Satu langkah kecil hari ini, satu lompatan raksasa hari esok.

Beata Guadalupe Ortiz de Landázuri wafat lima puluh tahun yang lalu, tepatnya pada 16 Juli 1975. Pada peringatan hari wafatnya, kita mengenang hidupnya yang penuh petualangan dan pelayanan kepada sesama. Guadalupe adalah seorang wanita yang membiarkan dirinya dijamah oleh Tuhan dan dengan sukacita menanggapi panggilan-Nya yang mencerminkan keagungan kasih Tuhan.

Apa rumus hidup bahagia? Meraih impian kesuksesan finansial? Karier yang berkembang dan memuaskan? Keluarga yang bahagia dan stabil? Ada orang yang berkata bahwa para alkemis jaman kuno mencari batu tuah, zat mistis yang konon dapat mengubah logam biasa menjadi emas atau, ada versi lain, mencari ramuan umur panjang, yang mampu mengembalikan keremajaan dan memberikan keabadian.

Sekilas, kehidupan Guadalupe Ortiz de Landázuri tidak ada hubungannya dengan kisah pencarian batu tuah, dan dipandang dengan standar masa kini, mungkin bukan lah suatu contoh dari kesuksesan duniawi. Namun, jika kita mencermati kehidupan sehari-harinya, kita menemukan di dalamnya "molekul-molekul" yang merupakan resep untuk kebahagiaan sejati: Seorang wanita yang menempuh jalan hidup setiap hari dengan keyakinan bahwa ia dibimbing oleh Sang Guru terbaik, yang telah membawa perubahan dalam hidupnya dan dalam hidup banyak orang, dan terus melakukannya dari Surga.

Ketika manusia pertama kali menginjakkan kaki di bulan, kita mendengar kata-kata: "Itu satu langkah kecil bagi manusia, satu lompatan raksasa bagi umat manusia." Kehidupan Guadalupe dapat digambarkan seperti itu: Langkah-langkah kecil dalam kehidupan sehari-hari dari seorang wanita profesional di abad ke-20, dan lompatan raksasa bagi banyak orang yang hidupnya tersentuh olehnya. Ini adalah sesuatu yang akan terus terjadi sepanjang sejarah.

Wanita normal yang luar biasa

Guadalupe lahir pada 12 Desember 1916, bertepatan dengan Hari Raya Bunda Maria dari Guadalupe, Pelindung Amerika Latin. Ia adalah anak ketiga dari pasangan Manuel Ortiz de Landázuri dan Eulogia Fernández de Heredia, dan satu-satunya putri dalam keluarga tersebut. Sifat-sifat yang diwarisi dari orang tuanya turut membentuk karakternya. Ibunya, Eulogia, adalah sosok yang murah hati, bijaksana, tegas, teguh pendirian, dan berbakti kepada keluarganya, namun tidak terlalu berbakat dalam pekerjaan rumah tangga. Ayahnya, Manuel (yang tidak lazim bagi seorang militer pada masa itu) mengurus anak-anaknya: Ia mengganti popok, menyuapi mereka, bermain dengan mereka, dan menyiapkan makanan, dengan demikian istrinya dapat beristirahat. Bersama-sama, mereka membesarkan anak-anak mereka dalam suasana kebebasan.[1]

Meskipun keluarga mereka adalah keluarga Spanyol biasa di awal abad ke-20, kehidupan Guadalupe diwarnai oleh peristiwa-peristiwa yang tidak lazim. Ayahnya ditugaskan bersama keluarganya ke Tetouan, yang saat itu merupakan ibu kota Protektorat Spanyol di Maroko. Di sana, Guadalupe memulai sekolah menengah sebagai satu-satunya siswi di kelasnya. Suasananya mungkin menakutkan, tetapi ia segera mendapatkan rasa hormat dan kagum dari teman-teman sekelasnya, bukan hanya karena prestasi akademiknya yang gemilang, tetapi juga karena keberaniannya dalam menghadapi tantangan-tantangan yang berisiko dan bahkan keterlaluan, seperti saat ia menantang teman-teman sekelasnya untuk minum secangkir tinta… dan ia satu-satunya yang benar-benar melakukannya.

