Di Dalam Ruang Batin Hati Nurani Kita

Apakah peran dari suara hati atau hati nurani kita dalam kehidupan moral kita? Bagaimana hubungannya dengan Kebijaksanaan dan Cinta Ilahi? Sebuah artikel baru mengenai Kehidupan Kristiani.

“Pada kedalaman hati nurani kita, kita merasakan suatu hukum di mana kita tidak menerapkannya kepada diri sendiri, tetapi membuat kita menjadi taat. Selalu memerintahkan kita untuk mencintai yang baik dan menghindari yang jahat, suara dari hati nurani yang pada saat diperlukan akan berbicara kepada hati kita: lakukanlah ini, hindarilah itu.” [1] Perkataan pada Konsili Vatikan Kedua ini menegaskan pengalaman yang umum. Siapapun yang bisa menggunakan akal budi dapat merasakan suara interior yang mengatakan kepada kita bahwa sangatlah baik untuk menghormati orang tua atau untuk menjadi setia kepada orang lain, dan sangatlah buruk untuk mencuri atau untuk menfitnah. Itu juga memberitahukan kepada kita bahwa pengetahuan dasar mengenai apa yang baik dan buruk, di mana setiap orang menerapkannya pada situasi tertentu, bukan dicapai dengan melalui banyak pertimbangan, melainkan hal tersebut ditemukan di dalam hati kita. Dan kita memilikinya oleh karena kodrat kita, bukan sebagai suatu hal yang seluruhnya tergantung pada pendidikan dan kebudayaan. Hal tersebut adalah bukan sebuah pengetahuan mengenai apa yang benar secara sosial maupun politik dalam keadaan dan waktu tertentu, tetapi adalah mengenai prinsip yang tidak dapat di ubah tanpa bertentangan dengan cita – cita terdalam kita untuk menjadi bahagia.

Tidak sedikit orang telah menemukan Tuhan melalui jalan ini. Dengan merefleksikan pada realita dari suara hati moral, mereka telah menemukan “melalui akal budi mereka, Suara Tuhan yang mendorong mereka untuk melakukan apa yang baik dan menghindari apa yang buruk.” [2] Mereka telah menyadari bahwa kesadaran moral, dimana mereka bisa menilai bahwa melakukan suatu hal adalah baik dan di lain pihak melakukan hal lain adalah buruk, “adalah saksi dari Tuhan sendiri” [3], Sang Pencipta dan Allah yang menuntun tindakan bebas kita, menunjukkan kita kepada jalan yang benar yang membawa kita kepada kesempurnaan manusia dan kebahagiaan.

Akan tetapi, akan menjadi sangat sulit untuk menemukan Tuhan melalui suara hati kita apabila kita tidak memberikan perhatian pada penilaian yang seharusnya, dan lebih memilih untuk hidup secara dangkal, membiarkan diri kita sendiri dituntun oleh tingkah laku kita atau oleh kesombongan dengan tidak menerima kenyataan bahwa masih ada hal yang baik yang seharusnya dilakukan dan hal yang buruk seharusnya dihindari, menyatakan dirinya lebih tinggi dari apa yang baik dan yang buruk.

Sebaliknya mereka yang belum pernah menerima anugerah iman, tetapi mendengarkan dan menjalankan keputusan yang benar dari hati nurani mereka, dapat menemukan Tuhan di “dalam tempat kesucian” tersebut. Mereka menyingkirkan hal-hal yang menghalangi mereka untuk menyetujui Wahyu Ilahi yang supernatural, karena mereka akan lebih memahami bahwa hukum moral yang telah diungkapkan oleh Tuhan dalam sejarah, dan mencapai puncaknya pada Yesus Kristus, adalah sejalan dengan penilaian yang benar ini. Dan mereka akan melihat dengan cahaya yang baru yang mendorong mereka untuk mengikuti penilaian ini dengan langkah yang pasti.

Suara Tuhan di dalam hati nurani kita

Orang yang tidak percaya mungkin mencari keberadaan Tuhan dan menemukan-Nya di dalam kesadaran dari moral yang baik, suara hati yang memberitahukan kepada kita hal baik yang seharusnya kita lakukan dan menghindari hal yang buruk. [4] Kesadaran dari apa yang baik dan suara dari dalam yang memanggil kita untuk melakukannya, adalah sebuah tanda dari Kebenaran yang Tertinggi dan Kebaikan yang Tertinggi di mana setiap individu dapat menemukannya.

