28 Maret 1925: Josemaría Escrivá Ditahbiskan menjadi Imam

Pendiri Opus Dei ditahbiskan menjadi imam di kapel seminari keuskupannya. Dua hari kemudian, dia merayakan Misa perdananya di Basilika Bunda Maria Pilar, di kaki Madona tercintanya di mana dia telah berdoa dengan begitu sering.

Sketsa Josemaría Escrivá muda bersama adik laki-lakinya, Santiago, dan kakak perempuannya, Carmen.

Pada hari Rabu, 9 Januari 1918, Josemaría Escrivá de Balaguer genap berumur enam belas tahun. Kota Logronyo di mana dia tinggal berada dalam ketenangan di bawah salju yang tebal. Temperatur berkisar sekitar nol derajat Farenheit. Tidak ada yang keluar rumah kecuali kalau terpaksa.

Ayahnya, José Escrivá, telah mendapat pekerjaan di Logronyo sebagai pegawai penjual di bisnis yang serupa dengan yang dipunyainya sebelumnya. Jadi keluarganya telah berpindah ke sana. Meninggalkan Barbastro tidaklah mudah bagi mereka semua, termasuk Josemaría, yang kini adalah seorang remaja.

Di suatu pagi di musim dingin itu, Josemaría muda melihat di atas salju tebal di jalan dekat rumahnya, tapak-tapak kaki telanjang. Dia tahu bahwa itu adalah tapak-tapak kaki seorang biarawan Karmelit yang belum lama ini tiba di kota itu. Dia bertanya-tanya dalam hatinya: “Kalau orang lain dapat melakukan pengorbanan yang demikian bagi Allah, tidakkah saya dapat mempersembahkan sesuatu?” Itu adalah sebuah pemikiran yang ditakdirkan untuk tetap bersamanya selama hidupnya.

“Saya mulai menyadari bahwa hati saya meminta sesuatu yang agung, dan itu adalah cinta.”

“Tuhan sedang mempersiapkan diriku tanpa kuinginkan. Dengan menggunakan hal-hal yang tampaknya sederhana Tuhan menanamkan kegelisahan ilahi dalam jiwaku. Dengan demikian saya menjadi mengerti dengan baik cinta kasih, yang sedemikan manusiawi dan sedemikian ilahi, yang menggerakkan hati Santa Teresia dari Kanak-Kanak Yesus yang ketika membalik-balik halaman sebuah buku, hatinya menjadi sangat tersentuh ketika dia melihat gambar tangan-tangan Juruselamat yang terluka. Hal-hal yang serupa terjadi pada diriku juga – hal-hal yang menggerakkan hati saya dan membuat saya: menerima Komuni setiap hari, memurnikan diri, melakukan Pengakuan dosa, dan membuat silih.

“Saya mulai merasakan firasat-firasat Cinta, dan menyadari bahwa hati saya meminta sesuatu yang agung, dan itu adalah cinta. Saya tidak tahu apa yang Allah inginkan dari diriku namun jelas bahwa saya telah dipilih untuk sesuatu.”

Apa yang dapat dilakukan oleh Josemaría? Yang jelas adalah berdoa. Memohon kepada Tuhan untuk menerangi hatinya. Dia mulai menggunakan kata-kata dari orang buta dalam Injil sebagai aspirasinya (doa singkatnya): "Domine, ut videam! — Tuhan, buatlah saya melihat apa yang Engkau inginkan dariku." Dan dia melanjutkan kehidupannya seperti biasa sebagai seorang siswa SMA. Dia adalah seorang siswa yang baik, dan bercita-cita menjadi seorang arsitek.

Keputusan untuk menjadi seorang imam

Kalau saja dia mengetahui apa panggilannya! Bagaimanapun juga dia menjawab “ya,” suatu persetujuan akan apa pun yang Allah inginkan daripadanya. Dia berpikir bahwa kalau dia menjadi seorang imam, dirinya akan lebih siap untuk menerima panggilannya. “Suatu hari, saya memberitahu ayah saya bahwa saya ingin menjadi imam; itulah satu-satunya saat di mana saya melihat dia menitikkan air mata. Dia mempunyai rencana yang lain untuk saya, namun dia tidak menghalangi keinginan saya. Dia berkata, ‘anakku, pikirkanlah lagi baik-baik. Seorang imam haru adalah seorang yang kudus … Sangatlah sukar untuk tidak memiliki keluarga, tidak memiliki cinta di dunia ini. Pikirkanlah lagi, tetapi saya tidak akan menentang keputusanmu.”

“Suatu hari, saya memberitahu ayah saya bahwa saya ingin menjadi imam; itulah satu-satunya saat di mana saya melihat dia menitikkan air mata."

Ayahnya menyarankan Josemaría untuk membicarakannya dengan seorang imam yang dikenalnya. Imam ini berbicara dengannya dan meyakinkan ayahnya bahwa putranya mempunyai panggilan untuk imamat. Josemaría masih harus menyelesaikan sekolah menengahnya. Sekarang, karena dia telah mengesampingkan cita-citanya untuk menjadi arsitek, ayahnya menganjurkan baginya untuk mengejar gelar di bidang hukum dan untuk menjadikan studi sipilnya ini kompatibel dengan komitmennya di seminari.