Sekembalinya ke Madrid, tempat ayahnya ditugaskan di Kementerian Pertahanan, Guadalupe menyelesaikan pendidikan menengah di Sekolah Miguel de Cervantes dan, pada tahun 1933 mendaftar diri di jurusan kimia di Universitas Pusat. Pada usia 17 tahun, ia menjadi salah satu dari lima perempuan di antara enam puluh mahasiswa (di fakultas itu). Pada usia 20 tahun, ia mulai berkencan dengan sesama mahasiswa kimia dari Catalonia, tetapi ia tidak terburu-buru untuk menikah… Pemuda itu adalah seorang perfeksionis. Dan Guadalupa suka bercanda: "Kesempurnaan seperti itu, terlalu berlebihan (bagi saya)!"

Haus akan pengetahuan

Salah satu cita-cita dari para ilmuwan adalah keinginan untuk mengungkap kebenaran yang tersembunyi di balik setiap unsur. Jika orang (biasa) melihat sebuah pohon, seorang ahli biologi akan melihat jaringan sel yang kompleks, masing-masing dengan fungsinya sendiri, dan seorang ahli kimia akan terpesona oleh reaksi yang tak kasat mata yang terjadi di dalamnya. Guadalupe memiliki cita-cita ini, dan bukan hanya untuk dunia sains, tetapi juga untuk hidupnya sendiri.

Dengan berakhirnya Perang Saudara Spanyol, yang menyebabkan ayahnya dieksekusi mati, Guadalupe menyelesaikan pendidikannya dan memulai pekerjaan pertamanya, mengajar di Lycée Prancis dan Sekolah Suster Irlandia. Ia berusia 23 tahun, tinggal bersama ibunya, dan mulai menikmati sedikit kemandirian. Pada suatu hari Minggu di bulan Januari 1944, ia pergi ke Misa seperti umat Katolik lainnya. Ia mengaku bahwa dalam Misa dia tidak terlalu perhatian, namun sesuatu terjadi pada dirinya saat itu; ia merasa tersentuh oleh rahmat Tuhan. Dalam perjalanan keluar, ia bertemu dengan seorang teman keluarga dan Guadalupe berkata kepada teman itu bahwa ia ingin berbicara dengan seorang pastor, meskipun ia tidak tahu mengapa. Teman keluarga itu memberi nomor telepon Pastor Josemaría Escrivá kepada Guadalupe. Pada tanggal 25 Januari, Guadalupe menelepon Pastor Josemaria, dan beberapa hari kemudian ia pergi menemuinya di sebuah rumah di Jalan Jorge Manrique.

Ia menggambarkan pertemuan pertama mereka: “Pertemuan itu telah mengubah hidup saya. Pertemuan itu berlangsung di sebuah rumah kecil di Colonia del Viso, yang saat itu berada di pinggiran Madrid. (…) Begitu kami duduk dan Pastor Josemaria bertanya kepada saya, 'Apa yang Anda inginkan dari saya?' Saya menjawab, tanpa tahu alasannya, 'Saya rasa saya punya panggilan.' Pastor itu menatap saya… 'Itu sesuatu yang tidak bisa saya katakan. Kalau Anda mau, saya bisa menjadi pembimbing rohani Anda, menjadi Bapa Pengakuan, mengenal Anda, dan sebagainya.' Itulah (seorang pembimbing rohani) tepatnya yang saya cari. Saya merasa dengan jelas bahwa Tuhan sedang berbicara kepada saya melalui pastor itu.”[2]

Guadalupe memulai proses pencarian (discernment) dan, sesudah mengikuti retret spiritual beberapa hari, ia menemukan jawaban yang selama ini ia cari-cari tanpa ia sadari. Guadalupe menemukan pesan Opus Dei – panggilan untuk membawa Kristus ke setiap tempat dan profesi melalui hidupnya sendiri – dan merasa sepenuhnya teridentifikasi dengannya. Pada tanggal 19 Maret, hari raya Santo Yosef, ia memutuskan untuk mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan dalam Opus Dei sebagai seorang anggota Numerary.

