Surat Pastoral Bapa Prelat (Januari 2018)

Surat Pastoral dari Bapa Prelat Opus Dei

Anak-anakku yang terkasih: semoga Yesus menjaga putra-putriku!

1. Menindaklanjuti kesimpulan dari Kongres Umum (General Congress Januari 2017), beberapa bulan terakhir ini saya sering mengacu pada arti kebebasan manusia. Dan sekarang, mengikuti jejak Santo Josemaria (yang sangat mencintai kebebasan), saya ingin membahas beberapa aspek dari anugerah Tuhan yang besar ini. "Saya tidak pernah lelah mengulangi, putra-putriku," Santo Josemaria berkata, "bahwa salah satu karakteristik yang khas dari semangat Opus Dei adalah cinta akan kebebasan dan semangat untuk memahami orang lain." [1] Dengan membaca ulang dan merenungkan kata-kata Santo Josemaria ini, mari kita bersyukur kepada Tuhan, dan mari kita masing-masing memeriksa diri bagaimana kita dapat dengan lebih baik mewujudkan kata-kata ini dalam hidup kita dengan bantuan rahmat Tuhan. Dengan demikian kita juga akan lebih siap untuk membantu banyak orang mencapai kebebasan yang agung dari anak-anak Allah ( Rm. 8:21).

Hasrat yang besar untuk memperoleh kebebasan, tuntutan untuk memiliki kebebasan dari orang-orang maupun bangsa-bangsa, adalah tanda positif dari zaman kita. Mengakui kebebasan setiap wanita dan pria berarti mengakui bahwa mereka adalah pribadi-pribadi: Yakni yang menguasai dan yang bertanggung jawab atas tindakan mereka, dan yang dapat mengarahkan kehidupan mereka sendiri. Meskipun kebebasan itu sendiri tidak menjamin bahwa setiap orang dapat sepenuhnya berkembang untuk mencapai yang terbaik bagi dirinya, tidaklah berlebihan menyatakan di sini betapa pentingnya kebebasan pribadi, karena jika kita tidak bebas kita tidak akan mampu mencintai.

Tapi sayangnya, di banyak kalangan ada ketidaktahuan yang besar tentang apa sebenarnya arti kebebasan itu. Seringkali kebebasan semu tanpa batas lah yang diinginkan, seolah-olah itulah tujuan akhir dari segala progres. Dan sungguh menyedihkan, bahwa tidak jarang klaim seperti ini disertai oleh berbagai bentuk penindasan dan kebebasan palsu, yang kenyataannya hanyalah rantai yang memperbudak. Bentuk kebebasan seperti ini, cepat atau lambat, akan mengungkapkan kekosongannya. "Ada orang yang berpikir bahwa mereka bebas jika mereka bisa menghindari Tuhan," tulis Bapa Paus Fransiskus. "Mereka gagal memahami bahwa dengan demikian secara eksistensial mereka sebenarnya menjadi yatim piatu, tanpa keluarga dan tak berdaya. Mereka bukan lagi peziarah. Mereka menjadi orang gelandangan. " [2]

Panggilan menuju kebebasan

2. Kami telah dipanggil untuk bebas ( Gal 5:13). Penciptaan itu sendiri merupakan wujud dari kebebasan ilahi. Kitab Kejadian menunjukkan, secara sekilas, cinta kreatif Allah, sukacita Allah dalam berbagi kebaikan-Nya dan keindahan-Nya dengan dunia (lih. Kej 1:31), dan berbagi kebebasan-Nya dengan manusia, (lih.Kej 1: 26-29).Dengan memberi kita eksistensi, Tuhan telah memberi kita kemampuan untuk memilih dan menghendaki yang baik, dan untuk merespon Cinta-Nya dengan cinta. Meskipun demikian, keterbatasan kita sebagai makhluk ciptaan memungkinkan kita untuk memisahkan diri dari Tuhan. "Ini adalah misteri Kebijaksanaan ilahi yang, pada saat menciptakan manusia sebagai gambar dan citra-Nya (lih. Kej 1: 26-29), Tuhan berkenan mengambil 'risiko' dari kebebasan manusia. " [3]

Faktanya, pada awal sejarah manusia, risiko ini telah menyebabkan adanya penolakan terhadap Kasih Allah dengan adanya dosa asal. Dengan demikian kebebasan manusia yang seharusnya cenderung pada yang baik menjadi lemah, dan kehendak manusia pun lebih cenderung pada dosa. Setelah itu, dosa-dosa pribadi membuat kebebasannya menjadi lebih lemah lagi. Oleh karena itu, berbuat dosaadalah suatu corak dari perbudakan (lih. Roma 6:17, 20). Meskipun demikian, "manusia tetap bebas." [4] . Walaupun "kebebasan manusia itu rapuh," [5] , kebebasan adalah hal yang esensial dari setiap orang dan perlu dibela dan dilindungi. Pertama-tama Tuhan sendiri berkenan menghormati dan mencintai kebebasan manusia, karena Tuhan "tidak menginginkan budak-budak, tetapi anak-anak." [6]

3. Tetapi di mana dosa bertambah banyak, di sana rahmat Tuhan menjadi berlimpah-limpah

( Rm 5:20). Rahmat Tuhan membawa kebebasan yang baru dan lebih tinggi nilainya, Kristus telah membebaskan kita ( Gal . 5: 1).Tuhan membebaskan kita dari dosa melalui sabda-Nya dan melalui tindakan-Nya, yang semuanya adalah karya penebusan. Oleh karena itu "himne pada kebebasan ini bergema di seluruh misteri iman Katolik." [7] Saya sering mengingatkan Anda untuk menempatkan Kristus sebagai pusat hidup kita. Untuk menemukan makna kebebasan yang paling dalam, kita harus merenungkan hidup Yesus. Kita akan takjub akan Kebebasan Ilahi, yang karena cinta-Nya yang murni, memutuskan untuk merendahkan diri dan menjelma menjadi daging seperti kita manusia. Kita melihat kebebasan ini terungkap di semua langkah-Nya di bumi menuju Kurban Salib. Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali. Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. ( Yoh 10: 17-18). Sepanjang sejarah manusia tidak pernah ada tindakan yang lebih bebas dari pada penyerahan diri Tuhan di kayu Salib. "Dia menyerahkan dirinya sampai mati dengan penuh kebebasan Cinta." [8]

