilannya masing-masing. Tetapi tidak ada jalan yang tertutup (a priori). Suatu hidup terarah kepada Tuhan dalam hidup pernikahan atau selibat secara prinsipnya terbuka bagi semua orang. Riwayat hidup dan sejarah hidup kita, secara bertahap akan membentuk jalan kita dan menempatkan kita pada pilihan-pilihan khusus. Pilihan itu bergantung kepada kebebasan pribadi kita: hanya itu, sebuah pilihan. Kristus ingin kita untuk menjadi bebas: “Setiap orang yang mau mengikut Aku …” (Mat. 16:24); “Jikalau engkau hendak sempurna …” (Mat. 19:21).

Namun apakah yang membuat seseorang memilih sebuah panggilan khusus diantara banyak kemungkinan yang ada? Kebebasan kita mencari cakrawala yang luas, cakrawala Ilahi dari Kasih. Santo Ignatius dari Antiokia berkata: “Kristianitas bukanlah semata-mata kata-kata persuasif, namun sebuah keagungan [4], keagungan bahwa Kristus adalah Cinta. Sudah cukuplah bagi kita untuk menentukan sebuah jalan khusus di dalam Gereja dengan segala keindahan dan kesederhanaannya, melalui hidup dan perkataan seseorang, agar jiwa-jiwa tertarik kepadanya dengan kekuatannya sendiri, hanya jika mereka membiarkan diri ditantang oleh Krisus sendiri (bdk. Mrk. 10:21). Sesuatu di dalam hati seseorang – sangat intim dan dalam, dan misterius bahkan untuk orang tersebut – beresonansi dalam harmoni dengan proposal ini yang adalah suatu jalan di dalam Gereja. Seperti seorang filsuf Yunani yang berkata kesukaan diketahui dari kesukaan [5]. Kehidupan otentik dari orang Kristen lain memanggil kita untuk lebih dekat dengan Kristus dan memberikan hati kita kepada-Nya. Kita melihat sebuah contoh kekudusan dalam orang – orang yang dekat dengan kita dan kita pun berpikir: “Mungkin saya juga…”. Ini adalah “datang dan lihatlah” dari teks Injil, yang telah menantang kita di sini dan saat ini. (Yoh 1:46).

Gereja menyambut dan menyertai. Setiap orang normal, bahkan tanpa mengalami panggilan khusus, dapat memulai kehidupan pelayanan dan pemberian diri: dalam selibat atau dalam pernikahan, dalam imamat, sebagai religius. Penegasan panggilan setiap orang melibatkan upaya melihat niat baik dan kemampuan dari orang itu, kesesuaiannya untuk jalan tertentu.

Perenungan ini membutuhkan bantuan orang lain, terutama melalui bimbingan rohani. Selain itu, membutuhkan juga pertimbangan dari mereka yang mengatur lembaga tertentu di Gereja, sesuatu yang dianggap sebagai jalan yang mungkin dalam kehidupan. Misi penyambutan, di pihak Gereja, juga melibatkan hal memastikan bahwa setiap orang menemukan tempat yang tepat. Jika kita merefleksikannya, jelas itu adalah berkat ilahi bahwa, ketika mencoba untuk memutuskan rencana hidup kita, kita menemukan orang-orang yang dapat kita percayai dan yang pada gilirannya mempercayai kita. Dengan demikian, orang lain, dengan pengetahuan mendalam tentang situasi pribadi kita, dapat menyatakan dalam hati nurani: “bersiaplah, kamu dapat melakukannya,” kamu memiliki kondisi dan bakat yang diperlukan untuk misi ini, yang mungkin cocok untukmu, dan yang dapat kau terima, jika engkau benar-benar menginginkannya; atau siapa yang dapat memberi tahu kita, juga dalam hati nurani: “mungkin ini bukan jalanmu.”

Panggilan selalu merupakan situasi sama-sama menang (“win-win”). Ini adalah yang terbaik untuk masing-masing dari dua sisi hubungan: orang yang bersangkutan dan institusi Gereja yang terlibat. Allah Bapa kita mengikuti masing-masing sejarah pribadi ini dengan sangat erat dengan pemeliharaan-Nya yang penuh kasih. Roh Kudus telah membangkitkan dalam Gereja institusi-institusi dan jalan-jalan kesucian yang dapat menjadi saluran dan bantuan bagi orang-orang tertentu. Dan juga adalah Roh Kudus yang mendorong individu-individu, pada saat tertentu dalam hidup mereka, untuk memperkaya saluran-saluran dalam Gereja ini dengan pemberian diri mereka.