Tidak ada buku petunjuk

Para ilmuwan tahu bahwa setiap penelitian akan melibatkan banyak kesalahan sebelum menghasilkan terobosan-terobosan, dan seringkali tidak ada panduan yang dapat diikuti. Namun, ini bukan alasan untuk berkecil hati: justru ini adalah kesempatan untuk mencoba solusi baru dan mencari jawaban, meskipun kemajuannya lambat. Guadalupe mengalami hal ini berulang kali dalam hidupnya, ketika ia harus mengerjakan tugas-tugas tak terduga atau pindah ke tempat-tempat baru di mana Opus Dei membutuhkan dukungan.

Sejak awal, Guadalupe dengan sukacita dan sepenuh hati terjun bekerja dalam segala kegiatan Opus Dei, baik yang bersifat formasional maupun apostolik, termasuk tugas-tugas rumah tangga yang, seperti ibunya, tidak ia miliki bakat . Guadalupe adalah orang yang mudah lupa dan sulit merapikan barang-barang, baik miliknya sendiri maupun barang-barang di rumah. Meskipun demikian, St. Josemaría meminta Guadalupe untuk mengelola rumah tangga dari center Opus Dei di Jalan Jorge Manrique, dan juga untuk pergi ke Bilbao memulai karya apostolik di sana bersama tiga wanita lainnya.

Kembali ke Madrid pada tahun 1947, Pendiri Opus Dei meminta Guadalupe untuk membantu memimpin Opus Dei (wanita) di Spanyol dan mengelola asrama mahasiswa untuk wanita di Zurbarán. Namun, tugas-tugas ini tidak menghalangi Guadalupe untuk mendaftarkan diri untuk lima mata kuliah program doktoral ilmu Kimia di tahun itu. Tahun berikutnya, ia berhasil menyelesaikan empat modul spesialis wajib dan memulai tesisnya.

Namun, jalan hidup Guadalupe berbelok lagi secara tak terduga. Pada bulan Oktober 1949, atas nama St. Josemaría, Pendiri Opus Dei, dia diminta apakah bersedia memulai karya kerasulan Opus Dei di Meksiko bersama dua wanita lainnya. Untuk pertama kalinya Opus Dei akan melintasi Samudra Atlantik dan memulai (karya kerasulan) di negara di luar Eropa. Pada waktu itu perjalanan jarak jauh masih jarang. Dengan penuh kepercayaan pada rahmat Tuhan, Guadalupe menjawab ya, dan menulis surat kepada Santo Josemaria: “Mereka berbicara kepada saya tentang (pergi ke) Meksiko. Terima kasih. Seperti yang Bapa tahu, pergi atau tidak pergi, saya sama-sama bahagia, tetapi dengan gembira saya akan pergi ke Meksiko, dan sebenarnya saya tidak terlalu banyak berpikir tentang itu. Saya hanya meluangkan waktu sejenak dalam doa setiap hari, dan saya juga berdoa Rosario kepada Bunda Perawan Maria dari Guadalupe, memohon pertolongannya untuk segala yang masih belum saya ketahui.”[3]

Pada tanggal 5 Maret 1950, Guadalupe memulai petualangan baru ini. Bertahun-tahun kemudian, ia mengenang: “Saya yang tertua ( dari kami bertiga), meskipun saya pun masih sangat muda. Tetapi saya harus berwibawa seperti seorang yang berumur 80 tahun, seperti Bapa Pendiri kita selalu mengatakan dan meminta itu kepada Tuhan, karena kita membutuhkannya. (…) Beginilah cara Santo Josemaria mengajar kami untuk hidup percaya kepada Tuhan dan menghayati kemiskinan total. Kami membawa serta ( ke Meksiko) cinta kepada Tuhan… dan hasrat untuk menyebarkan kegilaan ilahi dari panggilan kami ini.”[4] Begitu tiba di Meksiko, Guadalupe berupaya keras untuk menyesuaikan diri dan hidup sebagai salah satu penduduk setempat: Ia berusaha mempelajari budaya lokal, membuat aksennya lebih lunak (aksen Spanyol mungkin terdengar agak keras di telinga orang Meksiko) mengadopsi ungkapan-ungkapan lokal, dan bahkan mengubah cara berpakaiannya, mengenakan ‘rebozo’ tradisional Meksiko dan rok panjang dengan pola bordiran tangan.