Injil Santo Yohanes menceritakan sebuah dialog Tuhan Yesus dengan orang-orang yang percaya kepadanya. Sabda Tuhan Yesus dan janji-Nya bergema: Veritas liberabit vos, kebenaran akan membebaskan kamu ( Yoh 8:32)."Betapa besarnya kebenaran ini," Santo Josemaria menulis, "kebenaran yang membuka jalan menuju kebebasan dan memberi makna untuk seluruh hidup kita. Saya akan merangkumkan untuk kalian, dengan sukacita dan dengan keyakinan karena mengetahui bahwa ada hubungan erat antara Allah dan makhluk-Nya: Bahwa kita berasal dari tangan Tuhan, bahwa Tritunggal Mahakudus memandang kita dengan cinta kasih, bahwa kita adalah anak-anak dari seorang Bapa yang begitu baik. Saya berdoa agar Tuhan membantu kita untuk menerima kebenaran ini dengan segenap hati, untuk mengingatnya hari demi hari; hanya dengan demikian, kita akan bertindak sebagai mahkluk yang bebas.

4. Keputraan ilahi memungkinkan kebebasan kita berkembang dengan segenap kekuatan yang Tuhan berikan didalamnya. Bukan dengan meninggalkan rumah Allah Bapa kita akan menjadi bebas, melainkan dengan menerima kenyataan bahwa kita adalah putra-putri Allah. "Siapa pun yang tidak menyadari bahwa dia adalah putra Tuhan tidak akan menyadari kebenaran yang paling mendalam tentang dirinya sendiri." [10] Orang seperti itu tidak menyadari siapa dia dan akan hidup dalam konflik dengan dirinya sendiri. Betapa bebasnya kita, bila kita menyadari bahwa Tuhan mengasihi kita. Betapa bebas rasanya menerima pengampunan Allah yang memungkinkan kita menemukan jati diri kita dan kembali ke rumah kita yang sejati (lih. Lk 15: 17-24).Dan bila kita memaafkan orang lain, kita juga akan mengalami pembebasan ini.

Iman kita akan cinta Allah pada kita masing-masing (lih. 1 Yoh 4:16) akan membawa kita untuk merespons dengan cinta juga. Kita dapat mengasihi-Nya, karena Dia mengasihi kita terlebih dahulu (lih. Yoh 13:34-35). Diri kita akan dipenuhi oleh kepastian dengan mengetahui bahwa Cinta Tuhan yang tak terhingga sungguh ada, tidak hanya pada awal mula keberadaan kita, tetapi juga di setiap saat dalam hidup kita. Karena Tuhan lebih dekat dengan kita daripada kita sendiri dengan diri kita. [11] Dengan menyadari bahwa Tuhan menantikan kita dalam pribadi setiap orang (lih. Mt 25:40), dan bahwa Dia hendak hadir dalam kehidupan setiap orang juga melalui kita, kita harus berusaha berbagi dengan orang lain apa yang telah kita terima. Dan dalam hidup kita, putra-putriku, kita telah dan terus menerima cinta kasih-Nya. Membalas cinta Tuhan dan menyampaikannya kepada orang lain adalah tindakan dari kebebasan yang sesungguhnya. Cinta akan memenuhi kebebasan manusia, cinta menebus kebebasan itu. Cinta memungkinkan kebebasan manusia menemukan asal dan tujuannya dalam cinta kasih Allah. Kebebasan menemukan arti yang sebenarnya bila digunakan demi kebenaran yang menyelamatkan, bila digunakan untuk mencari cinta kasih Allah yang tiada batasnya, Cinta Allah yang membebaskan kita dari segala bentuk perbudakan.

Keputraan ilahi akan membawa kita pada kebebasan internal yang agung, membawa kita pada sukacita yang dalam dan optimisme yang tenang penuh pengharapan : spe gaudentes ( Rom 12:12). Menyadari bahwa kita adalah anak-anak Tuhan juga akan membuat kita mencintai dunia yang baik adanya sebab berasal dari tangan Allah Bapa. Hal ini juga akan membawa kita untuk menghadapi hidup dengan kesadaran penuh akan adanya kemungkinan untuk berbuat baik, menaklukkan dosa, dan membawa dunia kembali kepada Tuhan. Seperti apa yang dikatakan Bapa Paus Fransiskus pada saat merenungkan hidup Bunda kita: "Dari Bunda Maria, penuh rahmat, kita belajar bahwa kebebasan Kristiani bukan sekadar pembebasan dari dosa. Melainkan kebebasan yang membuat kita melihat kenyataan duniawi dalam terang spiritual yang baru. Yakni kebebasan untuk mencintai Tuhan dan sesama dengan hati yang murni, dan untuk hidup penuh dengan pengharapan dan sukacita akan kedatangan Kerajaan Kristus. " [13]

Kebebasan jiwa (Freedom of Spirit)

5. Bertindak dengan bebas, tanpa paksaan apapun, adalah sifat dari martabat manusia dan lebih-lebih martabat putra-putri Allah. Pada saat yang sama, kita perlu "memperkuat cinta pada kebebasan yang tidak semena-mena, kebebasan yang manusiawi karena berdasarkan pada kebaikan": Kebebasan yang telah didamaikan dengan Tuhan. [14]

Oleh karena itu saya ingin merenungkan sejenak pentingnya artikebebasan jiwa.Saya tidak mengacu pada makna ambigu yang kadang-kadang diberikan pada ungkapan ini, sebagai kemampuan untuk bertindak menurut kemauan sendiri tanpa batas apapun dari hukum. Kenyataannya, kebebasan setiap orang dibatasi secara material oleh tuntutan-tuntutan kodrat manusia dan komitmen-komitmen yang telah dibuat (komitmen keluarga, profesional, komitmen sebagai warga negara, dll.) Meskipun demikian, kita dapat bertindak dengan bebas dalam segala hal, jika kita melakukannya demi cinta: " Dilige et quod vis fac : Kasihilah dan lakukan apa yang kaukehendaki." [15] Kebebasan jiwa yang sejati adalah kemampuan dan kebiasaan untuk selalu bertindak demi cinta, terutama dalam upaya memenuhi kehendak Tuhan bagi kita dalam setiap situasi.