Foto: Daniel Joshua, Unsplash

Kita melihat realita ini terefleksikan di dalam percakapan Yesus dengan orang muda yang kaya. “Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh kehidupan yang kekal?” Jawab Yesus, “Mengapa engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.” [5] Tuhan kita membuatnya menjadi jelas mengenai pertanyaan tentang apa yang baik menjadi masuk di akal karena pada akhirnya ada Seseorang yang benar – benar Baik; Tuhan. Pertanyaan dari anak muda tersebut menyingkapkan “kebaikan yang sejati yang menarik perhatian kita dan mengisyaratkan kita; itu adalah gema dari panggilan Tuhan yang merupakan asal dan tujuan dari kehidupan manusia.” [6]

Di dalam hati tiap – tiap orang sebuah hukum yang menunjukkan apa yang baik dan meyakinkan orang itu untuk melakukannya

Seperti pemuda itu, setiap orang merasakan panggilan untuk menuju ke arah Kebaikan, dan mendapatkannya tertulis di dalam hati tiap – tiap orang sebuah hukum yang menunjukkan apa yang baik dan meyakinkan orang itu untuk melakukannya. Suara yang lembut tapi kuat yang mengatakan; taatilah perintah – perintah. Ini adalah perintah dari Sepuluh Perintah Allah, di mana Tuhan memilih untuk mengabarkannya karena dosa mengancam untuk mengaburkannya di dalam hati orang banyak, meskipun kita dapat menyadarinya dengan menemukannya di dalam hati. Siapapun yang dengan tulus mencari di dalam diri mereka sendiri dapat melihat perintah universal ini – dipahat oleh Tuhan pada loh batu untuk Musa – juga terpahat di dalam hati kita, [7] sehingga kita dapat menerapkannya dalam situasi tertentu melalui pertimbangan dari hati nurani.

Perintah – perintah ini yang disadari setiap orang bukanlah datang dari kita. Tidak ada seorang manusia pun yang menciptakannya; setiap dari kita telah menerima mereka sebagai partisipasi di dalam harta karun Kebijaksanaan yang tak terbatas dan Kebaikan yang datangnya dari atas kita. “Kebenaran tinggal di dalam diri manusia,” kata Santo Agustinus. Dan dia melanjutkan: “apabila kamu menemukan sifatmu bisa berubah, lampauilah dirimu, pergilah ke arah sumber akal budi sendiri menerima terangnya.” [8]

“Hanya Tuhan yang dapat menjawab pertanyaan tentang kebaikan, karena Dia-lah Sang Kebaikan. Tetapi Tuhan telah memberikan jawaban atas pertanyaan ini. Dia melakukannya dengan menciptakan manusia dan memerintahkannya dengan kebijaksanaan dan kasih sampai pada akhir hidupnya, melalui hukum yang mana tertulis di dalam hatinya, yaitu ‘hukum kodrat”. [9] Hukum ini, di mana setiap orang dapat menemukannya di dalam hati dan di mana hati nurani di terapkan pada situasi tertentu, mengarahkan kita kepada Tuhan. Ini adalah pengarahaan pertama dari tindakan bebas kita sampai pada akhirannya, [10] sebelum keputusan apapun yang kita buat.

Itu adalah hukum yang di berikan kepada kita sebagai bentuk partisipasi dalam Kebijaksanaan Ilahi. Kitab Mazmur yang keempat mengekspresikannya dengan menanyakan sebuah pertanyaan: Banyak orang berkata: Siapa yang akan memperlihatkan yang baik kepada kita? Dan Pemazmur menjawab: Biarlah cahaya wajah-Mu menyinari kami, ya Tuhan! Tuhan telah menanamkanya di dalam pikiran kita. Dengan demikian kita bisa melihat, Santo Thomas mengatakan, “bahwa terang akal budi alami, di mana kita dapat membedakan apa yang baik dan apa yang jahat, yang merupakan fungsi dari hukum kodrat, tidak lain adalah yang tertanam pada kita dari terang Ilahi.” [11] Sangatlah mungkin untuk menyangkal pondasi dari hukum alam yang sukar untuk di pahami, untuk menyatakan bahwa kesadaran adalah norma moralitas yang sepenuhnya otonom, seperti juga kemungkinan untuk menyangkal Kebijaksanaan Tuhan dan Kebaikan-Nya, dan Keberadaan-Nya. Tetapi tidak dengan mengatasnamakan akal budi: juga bukan sebagai hasil dari pemikiran akal budi, tetapi sebagai sebuah keputusan kehendak yang sewenang – wenang.