Memulai langkah baru

Kurangnya sumber daya keuangan tidak menghentikan peluncuran asrama mahasiswa di Jalan Copenhague di Mexico City, tempat Guadalupe menjabat sebagai direktur, sama seperti jabatannya di Asrama Zurbarán, Madrid. Meskipun di Spanyol kehadiran wanita dalam dunia akademis mulai meningkat, di Meksiko lebih jarang ditemukan wanita di lingkungan universitas.

Guadalupe mendaftarkan diri di beberapa mata kuliah doktoral di bidang kimia untuk terus meningkatkan pendidikan akademisnya, sembari mengabdikan dirinya untuk membimbing para wanita muda di asrama tersebut. Asrama tersebut menjadi terkenal karena kegiatan-kegiatan kebudayaan dan pendidikan yang aktif, juga karena adanya kegiatan-kegiatan ringan dan ‘fun’ yang memberi keseimbangan hidup di sana. Guadalupe selalu memiliki selera humor yang baik, sehingga para mahasiswa di asrama itu pun menggubah sebuah corrido (balada tradisional Meksiko) untuknya, dengan refrain: "Tawa Guadalupe lebih menular daripada wabah. Semua orang tidak luput dari perhatian dan panggilannya setiap hari."[5]

Ia tinggal di Mexico City selama lima tahun penuh petualangan: Menunggang keledai berkeliling di daerah pedesaan (ia ditawari sebuah pistol untuk perlindungan diri, tetapi lebih suka membawa belati agar tidak perlu menembak kecuali jika benar-benar perlu); pernah disengat laba-laba atau serangga saat sedang memberi ceramah; dan masih banyak kejadian lagi. Meskipun waktunya di Meksiko relatif singkat, Guadalupe meninggalkan kesan yang mendalam, pada para wanita yang bekerja dengannya dan bagi negara Meksiko secara umum.

Pada bulan Oktober 1956, Guadalupe pindah ke tempat kediaman baru lagi (Roma) untuk membantu St. Josemaría dalam mengelola karya kerasulan Opus Dei yang saat itu melaksanakan ekspansi ke negara-negara baru seperti Chili, Argentina, Kolombia, Venezuela, Jerman, Guatemala, Peru, Ekuador, Uruguay, dan Swiss. Setelah merintis jalan (karya Opus Dei) di Meksiko, kini saatnya bagi Guadalupe untuk mendukung orang lain yang harus membuka jalan yang sama melalui pengalaman-pengalamannya di benua Amerika.

Perubahan arah

Ibarat karya penelitian ilmiah, Guadalupe harus terus beradaptasi ketika menghadapi perkembangan yang tak terduga. Kurang dari setahun setelah tiba di Roma, pada Maret 1957, tiba-tiba dia merasa tidak sehat dan mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas fisik bahkan yang terhitung ringan, seperti naik beberapa anak tangga. Guadalupe didiagnosis menderita stenosis mitral yang parah, karena kondisi jantung yang ia miliki. Dan karena kondisi kesehatannya begitu lemah St. Josemaría mempersiapkan Guadalupe untuk menerima Sakramen Pengurapan Orang Sakit.

Dengan perawatan dan perhatian medis yang tepat, kondisinya mulai membaik, tetapi Gudalupe harus menjalani operasi (jantung). Atas permintaan kakak laki-lakinya, Eduardo (seorang dokter), Guadalupe pergi ke Madrid untuk menjalani operasi di Clínica de la Concepción pada 19 Juli. Perawatan ini – yang pada saat itu merupakan suatu operasi berisiko tinggi – melibatkan penggantian katup mitral (jantung), dan berhasil. Pemulihan pascaoperasi juga berjalan lancar, meskipun Guadalupe menderita fibrilasi atrium, yang berangsur-angsur membaik juga. Guadalupe tetap tenang, percaya kepada Tuhan dan para dokternya.[6]