Apakah engkau mengasihi aku? (Yoh 21: 17). Hidup Kristiani adalah respon yang bebas pada pertanyaan Tuhan ini, respon yang dipenuhi dengan inisiatif dan kesiagaan. Oleh karena itu "sama sekali tidak benar jika orang menyatakan bahwa kebebasan bertentangan dengan penyerahan diri, karena penyerahan diri itu adalah konsekuensi dari kebebasan. Apabila seorang ibu mengurbankan diri demi anak-anaknya, ia telah membuat suatu pilihan, dan semakin besar cintanya, semakin besar juga kebebasannya. Jika besar cintanya, maka kebebasannya akan menghasilkan banyak buah. Kebaikan anak-anaknya berasal dari kebebasan sang ibu, yang menandai adanya penyerahan dirinya. Dan berasal dari penyerahan diri sang ibu yang tidak lain adalah kebebasannya.

Dalam konteks ini kita dapat mengerti bahwa mendukung kebebasan setiap orang bukan berarti mengurangi adanya tuntutan-tuntutan (hidup). Semakin kita bebas, semakin besar pula cinta kita, dan ada banyak tuntutan dari cinta kasih: Kasih menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu ( 1 Kor 13: 7). Dan, tumbuh dalam cinta kasih berarti tumbuh dalam kebebasan, berkembang menjadi lebih bebas. Seperti yang ditulis oleh Santo Thomas Aquinas: " Quanto aliquis plus habet de caritate, plus habet de libertate " [17] Semakin intens cinta kita, semakin kita bebas. Kita juga bertindak dengan kebebasan jiwa pada saat-saat kita merasa tidak ingin melakukan sesuatu atau merasa sangat sulit untuk melakukan sesuatu, dan kita justru melakukannya demi cinta. Artinya, kita melakukannya bukan karena kita suka, tetapi karena kita menghendakinya. "Kita semua harus menyadari bahwa kita adalah anak-anak Allah, dan berusaha untuk memenuhi kehendak Bapa kita. Kita harus melakukan segalanya menurut kehendak Tuhan, karena kita menghendakinya, karena kita mau. Dan inilah alasan yang paling adikodrati. " [18]

6. Sukacita juga merupakan suatu tanda dari kebebasan jiwa . "Dalam hal manusiawi," Santo Josemaria berkata, "Saya ingin meninggalkan sebagai warisan untuk Anda, kebebasan dan selera humor yang baik." [19] Kedua hal ini tampaknya sangat berbeda, namun sebenarnya berkaitan erat, karena sadar bahwa kita bebas untuk mencintai, jiwa kita dipenuhi dengan sukacita, dan bersama itu, selera humor yang baik. Pandangan kita tentang dunia menjadi semakin dalam , melampaui apa yang dapat dijangkau oleh kodrat (manusia) dan kita pun belajar memahami sisi positif- yang kadang-kadang menghibur hati juga- dari segala hal dan situasi. Seperti kata Bapa Paus Fransiskus, Tuhan "adalah sang pengarang dari sukacita, sang Pencipta dari sukacita. Dan sukacita dalam Roh Kudus ini membawa kebebasan Kristiani yang sejati kepada kita. Tanpa sukacita kita, umat Kristiani, tidak bisa bebas, dan kita menjadi budak dari kesedihan kita. " [20]

Sukacita ini harus meresapi seluruh hidup kita. Tuhan ingin kita bahagia. Ketika bersabda kepada para Rasul, Yesus juga bersabda kepada kita: Supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh! ( Yoh. 15:11).Oleh karena itu kita dapat melakukan dengan sukacita bahkan tugas-tugas yang mungkin tidak menyenangkan bagi kita. Seperti kata Santo Josemaria, "kita seharusnya tidak boleh berpikir bahwa satu-satunya pekerjaan yang bisa kita lakukan dengan sukacita adalah pekerjaan yang menyenangkan bagi kita." [21] Kita dapat melakukan dengan sukacita —dan tidak dengan rasa enggan—apa yang sulit bagi kita, apa yang tidak menyenangkan hati kita, bila kita melakukannya demi dan dengan cinta, dan oleh karena itu kita lakukan secara bebas. Ketika Santo Josemaria berdoa dengan suara nyaring, pada tanggal 28 April 1963, beliau berbicara tentang terang yang Tuhan curahkan kepadanya beberapa tahun sebelum tahun 1931: "Engkau telah membuat aku mengerti, ya Tuhan, bahwa menemukan Salib adalah menemukan kebahagiaan, sukacita. Dan alasannya, yang sekarang saya lihat dengan lebih jelas dari sebelumnya, adalah: Menemukan Salib berarti bersekutu dengan Kristus, menjadi Kristus, dan oleh karena itu menjadi anak Allah. " [22]

7. Seluruh hukum ilahi, dan segala sesuatu yang merupakan kehendak Tuhan bagi setiap orang, bukanlah suatu hukum yang membatasi kebebasan. Melainkan itu adalah lex perfecta libertatis (lih. Yak 1:25), hukum kebebasan yang sempurna. Demikian juga Kitab Injil, karena semuanya disimpulkan dalam hukum kasih dan tidak hanya sebagai peraturan eksterior yang memerintahkan cinta, tetapi juga sebagai rahmat interior yang memberi kita kekuatan untuk mencintai. " Pondus meum amor meus ": Cintaku adalah berat badanku, kata Santo Agustinus, mengacu tidak hanya pada fakta yang jelas bahwa kadang-kadang sulit bagi kita untuk mencintai, tetapi juga pada kenyataan bahwa cinta dalam hati kita lah yang mendorong kita, dan yang membawa kita kemana-mana [23] " Eo feror, quocumque feror ": Ke mana pun aku pergi, cinta membawa aku. [24] Kita masing-masing dapat merenungkan: cinta manakah yang menggerakkan kita kemana-mana?