Lompatan iman: percaya pada Tuhan

Melihat banyaknya orang yang mengikuti-Nya, Yesus bertanya kepada Filipus: Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan? (Yoh 6: 5). Para rasul menyadari dengan sangat jelas bahwa mereka tidak dapat melakukan apa pun untuk memenuhi kelaparan begitu banyak orang. Mereka hanya memiliki lima roti jelai dan dua ikan yang dibawa oleh seorang anak laki-laki. Yesus, mengambil roti, menyediakan makanan untuk semua orang, dan begitu banyak yang tersisa sehingga Dia mengatakan kepada para murid: Kumpulkanlah potongan-potongan yang lebih supaya tidak ada yang terbuang (ayat 12). Hanya Yesus yang dapat memastikan bahwa tidak ada dalam hidup kita yang hilang, bahwa itu adalah pelayanan bagi seluruh umat manusia; tetapi kita harus mempercayakan semua yang kita miliki kepada-Nya. Kemudian Dia melakukan mukjizat, dan yang pertama mendapat manfaat adalah kita sendiri.

Percaya kepada Tuhan, membuka pintu kehidupan kita bagi-Nya, menuntun kita untuk memiliki belas kasihan pada orang banyak yang lapar akan-Nya, seperti domba tanpa gembala. Dan untuk menyadari bahwa Dia mengandalkan kita untuk membawa Kasih-Nya kepada semua orang ini. Dan kemudian, untuk memulai, karena itu adalah perjalanan yang tidak pernah dapat kita rencanakan sendiri. Untuk memulai, menyadari bahwa dengan pertolongan Tuhan kita akan maju: menempatkan diri kita di tangan-Nya, bersandar penuh pada-Nya. Dan karena Tuhan tidak memaksakan diri-Nya pada kita, dibutuhkan “lompatan iman”: “Mengapa engkau tidak menyerahkan dirimu kepada Allah, sekali dan untuk selama-lamanya, . . . dengan sungguh-sungguh . . . saat ini juga!” [6]

Tentu, seseorang perlu mempertimbangkan banyak hal dengan hati-hati. Inilah yang Gereja sebut sebagai periode perenungan. Tetapi ada baiknya untuk diingat bahwa “perenungan bukanlah analisis diri solipsistic (hanya orang itu sendiri yang mengetahui dirinya) atau bentuk introspeksi egois, tetapi proses otentik meninggalkan diri kita sendiri untuk mendekati misteri Tuhan, yang membantu kita menjalankan misi dimana Ia telah memanggil kita, demi kebaikan saudara-saudari kita.” [7] Panggilan menyiratkan keluar dari diri sendiri, meninggalkan zona nyaman dan keamanan pribadi kita.

Jika kita memutuskan untuk melakukan lompatan parasut, maka parasut tersebut perlu dibuka dengan benar, agar kita dapat mendarat dengan lembut. Tapi pertama-tama kita perlu melompat dari pesawat dengan parasut masih tertutup. Dengan cara yang sama, panggilan membutuhkan kepercayaan pada Tuhan dan melepaskan penyangga-penyangga pribadi kita. Santo Yohanes Krisostomus berkata, mengacu pada Tiga Orang Majus: “Ketika orang Majus berada di Persia, mereka hanya melihat bintang. Tetapi ketika mereka meninggalkan rumah mereka, mereka melihat Matahari Keadilan. Kita dapat mengatakan bahwa mereka tidak akan terus melihat bintang tersebut jika mereka tetap tinggal di negara mereka sendiri.” [8]

“Engkau sadar bahwa jalanmu tidaklah jelas. Jalanmu tidak jelas karena pada saat engkau tidak mengikuti Yesus dari dekat, engkau berada dalam kegelapan. Lalu apa lagi yang kautunggu untuk mengambil suatu keputusan?” [9] Saya dapat mengikuti sebuah jalan hanya jika saya memilihnya, dan menjalankan apa yang telah saya pilih. Untuk terus melihat bintang kita perlu berangkat, karena rencana Tuhan selalu melebihi kemampuan kita sendiri. Hanya dengan percaya kepada-Nya kita menjadi mampu. Pada awalnya kita tidak dapat melakukannya, dan kita harus bertumbuh. Tetapi untuk bertumbuh kita perlu percaya: di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa (Yoh 15: 5) – tetapi dengan-Ku kamu bisa melakukan segalanya.

Karenanya, adalah kesalahan dari orang-orang yang menghabiskan masa mudanya menunggu penerangan yang pasti dari jalan mereka dalam hidup, dan gagal membuat keputusan. Saat ini juga ada kendala khusus: begitu banyak swafoto (selfie) yang diambil, anak-anak muda melihat diri mereka sendiri dalam begitu banyak foto, bahkan mereka mulai berpikir bahwa mereka sudah mengenal diri mereka sendiri dengan sempurna. Namun demikian, untuk benar-benar menemukan identitasnya sendiri, seseorang perlu menemukan kembali apa yang belum dilihatnya tentang kehidupannya sendiri: unsur “misteri,” kehadiran Tuhan, dan cinta-Nya kepada setiap orang. Hidup secara penuh berarti menemukan dan meninggalkan diri sendiri dengan percaya pada misteri ini, menerima logika dan cara berpikir yang tidak dapat kita pahami sepenuhnya.