Ia kembali ke Roma pada bulan Desember, tetapi pada tanggal 29 bulan itu, ia jatuh sakit lagi. Pada bulan Mei 1958, ia kembali ke Madrid untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut dan akhirnya menetap di sana untuk selamanya: iklim yang lembab di Kota Abadi (Roma) tidak mendukung kesehatan jantungnya, maka Santo Josemaria menilai lebih baik baginya untuk tinggal di Madrid, ibu kota Spanyol. Selama dua setengah tahun berikutnya, meskipun terus mengalami fibrilasi jantung, Guadalupe menjalani kehidupan yang aktif dan tidak mempermasalahkan kondisinya. “Saya baik-baik saja, dan meskipun saya memiliki 'patata de cuore', saya semakin bersemangat untuk bekerja dan menyelesaikan berbagai hal setiap hari; begitulah saya,” tulisnya kepada para wanita anggota Opus Dei di Roma. Dan kepada mereka yang berada di Meksiko: “Saya tidak akan lagi membicarakan tentang jantung saya, karena jantung ini berfungsi begitu baik sehingga kita tidak perlu mengingatnya lagi.”[7]

Perubahan mendadak dalam jalan hidupnya ini mungkin terasa seperti suatu kemunduran, tetapi Guadalupe menerima kenyataan barunya dengan sukacita dan semangat pelayanan yang sama yang selalu menjadi ciri khasnya. Pada tahun 1961, ia mengelola sebuah asrama wanita Opus Dei, aktif mendampingi para wanita muda di Sekolah Tata Kelola Rumah Tangga - Montelar, dan sekaligus mengerjakan disertasi doktoralnya, yang ia lanjutkan di bawah bimbingan Piedad de la Cierva, seorang pelopor dalam studi radiasi artifisial di Spanyol dan dalam produksi industri kaca optik, serta wanita pertama yang bekerja di Dewan Riset Nasional Spanyol. Guadalupe sering kali harus menulis thesisnya dalam keadaan sakit, dengan buku-buku berserakan di tempat tidurnya.[8]

Maju tak gentar

Guadalupe mempertahankan tesis doktoral (“Refraktori isolasi dari abu sekam padi”) pada tanggal 8 Juni 1965 dan meraih nilai tertinggi, cum laude. Keesokan harinya, ia menulis surat kepada St. Josemaría, melampirkan salinan tesisnya dan sepotong bata refraktori/tahan panas. Di halaman pertama, Guadalupe menulis tangan: “Bapa, halaman-halaman ini berisi hasil dari berjam-jam kerja keras. Beberapa waktu yang lalu, tesis ini telah diberi nilai cum laude, dan saya ingin menyerahkannya ke tangan Anda, beserta seluruh keberadaan dan semua milik saya, agar dapat berguna.”[9]

Guadalupe mengajar kimia di Institut Ramiro de Maeztu selama dua tahun akademik (1960–1962) dan di Sekolah Pelatihan Industri Wanita (Escuela Femenina de Maestría Industrial) selama sebelas tahun berikutnya (1964–1975). Ia memulai kariernya sebagai asisten dosen dan kemudian meraih posisi profesor penuh melalui ujian pegawai negeri sipil yang kompetitif. Ia diangkat menjadi wakil direktur sekolah tersebut, setelah menolak tawaran untuk menjadi direktur karena alasan kesehatan, meskipun ia mendapat dukungan dari 40 rekan sejawat yang mengakui jasa dan kepemimpinannya.

Sejak tahun 1965, ia membantu merencanakan apa yang tiga tahun kemudian akan menjadi Pusat Studi dan Penelitian Ilmu-Ilmu Domestik (Centro de Estudios e Investigación de Ciencias Domésticas, CEICID), sebuah cita-cita lama St. Josemaría untuk mengangkat martabat pekerjaan rumah tangga. Guadalupe menjabat sebagai wakil direktur dan dosen kimia tekstil. Ia mengelola semua ini sambil memimpin sebuah center Opus Dei di Jalan Ortega y Gasset, merawat ibunya yang sudah lanjut usia, mejadi penasihat inisiatif-inisiatif pendidikan seperti Senara, dan mendukung proyek-proyek pembangunan sosial lainnya.

Seperti kaleidoskop

Tahun-tahun terakhir kehidupan Guadalupe ditandai dengan keberanian dan kesederhanaan.