Siapa pun yang membiarkan cinta kasih Tuhan menguasai hatinya, akan merasakan sendiri betapa benarnya hal ini: "Kebebasan tidak bertentangan dengan penyerahan diri. Kedua hal itu saling mendukung. Kebebasan hanya dapat dikurban demi cinta; tidak ada alasan lain untuk mengurbankan kebebasan. Dan saya tidak hanya bermain dengan kata-kata atau frasa. Bila orang memberikan diri dengan bebas, pada setiap saat dari penyerahan diri, kebebasan akan memperbaharui cintanya, dan pembaharuan seperti itu akan membuat orang awet muda, murah hati, bercita-cita tinggi dan mampu banyak berkurban" [25] Oleh karena itu, taat pada Tuhan tidak hanya suatu tindakan bebas, tetapi juga suatu tindakan yang membebaskan dan melepaskan (dari segala ikatan)

“Pada-Ku ada makanan yang tidak kamu kenal”, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya. "Makanan-Ku adalah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku, dan untuk menyelesaikan pekerjaan-Nya" ( Yoh 4: 32-34). Bagi Yesus, menaati Allah Bapa adalah sesuatu yang menopang dirinya: Yang memberinya kekuatan. Dan begitulah seharusnya bagi kita juga. Menjadi murid Yesus, Santo Yohanes Paulus II berkata, berarti "berpegang teguh pada pribadi Yesus, mengambil bagian dalam hidupnya dan takdirnya, berbagi dalam ketaatannya yang bebas dan penuh kasih pada kehendak Bapa." [26]

Benediktus XVI mengungkapkan secara lebih mendalam hubungan erat antara kebebasan dan penyerahan diri ini: "Justru dalam ketaatan kepada Bapa, Yesus mencapai kebebasan-Nya sebagai keputusan yang penuh tanggung jawab dan termotivasi oleh cinta. Siapa yang lebih bebas dari pada Dia yang Yang Maha Kuasa? Namun, Dia tidak menggunakan kebebasan-Nya sebagai kekuasaan yang sewenang-wenang atau sebagai suatu dominasi. Dia mejalani kebebasan itu sebagai pelayanan. Dengan demikian dia 'memenuhi' kebebasan itu dengan makna.Sebaliknya, kebebasan akan 'hampa' belaka jika kebebasan itu hanya menjadi suatu kemungkinan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sebagaimana hidup manusia itu sendiri, kebebasan memperoleh makna dari cinta. Oleh karena itu, kebebasan Kristiani justru berlawanan dengan kesewenang-wenangan; kebebasan Kristiani adalah mengikuti Kristus dalam penyerahan diri-Nya bahkan sampai pada Kurban Salib. Hal ini tampaknya seperti suatu paradoks, namun Tuhan Yesus meenghayati kepenuhan kebebasan-Nya di kayu Salib sebagai puncak dari cinta-Nya. Ketika mereka berteriak-teriak di Kalvari, 'Jika Engkau Anak Allah, turunlah dari kayu Salib!', Tuhan Yesus menunjukkan kebebasan-Nya sebagai Putra Allah justru dengan tetap berada di kayu Salib, untuk melaksanakan kehendak Bapa yang Maharahim sampai akhir. " [27]

Engkau telah membujuk aku, ya Tuhan, dan aku telah membiarkan diriku dibujuk; Engkau terlalu kuat bagiku dan Engkau menundukkan aku "( Yer 20: 7). Betapa mendalamnya perasaan yang ada dalam doa nabi Yeremia ini. Memandang panggilan kita sebagai anugerah dari Tuhan (dan bukan hanya sebagai suatu daftar dari kewajiban-kewajiban saja), walaupun kita menderita, juga merupakan suatu tanda kebebasan jiwa. Betapa bebasnya kita saat mengetahui bahwa Tuhan mengasihi kita apa adanya, dan bahwa Dia memanggil kita terutama untuk membiarkan diri kita dicintai oleh-Nya.

8. Kebebasan jiwa juga berarti tidak mengikat diri kita dengan kewajiban-kewajiban yang tidak nyata; kemampuan untuk menyingkirkan dan mengubah dengan fleksibilitas begitu banyak detail kecil dalam hidup yang tergantung pada inisiatifbebas kita. Seperti yang ditulis oleh Don Javier dua puluh tahun yang lalu: "Tentu saja, ada hal-hal yang wajib kita lakukan dan ada juga, pada saat tertentu, tidak wajib kita lakukan. Namun, dalam hal yang pertama maupun yang kedua, kita harus berusaha untuk memenuhi secara bebas dan bertanggung jawab perintah tertinggi dari Kasih Allah. Dengan demikian kita bebas dan taat sekaligus, dan pada setiap saat. " [28]