Kendatipun demikian, tidaklah sulit untuk meramalkan konsekuensi dari otonomi absolut dalam memutuskan apa yang benar dan apa yang salah, menuntun kepada “sebuah penyimpangan yang serius dalam masyarkat. Apabila promosi dari diri sendiri di pahami sebagai otonomi absolut, maka tidak dapat dihindari bahwa setiap individu akan saling menolak satu dengan yang lainnya. Semua orang akan di anggap sebagai lawan di mana seseorang harus membela dirinya sendiri dari orang tersebut. Dengan demikian masyarakat menjadi sebuah kumpulan dari individu yang di tempatkan hidup saling bersampingan, tetapi tanpa adanya hubungan timbal – balik. Setiap orang mengharapkan untuk menyatakan dirinya sendiri secara bebas dari orang lain dan faktanya bertujuan untuk mendahulukan kepentingannya sendiri terlebih dahulu. Tetapi, di hadapan banyak orang kepentingan yang sejalan, semacam kompromi harus ditemukan, apabila seseorang menginginkan sebuah tatanan masyarakat di mana kebebasan secara maksimum terjamin kepada setiap individual. Dengan cara seperti ini, referensi apapun untuk nilai secara umum dan untuk sebuah kebenaran yang benar – benar mengikat semua orang akan hilang. Dan kehidupan sosial mengambil resiko pada pasir yang bergeser pada relativisme yang sempurna. Pada saat itu segala hal bisa di negosiasi, semuanya terbuka untuk tawar – menawar. Bahkan hak fundamental yang pertama, hak untuk hidup. [12]

Ini adalah hasil dari perpecahan antara suara hati dan Tuhan, antara hukum kodrat di mana kesadaran diterapkan dan Kebijaksanaan Ilahi yang telah menempatkan hukum ini di dalam diri kita sebagai sinar terang-Nya. Konsekuensi ini seringkali cukup menyakitkan, membuat semakin jelas bahwa kesadaran tidak dapat memerintahkan apa yang berlawanan dengan hukum moral yang ada di atasnya, dan tidak ada seorangpun dapat membenarkan sebuah tindakan yang berlawanan dengan hukum moral hanya dengan mengatakan bahwa dia bertindak dalam kesadaran atau sebuah impersonal “kesadaran manusia” membutuhkan itu, itu adalah, sebuah opini dari mayoritas pada waktu dan tempat tetentu. Ini adalah sebuah kebijaksanaan yang mudah bahwa beberapa orang meminta untuk pembenaran akan sudut pandang mereka sendiri di mana merugikan banyak orang, kadangkala bahkan menggantikan hukum moral dengan pendapat dari suara yang paling terbanyak.

Foto: Japheth Mast - Unsplash

Siapapun yang merefleksikan pada konsekuensi ini dapat memahami bahwa otoritas dari kesadaran untuk mengarahkan tindakan setiap orang bukan datang dari kesadaran itu sendiri tetapi dari fakta bahwa hukum moral yang di terapkan ditemukan tertulis di dalam hati, dan bahwa hukum ini berasal dari Tuhan. Jauh dari menjadi sumber otonom dari hukum moral, “suara hati adalah bagaikan pewarta dan utusan dari Tuhan; suara hati tidak memerintahkan apa yang dikatakannya oleh dirinya sendiri tetapi karena itu datangnya dari Tuhan.” [13] Suara hati adalah demikian, seperti itu apa adanya, “Keputusan Tuhan bertakhta di dalam hati manusia,” [14] tempat yang suci di mana Tuhan berbicara kepada manusia.” [15] Bahkan dapat di katakan bahwa dia yang mendengarkan suara hati-nya, dapat mendengarkan Tuhan berbicara.” [16] Singkatnya, Tuhan adalah “satu – satunya sumber yang pasti dari tatanan moral di dalam dunia yang di ciptakan oleh-Nya. Manusia tidak dapat menentukan keputusan dengan sendirinya apa yang baik dan apa yang buruk…..Untuk manusia, yang di ciptakan sesuai gambaran-Nya, Roh Kudus memberikan berkat hati nurani, karena di dalam hati nurani inilah gambaran-Nya dapat merefleksikan kepada teladan-Nya, di mana keduanya adalah Kebijaksanaan dan hukum yang Kekal, sumber dari tatanan moral di dalam manusia dan dunia.” [17]