Pada tanggal 15 Mei 1974, Guadalupe bertemu untuk terakhir kalinya dengan St. Josemaría di Madrid, yang ia gambarkan sebagai berikut: “Saat itu adalah suatu percakapan yang intim, dialog mendalam dengan kata-kata dan adanya saling pengertian yang dalam, di mana sekali lagi saya merasa bahwa batas-batas antara apa yang Bapa ucapkan dan apa yang saya pikirkan mulai memudar. Dan saya merasa, seperti pada kesempatan-kesempatan lain juga, bahwa saya sedang menyentuh Tuhan melalui iman Bapa yang nyata; iman yang bukan lagi sekadar 'iman' melainkan sudah menjadi kenyataan, dan Bapa telah memberikannya kepada saya.”[10]

Pada bulan Oktober 1974, ibunya jatuh sakit dan dirawat di Klinik Universitas Navarra di Pamplona, tempat putranya, Eduardo, kakak laki-laki Guadalupe, adalah bagian dari tim medis. Tahun berikutnya, kondisi jantung kronis Guadalupe memburuk, dan pada tanggal 2 Juni 1975 Guadalupe juga dirawat di klinik yang sama untuk menjalani operasi yang kompleks untuk mengatasi hipertensi paru-paru yang berat.[11]

Pada tanggal 24 Juni, para dokter memutuskan untuk melaksanakan operasi yang sangat rumit itu. Katup mitral dan aortanya perlu diganti, dan cincin katup trikuspid harus diperlebar. Selama hari-hari itu, bahkan pada saat harus beristirahat, Guadalupe tetap menyempatkan diri untuk mengunjungi ibunya dan pasien-pasien lain, juga memperhatikan para perawat, menerima para pengunjungnya untuk membawa mereka dekat kepada Tuhan. Guadalupe bahkan melakukan eksperimen kimia kecil-kecilan di wastafel kamar mandi dengan menggunakan potongan-potongan kain yang dibawanya. Dapat dikatakan bahwa ia mengubah penyakitnya menjadi semacam misi profesional, menghadapinya dengan tenang, menolak mengeluh atau menjadi beban, selalu berfokus pada orang lain, dan memanfaatkan setiap momen sebaik-baiknya.[12]

Dua hari kemudian, pada tanggal 26 Juni, Guadalupe menerima kabar tentang wafatnya Santo Josemaría dengan duka yang mendalam. Duka, shock, dan kesedihan yang dirasakan orang-orang di sekitarnya begitu besar, tetapi mereka berusaha menyembunyikan emosi mereka agar tidak membuat Guadalupe bersedih dalam kondisi yang begitu rapuh. Ketika ia melihat bendera setengah tiang di gedung sains Universitas Navarra (Bapa Pendiri Opus Dei adalah Kanselir Agung Universita), Guadalupe menanyakan alasannya, tetapi tidak seorang pun berani memberitahunya. Kakaknya, Eduardo, yang dapat menyampaikan kabar itu: “Guadalupe, kamu tahu mereka akan melakukan operasi yang sangat serius, dan kamu menyadari risikonya. Penting bagimu untuk siap dan tenang. Tetapi sebelum itu, aku harus memberitahu sesuatu yang sangat sulit diterima: kemarin, Bapa Pendiri kita wafat di Roma (…). Ada dua hal yang mungkin terjadi: Kamu segera bergabung dengan Bapa Pendiri kita, dan melihatnya di samping Tuhan dan Bunda Maria; atau Bapa Pendiri kita mungkin akan memohon kepada Tuhan agar kamu tetap tinggal di sini. Kedua kemungkinan ini baik adanya.”[13]

Pada 1 Juli, Guadalupe menjalani operasi lagi, yang awalnya tampak berhasil. Beberapa hari kemudian, ia dapat meninggalkan unit perawatan intensif dan mulai bisa berjalan kembali. Pada 14 Juli, Guadalupe sarapan dan makan siang seperti biasa, dan mulai berbicara tentang saat bisa pulang dari rumah sakit. Namun, segalanya berubah secara tak terduga pada pukul 16.30 kondisi kesehatannya tiba-tiba memburuk. Eduardo segera dipanggil.