Kita harus selalu menjaga suasana penuh kepercayaan dan kebebasan untuk mempermudah kita berbicara tentang apa yang kita khawatirkan kepada siapa yang perlu mengetahuinya dan menyampaikan apa yang tidak kita pahami, atau apa yang menurut kita harus diperbaiki. Suasana penuh kepercayaan ini juga akan terpelihara oleh kesetiaan dan kesabaran kita dalam menerima, dengan tenang dan dengan selera humor, keterbatasan manusia maupun situasi-situasi sulit, dan lain-lain. Inilah sikap putra atau putri yang baik, yang dalam menggunakan kebebasan mereka, bersedia mempertahankan hal-hal yang lebih besar dan lebih penting dari pada pendapat mereka sendiri, meskipun mereka yakin bahwa mereka benar. Hal-hal yang besar dan penting: Seperti persatuan dan kedamaian keluarga yang tak ternilai harganya. Sebaliknya, "bila pendapat kita memisahkan kita dari orang lain, bila pendapat kita melemahkan persekutuan dan persatuan kita dengan saudara-saudara kita, itu adalah pertanda yang pasti bahwa kita tidak melakukan apa yang Tuhan kehendaki." [29]

9. Meskipun kadang-kadang situasi hidup dapat membuat kita menderita, Tuhan sering menggunakannya untuk membuat kita lebih serupa dengan Yesus. Seperti yang kita baca dalam Surat kepada orang Ibrani, Dia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya ( Ibr 5: 8) dan dengan demikian Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya (Ibr 5: 9).Yesus membawa kebebasan anak-anak Allah kepada kita. Menerima keterbatasan manusia dan pantang menyerah dalam upaya untuk mengatasinya, juga merupakan tanda dan sumber dari kebebasan jiwa. Sebaliknya, renungkanlah sikap anak sulung yang menyedihkan dalam perumpamaan Injil (bdk. Luk 15: 25-30).Dia mengeluh kepada ayahnya tentang begitu banyak hal yang dia simpan dalam kepahitan jiwanya, dan dia pun tidak mampu bergabung dalam kegembiraan keluarga. Kebebasannya menjadi kerdil dan egois, tidak mampu mencintai, tidak mampu memahami bahwa semua milikku adalah milikmu ( Luk 15:31).Dia tinggal di rumah keluarga, tapi dia tidak bebas, karena hatinya berada di tempat lain.

Betapa indahnya, sebagai kontras, kisah Rut, wanita Moab yang kebebasan dan pemberian dirinya berakar pada keyakinan yang dalam bahwa dia adalah anggota keluarga. Sungguh mengharukan melihat bagaimana wanita ini menanggapi desakan ibu mertuanya, yang mendorongnya untuk memulai hidup baru lagi: Tetapi kata Rut: "Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku; di mana engkau mati, akupun mati di sana, dan di sanalah aku dikuburkan " ( Rut 1: 16-17).

Dalam merenungkan hidup Bunda Maria, kita melihat dengan lebih jelas lagi bagaimana kebebasan terungkap dalam pemberian diri yang setia. “Perhatikan sekarang saat-saat agung ketika malaikat Gabriel memberi kabar kepada Santa Perawan Maria tentang rencana Allah yang Maha Tinggi. Bunda Maria mendengarkan, dan mengajukan pertanyaan untuk memahami lebih baik apa yang Tuhan kehendaki dari dia. Lalu ia memberi jawaban yang tegas: Fiat! !(Luk 1,38) Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu. Inilah hasil yang terbaik dari kebebasan: Memilih Tuhan sendiri”

Membina dan memimpin pribadi-pribadi yang bebas

10. Dalam karya pembinaan, bimbingan spiritual pribadi memainkan peranan penting dan harus selalu dilaksanakan dalam suasana penuh kebebasan, dan bertujuan membina orang-orang agar merasa "bebas seperti burung-burung di angkasa." [31] Sebagaimana ditulis oleh Santo Josemaria, tentang mereka yang memberi bimbingan pribadi kepada saudara-saudari mereka, "otoritas dari pembimbing rohani bukanlah kekuasaan. Tanamkanlah semangat kebebasan yang besar dalam jiwa-jiwa. Renungkan apa yang sering saya katakan: 'karena aku mau' adalah alasan paling supranatural dari semua, menurut hemat saya. Peran dari para pembimbing rohani adalah membantu jiwa-jiwa untuk ingin,—untuk 'merasa mau'—memenuhi kehendak Tuhan. Jangan memerintah, nasihatilah. " [32] Dengan nasihat-nasihat dalam bimbingan rohani diupayakan agar mengikuti inspirasi Roh Kudus dan membantu setiap orang untuk menghadap Allah dan menghadapi tugas masing-masing dengan kebebasan pribadi dan tanggung jawab. "Dalam menciptakan jiwa-jiwa, Tuhan tidak mengulang karya-Nya. Setiap jiwa adalah sebagaimana dia adanya, dan kita harus memperlakukan mereka masing-masing sesuai dengan apa yang Allah ciptakan, dan sesuai dengan cara Allah mengarahkan mereka. " [33]

Seiring dengan nasihat, biasanya juga ada dorongan penuh kasih sayang yang akan meyakinkan jiwa-jiwa, bahwa sungguh besar artinya berupaya untuk setia demi cinta, dan dengan bebas. Dalam bimbingan rohani kadang-kadang juga bisa diberikan —dengan terus terang, tetapi dengan lemah lembut dan kasih sayang—"nasihat imperatif", yang mengingatkan akan kewajiban untuk memenuhi suatu tugas. Namun, otoritas nasihat ini, tidak berasal dari nasihat itu sendiri, tapi dari tugas yang terkait. Bila ada rasa kepercayaan, pembimbing rohani dapat dan harus memberi nasihat seperti itu, dan orang yang menerimanya akan berterima kasih, karena dalam nasihat itu, ia dapatmerasakan kekuatan dan kasih sayang seorang kakak.

11. Pembinaan yang kita terima sepanjang hidup kita, tanpa mengabaikan tuntutan-tuntutannya, kebanyakan cenderung untuk membuka cakrawala baru. Namun, jika kita membatasi diri hanya untuk menyampaikan tuntutan dan untuk dituntut, maka kita hanya bisa melihat apa yang belum bisa kita capai, hanya melihat kekurangan dan keterbatasan kita, dan melupakan hal yang paling penting: Kasih Tuhan pada kita.