Kerinduan kepada Tuhan

Banyak orang perlu untuk dibantu untuk mendengarkan suara hati yang benar yang menunjukkan kepada kebaikan dan mendorong kita untuk melakukannya, dan tidak dibingungkan oleh suara dari keegoisan atau suara dari perubahan pikiran yang tiba – tiba. Mereka perlu untuk menyadari didalam ini, terang yang lebih tinggi dari hukum moral, sebuah refleksi dari, dan partisipasi dari Kebijaksanaan Ilahi oleh pikiran manusia. Melalui hukum yang tertulis di dalam hatinya, manusia dapat mengetahui bahwa ada Seseorang – Tuhan Allah Pencipta kita – yang sudah mengatur segala sesuatu dengan kebijaksanaan dan kebaikan; Legislator yang Tertinggi, pengarang dari norma moral yang memberitahukan kepada manusia jalan dari tingkah laku yang selaras dengan harga diri manusia, seorang Hakim yang Adil yang akan mengganjar setiap orang sesuai dengan perbuatannya.

Tetapi seringkali sangatlah tidak mudah untuk mendengar dan mengikuti suara dari hati yang benar, sama seperti perkataan Santo Rasul Paulus: Sebab di dalam batinku bersukacita akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota – anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota – anggota tubuhku. [18] Oleh sebab itu sangatlah penting bagi setiap orang untuk berjuang melawan kecenderungan sifat jahat mereka. Beban berat dari dosa; sebuah peperangan di mana “Surga menarikmu ke atas; tetapi kita menarik diri kita sendiri ke bawah. Jangan mencari alasan!” [19] Setiap orang yang siap untuk bergumul dapat mendengarkan suara Tuhan dengan semakin jelas dan merasakan kehadiran-Nya; tetapi siapapun yang menyerah kepada musuh mendengarNya dengan samar – samar, meskipun suara Tuhan tidak akan pernah hilang. “Tidak ada kegelapan dari kesalahan atau dosa yang bisa dengan sepenuhnya menghilangkan terang yang datangnya dari Tuhan Sang Pencipta.” [20] “Tidak ada hati manusia, betapapun dalamnya tenggelam di dalam dosa, yang tidak menyembunyikannya, bagaikan bara di antara abu, sebuah sinar kerlap – kerlip dari keluhuran budi.” [21]

Setiap hati manusia selalu memiliki kerinduan kepada Tuhan yang seringkali tidaklah terlihat jelas tetapi tersembunyi di belakang keinginan dari kebenaran dan kebaikan, untuk keadilan dan cinta kasih, jugalah di temukan di dalam banyak orang yang tidak percaya akan Tuhan. Tanpa menyadarinya, mereka menunggu seseorang untuk mengabarkan kepadanya tentang Kebaikan, tentang Keadilan, tentang Cinta kasih – tentang Tuhan – dan menjelaskan kepada mereka dengan jelas bahwa untuk menemukan Dia membutuhkan perubahan: bertobatlah dan percayalah kepada Injil, [22] kata Kristus.

Foto: Hannah Busing - Unsplash

Dengan demikian mereka akan memahami bahwa Tuhanlah yang menanamkanya di dalam hati mereka keinginan akan kebenaran dan kebaikan, pertama – tama supaya mereka dapat mengetahui dan mencintai-Nya, dan supaya mereka juga dapat berbuah dengan perbuatan dalam pelayanan mereka kepada orang lain. Saatnya telah tiba bagi kamu untuk bangun, [23] teguran dari Kitab Suci. Tuhan memanggil kita untuk melakukan hal yang baik dengan perbuatan, untuk membangun keadilan dan damai. Untuk mengilhami segalanya dengan kasih. Tidak hanya dari kasih yang datang dari kekuatan kita yang lemah, tetapi dengan pemberian yang mulia tak terbatas: kasih Allah telah di curahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah di karuniakan kepada kita. [24]

Pertemuan dengan Tuhan di dalam tempat yang suci dari hati nurani, perubahan pribadi dengan pemberian dari rahmat, seharusnya menuntun kita kepada kehidupan yang baru sebagai anak – anak Tuhan yang mencari percakapan yang intim dengan Tiga Kepribadian yang Ilahi yang hadir di dalam jiwa – untuk mengkontemplasikan hidup di tengah – tengah kehidupan sehari – hari yang mempengaruhi secara mendalam cara kita untuk hidup, karena akan mengarahkan untuk memenuhi mereka sebaik mungkin, melakukan nilai – nilai kristiani karena cinta.