Meskipun menerima segala upaya dan perawatan yang baik, Guadalupe telah tiba di saat-saat akhir hidupnya. Namun, pada saat itu, ia tetap memberi perhatian pada orang-orang yang merawatnya. María Jesús, seorang perawat dari Unit Kardiologi, mengingat kata-kata yang diucapkan Guadalupe kepadanya di saat-saat kritis itu: “Lakukan apa pun yang perlu kau lakukan. Dan jangan khawatir. Tenanglah, karena engkau telah melakukan segala yang dapat kaulakukan. Aku akan mengingat engkau.”[14]

Pada pukul 06.30 tanggal 16 Juli, pada Hari Raya Bunda Maria Karmel, Guadalupe wafat. Seminggu kemudian, ibunya juga wafat. Gereja memberi gelar beata kepada Guadalupe di Madrid pada tanggal 18 Mei 2019, di Vistalegre Arena, dalam sebuah upacara beatifikasi yang dihadiri oleh ribuan orang dari lima benua, dan diikuti oleh lebih banyak lagi melalui siaran langsung.

***

Pembentukan sebuah kristal adalah hasil dari banyak proses kimia, sebuah berlian dibentuk selama jutaan tahun di bawah suhu dan tekanan yang tepat. Kehidupan Guadalupe adalah sebuah "proses kimia" yang dibentuk oleh banyak unsur kecil, yang tampaknya tak berharga, tetapi memperoleh kekuatan dan kecemerlangan dalam kehangatan kasih Tuhan.

Sebagaimana dicatat dalam salah satu biografinya, “Seperti sebuah kaleidoskop, dengan caranya masing-masing setiap orang kudus mencerminkan sesuatu dari Yesus Kristus, yang sama kemarin, hari ini dan selamanya. Dalam diri Guadalupe kita juga dapat melihat panggilan para wanita di Gereja masa kini dan dalam masyarakat. Inilah pesan Roh Kudus kepada kita hari ini. Setiap orang bebas untuk menentukan 'jalannya sendiri, [untuk] mengembangkan yang terbaik dari dirinya, mengembangkan karunia-karunia pribadi yang telah Allah tempatkan dalam hati mereka' (Paus Fransiskus, Gaudete et exsultate, no. 11).”[15]

Sebuah kristal membutuhkan sumber cahaya eksternal untuk memantulkan kecemerlangannya. Sepanjang hidupnya, Guadalupe menunjukkan keindahan hal-hal kecil yang mencerminkan kebesaran Tuhan dan membawa terang dalam kehidupan orang-orang yang mengenal dia.

[1] Lih. La libertad de amar, Cristina Abad Cadenas, pg. 10.

[2] La libertad de amar, pg.14

[3] AGP, Guadalupe Ortiz de Landázuri (GOL) A00361, Surat kepada St. Josemaría Escrivá, 17 Oktober 1949. Terjemahan bahasa Inggris dari Letters to a Saint, ed. María del Rincón dan María Teresa Escobar.

[4] AGP, GOL E00204, Kisah otobiografi dengan kenangan St. Josemaría Escrivá, ditulis antara 7 dan 12 Juli 1975, setelah operasi terakhirnya.

[5] Lih. La libertad de amar, pg. 25.

[6] Lih. La libertad de amar, pg. 31.

[7] AGP, GOL A00979, Surat ke Roma, 12 August 1958.

[8] Lih. La libertad de amar, pg. 32.

[9] AGP, GOL A00038, Surat kepada St. Josemaría Escrivá, 8 July 1965.

[10] AGP, GOL, Catatan otobiografi dengan kenangan St. Josemaría Escrivá, ditulis antara 7 dan 12 Juli 1975, setelah operasi terakhirnya.

[11] Cf. La libertad de amar, pg. 36.

[12] Cf. La libertad de amar, pg. 38.

[13] AGP, GOL, Catatan otobiografi dengan kenangan St. Josemaría Escrivá, ditulis antara 7 dan 12 Juli 1975, setelah operasi terakhirnya.

[14] Lih. La libertad de amar, pg. 39

[15] La libertad de amar, pg. 42.

Luísa Laval