Dalam konteks ini, mari kita mengingat bagaimana Santo Josemaria mengajar kita bahwa

"dalam Opus Dei, kita adalah sahabat dari kebebasan, juga dalam kehidupan rohani: kita tidak terikat pada skema atau metode tertentu. . . Ada banyak—memang seharusnya begitu—penentuan diri (self-determination) bahkan dalam kehidupan rohani. " [34] Oleh karena itu kejujuran hati dalam bimbingan rohani, yang membawa kita untuk membuka hati kita dengan bebas untuk mendapatkan nasihat, juga akan mendorong kita untuk memiliki inisiatif pribadi, untuk mengungkapkan secara bebas hal-hal yang kita anggap penting untuk perjuangan batin supaya kita lebih serupa dengan Kristus.

Oleh karena itu, karya pembinaan, walaupun menyampaikan semangat yang sama kepada semua orang, tidak akan menghasilkan keseragaman, tetapi persatuan. Santo Josemaria mengilustrasikan bahwa dalam Opus Dei "kita dapat menempuh perjalanan di jalan Opus Dei dengan berbagai cara.Kita dapat berjalan di sisi kanan atau di sisi kiri, berjalan zig-zag dari sisi ke sisi, berjalan kaki atau naik kuda. Ada ribuan cara untuk berjalan di jalan ilahi kita. Hati nurani kita masing-masing akan menunjukkan kepada kita menempuhnya dengan cara yang ini atau yang itu,sesuai dengan keadaan masing-masing. Namun, yang terpenting adalah tidak menyimpang dari jalan. " [35] Semangat Opus Dei, seperti semangat Injil, tidak memaksakan apa-apa pada diri kita, tetapi akan memberinya hidup: Semangat Opus Dei adalah benih yang akan tumbuh dalam jiwa.

12. Dalam karya pembinaan, penting juga bagi kita untuk menghindari bahwa upaya yang berlebihan untuk rasa aman atau untuk mencari perlindungan akan menghambat jiwa dan melumpuhkan kita. "Mereka yang telah berjumpa dengan Kristus tidak dapat menutup diri; betapa menyedihkannya bila itu terjadi! Mereka harus membuka diri seperti sebuah kipas untuk menjangkau semua jiwa. " [36] Maka, sungguh penting membina diri kita supaya kita hidup tanpa rasa takut untuk berbuat kesalahan, tanpa takut gagal, tanpa takut akan lingkungan yang sulit. Dengan pandangan adikodrati kita perlu melibatkan diri — dengan bijaksana dan penuh tekad— dalam lingkungan sosial dan profesional kita.

Oleh karena itu, cinta akan kebebasan juga diungkapkan dalam spontanitas dan inisiatif dalam kerasulan, yang kompatibel dengan tugas-tugas kerasulan konkret dari setiap orang. Sangatlah penting untuk selalu mengingat bahwa "kerasulan kita terutama adalah kerasulan pribadi." [37] Ini juga berlaku pada tingkat pengembangan kegiatan-kegiatan kerasulan oleh para direktor: "Saya tidak ingin mengikat Anda. Sebaliknya, saya berusaha memastikan bahwa Anda bekerja dengan penuh kebebasan. Dalam karya kerasulan Anda, Anda harus memiliki inisiatif, dalam batas-batas yang sangat luas dari semangat Opus Dei, untuk menemukan —di setiap tempat, di setiap lingkungan, di setiap zaman— kegiatan yang paling sesuai dengan keadaan. " [38]

13. Suatu manifestasi penting dari cinta akan kebebasan juga dapat dilihat dalam kepemimpinan pastoral Bapa Prelat dan para Vikarnya, dengan bantuan Dewan-dewannya. Dengan rasa syukur mari kita merenungkan sekali lagi kata-kata Santo Josemaria ini: "Sebagai konsekuensi dari semangat kebebasan, karya pembinaan —dan kepemimpinan —dalam Opus Dei berdasarkan pada rasa kepercayaan. . . . Tidak akan ada yang bisa dicapai jika kepemimpinan didasarkan pada rasa kurang percaya. Dan sebaliknya, memimpin dan membina jiwa-jiwa dengan rasa hormat, dengan mendorong dan mengajar untuk menggunakan kebebasan yang sejati dan suci dari anak-anak Allah, pasti akan membawa hasil. Membina dan memimpin itu sama dengan mencintai[39]

Memimpin dengan penuh hormat pada jiwa-jiwa, pertama-tama adalah menghormati privasi hati nurani, tanpa mencampur-adukkan kepemimpinan dengan bimbingan rohani. Kedua, rasa hormat ini akan membuat kita membedakan perintah dari anjuran, nasihat, atau saran-saran. Dan yang ketiga —dan bukan karena ini yang ketiga maka kurang penting— adalah memimpin dengan rasa kepercayaan yang begitu besar sehingga kita selalu mendengar sebanyak mungkin, pendapat dari orang-orang yang bersangkutan. Sikap mempimpin seperti ini, dan kemauan untuk mendengarkan, adalah manifestasi yang luar biasa dari kenyataan bahwa Opus Dei adalah sebuah keluarga.

Kami juga bersyukur memiliki pengalaman atas kebebasan penuh di Opus Dei dalam hal-hal bebas untuk berpendapat di bidang ekonomi, politik, teologi, dan lain-lain. “Dalam segala hal, yang bukan merupakan persoalan Iman, setiap anggota berpikir dan bertindak sebagaimana mereka inginkan dengan kebebasan penuh dan tanggung jawab pribadi. Pluralisme yang timbul secara logis dan sosiologis dari itu tidak menimbulkan masalah bagi Opus Dei . Justru itu merupakan tanda semangat dan pemikiran yang sehat. " [40] Pluralisme ini harus dicintai dan dipupuk, meskipun pada suatu saat mungkin sulit bagi kita untuk menerimanya. Seseorang yang mencintai kebebasan akan melihat sisi positif dan menarik dari apa yang dipikirkan dan dilakukan orang lain di bidang-bidang yang luas ini.