Sejarah yang ditulis oleh Tuhan dimulai sedikit demi sedikit. Tetapi kepercayaan yang mempertaruhkan segalanya adalah jalan untuk mencapai impian terbesar kita, impian Tuhan. Ketika, sebagai anak-anak Allah yang baik, kita membiarkan diri kita dibimbing oleh Roh Kudus (lih. Rom 8:14), hidup kita mencapai ketinggian yang tidak pernah kita impikan. Ini adalah jalan para Majus; tentang Maria, seorang gadis muda yang menjadi Bunda Allah, dan Yusuf, seorang tukang kayu yang diangkat Allah sebagai ayah-Nya; tentang para Rasul, yang mengatasi kesalahan dan keraguan awal mereka untuk menjadi tiang di mana Gereja dibangun; dan dari begitu banyak orang Kristen yang mendahului dan menemani kita. Siapa yang pernah memimpikan misteri ini di awal kehidupan mereka? Itu hanya terlihat jelas di bagian akhir. Tetapi akhir itu mungkin hanya karena pada awalnya masing-masing memilih untuk meninggalkan keamanan palsu mereka dan untuk “melompat” ke dalam pelukan yang kuat dari Allah Bapa mereka. [10]

kepercayaan yang mempertaruhkan segalanya adalah jalan untuk mencapai impian terbesar kita, impian Tuhan

Jadi, ketika kebijaksanaan telah terjadi, dan panggilan tertentu telah diklarifikasi dengan ciri-ciri tertentu, kebutuhan menjadi jelas, untuk terus maju, untuk lompatan awal iman: mengatakan “ya”. Proses penegasan masih memerlukan tahap akhir, dan oleh karena itu Gereja telah meramalkan, dengan kebijaksanaan yang dibentuk oleh pengalaman berabad-abad, perlunya serangkaian langkah progresif, untuk menjadi sepasti mungkin tentang kesesuaian mereka yang ingin melakukan jalur panggilan tertentu. Cara bertindak seperti ini membawa banyak kedamaian di hati dan memperkuat keputusan untuk percaya kepada Tuhan, yang menuntun orang tersebut ke jalur pemberian diri. Ini bukanlah masalah meragukan Tuhan tetapi diri kita sendiri, dan oleh karena itu kita percaya kepada-Nya dan Gereja.

Di pihak kita, kita perlu mempertimbangkan semua diri kita dan yang kita miliki, agar dapat mempersembahkan segalanya, seperti yang kita lihat dalam perumpamaan tentang talenta (lih. Mat 25:14-30). Kami tidak dapat menyimpan apa pun untuk diri kita sendiri dan gagal menginvestasikannya, untuk membagikannya. Inilah kunci keputusan yang matang dan tulus: kesiapan untuk memberikan segalanya, menyerahkan diri sepenuhnya di tangan Tuhan, tanpa menyimpan apa pun untuk diri kita sendiri, bersamaan dengan kesadaran bahwa pemberian diri kita ini membawa kedamaian dan kegembiraan yang tidak berasal dari diri kita sendiri. Dan kemudian keyakinan kuat mulai terbentuk bahwa kita telah benar-benar menemukan jalan kita.

***

Dalam merenungkan panggilannya, Maria bertanya kepada malaikat: Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami? (Luk 1:34 dst.). Malaikat adalah pembawa pesan, perantara yang panggilannya menggemakan suara Tuhan. Maria tidak memberikan syarat apa pun, tetapi dia mengajukan pertanyaan untuk memastikannya. Dan malaikat meyakinkannya: Roh Kudus akan bertindak, karena apa yang telah kukatakan melampaui pemahamanmu, sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil (ayat 37). Jika Bunda Maria kita pun perlu bertanya, tidaklah mengherankan jika kita masing-masing perlu meminta nasihat ketika kita mulai merasakan kasih Tuhan di dalam hati kita. Apa yang harus saya lakukan untuk memberikan hidup saya kepada-Nya? Menurut-Mu apa jalan terbaik bagi saya untuk menemukan kebahagiaan? Betapa hebatnya mencari nasihat agar bisa mengatakan “ya,” dengan kebebasan yang bersinar dan penuh dengan kepercayaan kepada Tuhan. Kita menempatkan seluruh keberadaan kita di tangan-Nya: jadilah padaku menurut perkataanmu itu.

Pablo Marti


[1] Andres Vázquez de Prada, The Founder of Opus Dei, vol. III, Scepter, pp. 27-28.

[2] Fernando Ocáriz, “Vocation to Opus Dei as a Vocation in the Church,” Dalam: Opus Dei in the Church, Four Courts Press – Scepter Publishers, 1994, p. 89.

[3] Santo Josemaria, Tempa, no. 902.

[4] Santo Ignatius dari Antiokia, Letter to the Romans, no. 3.

[5] Aristoteles, De Anima I, 2.

[6] Santo Josemaria, Jalan, no. 902.

[7] Fransiskus, Seruan Apostolik. Gaudete et exsultate (19 Maret 2018), no. 175

[8] Santo Yohanes Krisostomus, Homili tentang Injil Santo Matius, VII, 5.

[9] Jalan, no. 797.

[10] Bdk. Santo Josemaria, Jalan Salib, Perhentian ketujuh.