Jalan yang di mulai dengan mendengarkan Tuhan di dalam suara hati dengan demikian dapat ditingkatkan dan menuntun kepada hubungan persahabatan yang intim dengan Tuhan. Kita menjadi lebih sensitif untuk mendengarkan suara Tuhan di dalam jiwa kita: “Dia menyarankan keinginan-Nya di dalam sebuah bisikan, di dalam hati nurani kita; dan kita harus mendengarkan dengan hati – hati untuk mengenali suara-Nya dan menjadi taat.” [25] Kita selalu harus memelihara sikap yang mendengarkan dengan penuh perhatian kepada suara hati kita yang menuntun kita kepada Dia. “Kembali kepada suara hatimu, memikirkannya……Kembali kepada dunia batin dan dalam semua yang kamu kerjakan, lihatlah kepada Sang Saksi, lihatlah kepada Tuhan. [26]

Santo Josemaria, seorang guru yang luar biasa dalam bidang berkontemplasi di dalam kehidupan sehari – hari, mendorong kita untuk memelihara rekoleksi interior, sebuah keheningan dalam yang mengingatkan kita hanya kepada satu hal yang dibutuhkan, [27] kesucian pribadi. Menjadi menyebar di dalam kegiatan yang terus – menerus, menunda pertemuan kita dengan Tuhan, mengaburkan jiwa dengan cinta pada diri sendiri, dan bahkan jujur dan aktivitas yang baik dapat menghilangkan arti yang sesungguhnya. “Carilah Tuhan di kedalamanmu hatimu yang murni dan bersih; di kedalaman jiwamu pada saat kamu setia kepada-Nya, dan jangan pernah hilangkan hubungan yang intim itu! Dan pada saat kamu tidak tahu bagaimana caranya berbicara dengan Dia atau apa yang harus di katakan, atau kamu tidak berani untuk mencari Yesus di dalam dirimu sendiri, berpalinglah kepada Maria, tota pulchra, yang termurni dan yang terindah, dan katakan padanya: Bunda dan Ibu kami, Tuhan menghendaki engkau untuk menjadi orang yang menjaga Tuhan dan merawat-Nya dengan tanganmu sendiri. Ajarilah aku, ajarilah kami semua, bagimana untuk menyenangkan anak-Mu.” [28]

Maria akan mengajarkan kita “untuk mengenali panggilan konstan dari Tuhan pada pintu dari hati kita,” [29] dan akan membantu kita untuk membangunkan mereka yang ada di sekeliling kita, supaya mereka dapat menemukan suara Tuhan dan menerima Dia di dalam jiwa mereka. “Marilah kita memohon kepadanya sekarang: Bunda kami, engkau membawa Yesus ke dunia, yang mewartakan kasih dari Allah Bapa. Bantulah kami untuk mengenaliNya di tengah kehidupan sehari – hari. Dorongkanlah pikiran dan kehendak kami sehingga kami dapat mendengar suara dari Tuhan, kepada panggilan rahmat. [30]


[1] Vatican Council II, Past. Const. Gaudium et spes, 16.

[2] Catechism of the Catholic Church, 1706.

[3] Saint John Paul II, Enc. Veritatis splendor, 6 August 1993, 58.

[4] Catechism of the Catholic Church, 33.

[5] Mat 19:16-17.

[6] Saint John Paul II, Enc. Veritatis splendor, 6 August 1993, 7.

[7] Bdk. Ex 32:15-16; 2 Cor 3:3.

[8] Saint Augustine, De vera religione, 39, 72.

[9] Saint John Paul II, Enc. Veritatis splendor, 6 August 1993, 12. Cf. Rom 2:15.

[10] Bdk. Saint Thomas, S. Th., I-II, q. 91, a. 2, ad 2.

[11] Ibid., a. 2, c.

[12] Saint John Paul II, Enc. Evangelium vitae, 25 March 1995, 20.

[13] Saint Bonaventure, In III Sent., d. 39, a. 1, q. 3, c.

[14] Saint Augustine, Enarrationes in Psalmos,45.

[15] Saint John Paul II, Enc. Veritatis splendor, 6 August 1993, 58.

[16] Catechism of the Catholic Church, 1777.

[17] Saint John Paul II, Enc. Dominum et vivificantem, 18-V-1986, 36.

[18] Rom 7:22-24.

[19] Saint Josemaria, Furrow, 851.

[20] Saint John Paul II, Enc. Veritatis splendor, 6 August 1993, 1.

[21] Saint Josemaria, Friends of God, 74.

[22] Mrk 1:5.

[23] Rom 13:11.

[24] Rom 5:5.

[25] Saint Josemaria, Christ is Passing By, 17.

[26] Saint Augustine, In epistulam Iohannis ad Parthos tractatus, 8, 9.

[27] Luk 10:41.

[28] Saint Josemaria, The Forge, 84.

[29] Christ is Passing By, 174.

[30] Ibid.