Mengenai bagaimana kepemimpinan ini dilaksanakan, Santo Josemaria menetapkan dan selalu mengingatkan kita dengan seksama akan pentingnya kolegialitas, yang merupakan suatu manifestasi lain dari semangat kebebasan yang meresapi hidup kita di Opus Dei. "Saya telah mengingatkan Anda di banyak kesempatan, dan saya akan mengulanginya berkali-kali selama hidup saya, bahwa saya menuntut, di Opus Dei, di semua tingkatan, suatu kepemimpinan kolegial, sehingga tidak akan ada yang jatuh dalam tirani. Ini adalah suatu manifestasi dari kebijaksanaan, karena dengan dengan kepemimpinan kolegial semua hal akan dipelajari dengan lebih mudah, kesalahan diperbaiki dengan lebih baik, dan karya kerasulan yang sudah berjalan baik dapat diperbaiki dengan lebih efektif. " [41]

Kolegialitas itu bukan hanya suatu metode atau sistem untuk mengambil keputusan; kolegialitas terutama adalah semangat yang berakar pada keyakinan bahwa kita semua dapat dan perlu menerima wawasan, informasi, dan lain-lain dari orang lain, yang akan membantu kita untuk memperbaiki dan bahkan mengubah pendapat kita. Pada saat yang sama, ini akan membuat kita menghormati —atau bahkan untuk meningkatkan—kebebasan orang lain, sehingga mereka dapat mengungkapkan pandangan mereka tanpa kesulitan.

Menghormati dan mempertahankan kebebasan dalam kerasulan

14. Kerasulan kita berawal dari hasrat yang tulus untuk membantu orang lain menemukan Kristus atau membantunya untuk menjadi lebih akrab dengan Kristus. "Sikap kita terhadap jiwa-jiwa dapat disimpulkan dalam kata-kata dari Rasul Paulus yang akan hampir-hampir seperti sebuah jeritan : caritas mea cum omnibus vobis di Christo Iesu!( 1 Kor 16:24): Kasihku menyertai kamu sekalian dalam Kristus Yesus. Dengan cinta kasih, kalian akan menjadi penabur damai dan sukacita di dunia ini, mencintai dan membela kebebasan pribadi dari jiwa-jiwa, kebebasan yang Kristus kehendaki dan Kristus menangkan bagi kita (lih. Gal 4: 4).

Pertama-tama, kita mencintai kebebasan orang-orang yang kita berusaha untuk membantu agar mereka lebih dekat dengan Tuhan dalam kerasulan persahabatan dan kepercayaan, sebagaimanadianjurkan oleh Santo Josemaria, melalui kesaksian dan kata-kata. "Juga dalam kegiatan kerasulan kita— justru dalam kegiatan kerasulan kita— kita tidak ingin adanya bayangan sedikitpun dari pemaksaan. Tuhan ingin dilayani dengan bebas, dan oleh karena itu kerasulan yang tidak menghormati 'kebebasan hati nurani' tidaklah benar. " [43]

Dalam persahabatan sejati ada cinta kasih yang tulus, yang merupakan perlindungan sejati dari kebebasan dan keakraban antar kawan. Kerasulan bukanlah sesuatu yang dipaksakan pada persahabatan, karena (seperti yang telah saya tulis sebelumnya), "kita tidak hanya 'melaksanakan kerasulan,' kita adalah rasul!” [44] Persahabatan itu sendiri adalah kerasulan; persahabatan itu sendiri adalah dialog dimana kita memberi dan menerima terang. Dalam persahabatan akan timbulproyek-proyek kerasulan baru . Dalam persahabatan kita berbagi sukacita pada masa bahagia dan saling mendukung di masa yang sulit; kita bersenang-senang bersama, karena Tuhan ingin kita bahagia.

15. Seperti yang Anda ketahui kata 'proselytisme', dalam arti aslinya, adalah suatu realitas yang positif, dan tidak lain adalah aktivitas misionaris untuk mewartakan Injil. [45] Itulah pemahaman Santo Josemaria dari istilah tersebut, dan bukan dalam arti negatif yang dewasa ini muncul. Namun, kita perlu mengingat bahwa, tanpa kita inginkan, kadang-kadang kata-kata memperoleh konotasi baru yang berbeda dari makna aslinya. Maka, perhatikan baik-baik dalam konteksnya ketepatan penggunaan istilah ini, karena kadang-kadang pendengar Anda bisa jadi memahami sesuatu yang berbeda dari apa yang ingin Anda katakan.

Menghormati dan membela kebebasan setiap orang juga diwujudkan—mungkin bahkan dengan lebih jelas lagi—saat mengemukakanpanggilan Tuhan ke Opus Dei kepada seseorang. Yakni kebebasan untuk mencari nasihat dari siapa saja yang dipilihnya, dan terutama, kebebasan penuh untuk mengetahui panggilannya dan mengambil keputusan untuk memenuhinya. Saat mengomentari sebuah pernyataan yang gamblang dalam Injil, compelle intrare (memaksa mereka untuk masuk) dalam suatu perumpamaan (lih Luk 14:23), Santo Josemaria menulis: "Ciri utama dari semangat kita adalah menghormati kebebasan pribadi setiap orang. Dengan demikian compelle intrare yang harus Anda gunakan dalam karya kerasulan bukanlah suatu dorongan fisik, melainkan kelimpahan terang, kelimpahan ajaran, stimulus dari doa dan pekerjaan Anda, yang mengemban kesaksian yang otentik dari ajaran (Kristus), segala pengurbanan yang Anda persembahkan, senyum di bibir Anda karena Anda adalah anak-anak Allah: Keputraan ilahi yang memenuhi Anda dengan kebahagiaan yang tenang —walaupun akan selalu ada kesulitan dalam hidup Anda— dan orang-orang akan menyaksikannya dan merasa iri. Selain itu juga kepribadian dan pesona Anda. Itu semua adalah compelle intrare . " [46] Betapa jelasnya,bahwa Opus Dei berkembang dan akan berkembang dalam atmosfir kebebasan, dengan menawarkan kepada orang-orang—dengan tekad dan kesederhanaan—keindahan hidup dekat dengan Tuhan yang sangat menarik.