Allah menggunakan ayahnya sebagai contoh untuk menimbulkan dalam hati Josemaría suatu keyakinan yang dia anjurkan kepada banyak orang sepanjang hidupnya: “Bukanlah suatu ‘pengorbanan’ bagi orang tua jika Allah meminta anak-anak mereka. Juga bukan, bagi mereka yang dipanggil, adalah suatu pengorbanan untuk mengikuti Dia. Melainkan panggilan adalah suatu kehormatan yang besar, suatu motif untuk kebanggaan yang besar dan kudus, suatu tanda praseleksi, suatu kasih sayang yang sangat istimewa yang telah Allah perlihatkan pada saat tertentu, tetapi yang sudah direncanakan-Nya sejak dari kekekalan.

Santo Josemaria pada tahun 1923.

Tahun-tahun di seminari

“Waktu berlalu, dan banyak hal yang sulit dan menyedihkan terjadi, yang tidak akan saya ceritakan. Walaupun hal-hal tersebut tidak membuat saya menderita, kalian akan disedihkan olehnya. Hal-hal tersebut bagaikan pukulan-pukulan kapak yang dihantamkan ke pohon oleh Tuhan. Dari pohon itu, Tuhan membentuk sebuah balok yang, meskipun ada kelemahannya, akan Dia gunakan untuk melaksanakan Karya-Nya.

Hampir dengan tanpa menyadarinya, saya mengulangi terus menerus 'Domine, ut videam! Domine, ut sit! [Tuhan, biarkan saya melihatnya! Tuhan, biarkan itu terjadi!]' Saya tidak mengetahui apa yang Dia inginkan, namun saya terus maju … tanpa melakukan sesuatu yang tidak biasa, bekerja dengan intensitas yang sedang-sedang saja … Itu adalah tahun-tahun di Saragosa.”

Josemaría tiba di Seminari San Carlos di Saragosa pada tahun 1920, setelah menyelesaikan satu tahun di seminari keuskupan di Logronyo sebagai seorang siswa pulang hari. Di San Carlos, karena perilaku dan kualitas kemanusiawiannya, Josemaría ditunjuk menjadi seorang prefek (ketua kelas) oleh Kardinal Soldevila, yang tak lama kemudian dibunuh oleh para fanatik anti agama.

Josemaría pergi setiap hari ke basilika di dekatnya di mana Bunda Maria Pilar dihormati menurut tradisi purba. Dia mempercayakan dirinya kepada Bunda Maria sambil menantikan jawaban yang pasti mengenai kehendak Allah baginya. “Dan saya, setengah buta, selalu menantikan jawabannya. Mengapa saya menjadi seorang imam? Tuhan menginginkan sesuatu: apakah itu? Dan dalam bahasa Latin – bahasa Latin yang tidak terlalu anggun – … saya terus mengulangi 'Domine, ut videam! Ut sit! Ut sit! Apakah itu yang Engkau inginkan yang tidak saya ketahui?’”

Di sana kesalehannya meluap dalam sikap lembut anak-anak. Dia mengingat, misalnya, “Suatu hari saya diizinkan untuk tinggal di dalam basilika sesudah pintu-pintunya dikunci. Dengan izin dari salah seorang imam yang baik, saya menaiki beberapa anak tangga yang dikenal dengan begitu baik oleh mereka yang mengantar anak-anak kecil, dan setelah mendekat, saya mencium patung Bunda kita. Saya tahu bahwa hal ini bukanlah hal yang biasa; karena mencium jubah Bunda Maria hanya diperuntukkan bagi anak-anak dan pihak yang berwenang. Namun, saya yakin bahwa Bunda Pilarku senang bahwa saya mengabaikan protokol itu.”

Di bulan November 1924, sebuah panggilan mendesak datang dari Logronyo: Ayahnya dengan tidak terduga meninggal dunia.

Doanya pada Bunda Maria disertai dengan adorasi yang berkepanjangan terhadap Ekaristi. Dia menghabiskan banyak waktu di kapel seminari itu, kadang-kadang berdoa semalam suntuk dari balkon atas yang dapat melihat ke Tabernakel.

Di bulan November 1924, sebuah panggilan mendesak datang dari Logronyo: Ayahnya dengan tidak terduga meninggal dunia. “Ayah saya meninggal kelelahan, tetapi masih dengan senyum di bibirnya…” Disamping dukacita mereka, keluarga Escrivá sekarang bahkan berada dalam situasi ekonomi yang lebih ketat dari sebelumnya. Masih dalam masa berkabung, Josemaría ditahbiskan menjadi imam di kapel seminari pada 28 Maret 1925. Dia merayakan Misa Perdananya di Basilika Bunda Maria Pilar, di bawah kaki Madona tercintanya di mana dia sudah begitu sering berdoa. Ibunya, kakaknya dan beberapa teman dekat hadir, dan Misa itu dirayakan untuk kedamaian arwah ayahnya.

Mulai saat itu, Misa Kudus menjadi bahkan lebih penting dalam hidupnya. Dalam Misa, dia menerima beberapa inspirasi yang paling penting dari Allah. Ke atas Altar dia meletakkan permintaan-permintaannya, dan dari sana dia selalu menimba kekuatan.

Dengan menggunakan pengalamannya sendiri, Santo Josemaría memberi nasihat: “Teruslah berjuang, agar Pengurbanan Kudus di Altar itu benar-benar menjadi pusat dan akar dari kehidupan rohanimu, sehingga seluruh harimu akan diubah menjadi suatu tindakan penyembahan – perpanjangan dari Misa Kudus yang telah kau hadiri dan menjadi persiapan untuk Misa berikutnya. Ini akan meluap dalam doa-doa pendek (aspirasi), dalam kunjungan kepada Sakramen Mahakudus dan menjadi persembahan akan karya profesionalmu dan kehidupan keluargamu.”

Dikutip dari buku Santo Josemaría, oleh Michele Dolz, 2002.