16. Veritas liberabit vos ( Yoh 8:32) . Semua janji-janji pembebasan yang ada sepanjang abad adalah benar sejauh janji-janji itu ditopang oleh kebenaran tentang Tuhan dan manusia. Dan kebenaran ini adalah seorang Pribadi: Yesus, Jalan, Kebenaran dan Hidup (lih. Yoh 13:34-35)."Juga sekarang ini, setelah dua ribu tahun berlalu, kita melihat bahwa Tuhan Yesuslah yang membawa kebebasan kepada manusia, kebebasan yang berdasarkan kebenaran. Dialah juga yang membebaskan manusia dari segala yang membatasi, mengurangi dan menghancurkan kebebasan manusia pada akarnya, dalam jiwa manusia, dalam hatinya, dalam hati nuraninya. " [47]

Tuhan memberi kita kebebasan untuk selamanya; tidak untuk sementara saja, tidak untuk menggunakannya hanya selama hidup kita di bumi. Kebebasan, sebagaimana cinta, "tidak akan berakhir" ( 1 Kor 13: 8): Akan terus berlanjut di surga. Jalan untuk mencapainya justru adalah jalan menuju kebebasan yang mulia dari anak-anak Allah: in libertatem gloriæ filiorum Dei (Rm. 8:21).Di surga kebebasan kita tidak hanya tidak akan hilang, melainkan akan mencapai kepenuhannya dalam merangkul Kasih Tuhan. "Di surga, Cinta yang Agung menanti Anda, tanpa pengkhianatan dan tanpa kebohongan. Kepenuhan cinta, kepenuhan keindahan dan keagungan dan pengetahuan. . . Dantidak akan menjemukan: akan memuaskan, namun juga membuat menginginkannya lagi. " [48] Jika kita setia, dengan bantuan rahmat Tuhan, di surga kita akan bebas sepenuhnya, dengan kepenuhan cinta.

Berkat penuh kasih sayang dari

Fernando

Roma, 9 Januari 2018, peringatan hari lahir Santo Josemaria


[1] Santo Josemaria, surat, 31 Mei 1954 , no.22.

[2] Paus Fransiskus, Surat Imbauan Apostolik, Evangelii Gaudium, November 24, 2013, no.170.

[3] Santo Josemaria, surat, 24 Oktober 1965, no.3.

[4] Benediktus XVI, Ensiklik Spe salvi, 30 November 2007, no.24.

[5] Ibid .

[6] Santo Josemaria, Kristus Yang Berlalu, no.129.

[7] Santo Josemaria, Sahabat Tuhan, no.25 .

[8] Santo Josemaria, Jalan Salib, Perhentian X.

[9] Saint Josemaria, Sahabat Tuhan, no.26.

[10] Ibid .

[11] Bdk. Santo Agustinus, Pengakuan , III, 6, 11.

[12] Santo Josemaria, Sahabat Tuhan, no.27.

[13] Paus Fransiskus, Homili, 15 Agustus 2014.

[14] Benediktus XVI, Ensiklik Caritas in veritate, 29 Juni 2009, no.68.

[15] Santo Agustinus, In Epist.Ioan. iklan Parthos, VII, 8.

[16] Santo Josemaria, Sahabat Tuhan , no.30.

[17] Santo Thomas, In III Sent. , d. 29, q. un., a. 8, qla. 3 sc1.

[18] Santo Josemaria , Kristus Yang Berlalu , no.17.

[19] Santo Josemaria, surat , 31 Mei 1954, no.22.

[20] Paus Francis, Homili, 31 Mei 2013.

[21] Saint Josemaria, surat , 29 Desember 1947, no.106.

[22] Santo Josemaria, Catatan dari sebuah Renungan, 28 April 1963.

[23] Santo Agustinus, Pengakuan , XIII, 9, 10.

[24] Ibid .

[25] Saint Josemaria, Sahabat Tuhan , no.31.

[26] Santo Yohanes Paulus II, Ensiklik Veritatis splendor, 6 Agustus 1993, no.19.

[27] Benediktus XVI, Pidato pada Angelus, 1 Juli 2007.

[28] Javier Echevarría, Surat Pastoral , 14 Februari 1997, no.15.

[29] Santo Josemaria, Kristus Yang Berlalu , No.17.

[30] Santo Josemaria, Sahabat Tuhan , no.25.

[31] Santo Josemaria, surat , 14 September 1951, no.38.

[32] Santo Josemaria, surat , 8 Agustus 1956, no.38.

[33] Ibid .

[34] Santo Josemaria, Surat , 29 September 1957, no.70.

[35] Santo Josemaria, Surat , 2 Februari 1945, no.19.

[36] Santo Josemaria, Furrow , no.193.

[37] Santo Josemaria, Surat , 2 Oktober 1939, no.10.

[38] Sant0 Josemaria, Surat , 24 Oktober 1942, no.46.

[39] Santo Josemaria, Surat , 6 Mei 1945, no.39.

[40] Santo Josemaria, Percakapan , no.98.

[41] Santo Josemaria, Surat , 24 Desember 1951, no.5.

[42] Santo Josemaria, Surat , 16 Juli 1933, no.3.

[43] Santo Josemaria, Surat , 9 Januari 1932, no.66.

[44] Surat pastoral , 14 Februari 2017, no.9.

[45] Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, Catatan Doktrinal tentang Beberapa Aspeks dari Evangelisasi, 3 Desember 2007, no. 12 dan catatan 49.

[46] Santo Josemaria, Surat , 24 Oktober 1942, no.9.

[47] Santo Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemptor hominis, 4 Maret 1979, no.12.

[48] Santo Josemaria, The Forge , no.995.