"Teladan Bagi Para Wanita"

Virginia Monagle, seorang Supernumerari dalam Opus Dei, baru saja meninggal karena kanker payudara. Setelah memahami bahwa dia tak akan bisa punya anak, dia membantu mencarikan 4 sekolah serta menganjurkan orang lain untuk memiliki banyak anak. Artikel ini dicetak dalam 'The Australian'.

Kebiasaan orang mengirim kartu Natal sudah mulai berkurang. Tahun ini, dari sejumlah kartu yang kami terima, ada satu yang paling menyentuh hati kami adalah dari seorang teman terkasih yang sedang sekarat. Saya menerima kiriman kartu Natal dari Virginia, dengan tulisan tangan yang agak gamang, di malam Natal dan pada tanggal 29 Desember, dia meninggal.

Hanyalah orang seperti Virginia Anne Monagle (nee Corry) yang masih berpikiran untuk mengirimi temannya sebuah kartu ucapan di saat-saat Virginia tengah menghadapi hari-hari akhir hidupnya. Dalam tubuhnya tumbuh kanker lain setelah tahun lalu dia terkena kanker payudara. Saya melihatnya pada bulan Mei lalu, dia sungguh tampak menawan dalam setelan hitam yang menakjubkan dengan model rambut pendeknya yang baru.

Dia tahu peluang hidupnya kecil. Kanker payudaranya tak diketahui lebih dini dan semua pembicaraan tentang pengobatan dan juga peluang hidup sampai tahun 2030, prediksi masa hidup bagi seorang penderita kanker payudara, tak berlaku padanya akibat terlambatnya diagnosis dan pengobatan yang dilakukan padanya. Sekalipun penelitian telah secara dramatis berhasil meningkatkan waktu lamanya seorang penderita kanker bisa bertahan hidup namun ini belum bisa menurunkan jumlah kejadian penyakit ini. Bahkan setelah pengobatanpun kemungkinan kanker ini untuk muncul kembali juga sangat tinggi. Virginia adalah teman saya kedua yang meninggal dunia karena kanker payudara yang, sekalipun membutuhkan lebih banyak uang untuk mengidentifikasi asal-usul kanker ini dan juga cara terbaik untuk pengobatannya dibandingkan penyakit-penyakit lainnya, sampai kini terus menghantui banyak wanita Australia.

Tapi artikel ini bukan berkisah tentang kanker yang diidap Virginia dengan segala barang berpita merah jambu, yang menghiasinya. Kita tidak membicarakan penyakit yang diidapnya. Virgina menghadapi kematiannya dengan berani dan penuh iman -upacara pemakamannya dipimpin langsung oleh Kardinal Pell, umat banyak yang datang ke Katedral St Mary menghadiri Misa pemakamannya. Ada banyak hal yang bisa kita lihat dari kehidupan seorang Virginia. Dia adalah perwujudan dari seorang wanita moderen dan juga seorang wanita profesional. Dia sering menyebut dirinya seorang feminis sejati, (sekalipun saya tidak begitu setuju dengan istilah ini) namun memang seperti itulah dia. Tak seperti para wanita lainnya yang baru masuk ke dunia profesional, Virginia merupakan hasil tempaan dari watak kemanusiaan, tipe wanita yang perlu kita kagumi -dia bukan tipe wanita pada umumnya.

Dia seorang pendidik dengan wawasan yang brilian, dia dan suaminya Frank adalah bagian dari sebuah kelompok yang mendirikan sejumlah sekolah di Sydney, terutama Tangara dan Redfield di baratlaut dan juga baru saja sejumlah sekolah lain di pedalaman wilayah barat. Sekolah-sekolah tsb didirikan sebagai bagian dari yayasan Pared, sebuah gagasan yang konservatif namun visioner tentang sebuah pendidikan yang mendasarkan orang tua sebagai pendidik utama dari seorang anak. Gagasan ini mengacu pada filsafat sinkronisasi antara harapan orang tua terhadap sang anak dengan sasaran pendidikan dari sekolah tsb. Sekolah mengajarkan sebaik mungkin berbagai kedisiplinan tradisional dan juga mengajarkan iman Katolik. Sekolah-sekolah ini merupakan bagian dari karya Opus Dei namun ini tidak secara khusus Katolik; sekitar sepertiga dari anak-anak tersebut adalah non Katolik, serta sejumlah lainnya bukan orang Kristen.

Ide sebuah novel memperlihatkan bagaimana keadaan tampaknya telah mengambilalih begitu banyak kehidupan kita sehingga pendidikan seorang anak haruslah diutamakan dan menjadi keharusan dan menjadi panggilan hidup terpenting para pasutri sebagai orang tua. Anehnya, panggilan Virginia menjalankan profesinya sebagai seorang pendidik datang dari kenyataan dirinya yang tak bisa menjadi seorang ibu.

Pertama kali saya bertemu dengan Virginia dan saudaranya, Suzanne ketika mereka menjadi bagian dari universitas kami pada klub Demokratik Sydney dan saya waktu itu adalah seorang lulusan S1 di Universitas New South Wales. Tiap orang memperhatikan para wanita Corry tsb karena mereka secara fisik sungguh cantik dan Virginia, dengan rambut dan mata hitamnya, sungguh merasa bangga akan bagian dan keturunannya sebagai seorang Aborigin yang berasal dari neneknya, sebuah pusaka baginya yang nantinya dia kisahkan di media The Australian.  Kelompok ini di Sydney, termasuk orang-orang muda bernama Tony Abbott dan Greg Sheridan, yang lebih serius tentang pergaulan mahasiswa daripada saya maupun teman-teman saya di UNSW, yang berniat masuk ke dalamnya untuk alasan yang benar-benar dangkal, seperti misalnya untuk bertemu dengan para pemuda. Tentu saja kelompok dalam Universitas Sydney ini perlu serius karena pergaulan mahasiswa di sana cukup kasar dan mereka yang tersisa dalam kelompok ini melakukan segala hal yang terbaik untuk mengejar jangka waktu tertentu kehidupan akademik yang ditetapkan bagi tiap mahasiswa.

Virginia bertemu dengan suaminya Frank di masa-masa ini. Keduanya saat ini akhirnya terlibat dalam perang pemikiran dan bersama-sama mereka berperan melawan pengaruh Marxism dalam berbagai gerakan mahasiswa di Universitas tsb. Mereka serius pada keseluruhan hidup mereka, pada panggilan mereka dan pada iman mereka. Virginia menyelesaikan gelar Bachelor of Arts di Universitas Sydney dan dia diundang meneruskan kuliah untuk mencapai gelar Master dalam Bahasa Inggris atau Master dalam Sejarah; namun dia memilih pendidikan Diploma dalam Pendidikan, suatu pilihan yang bisa dibilang bodoh bagi mereka yang ingin bercita-cita untuk meniti karir.

Frank dan Virginia tidak berpandangan sempit dalam hal politik. Bersama-sama mereka menjadi bagian dari Opus Dei, dan sebagai Supernumerary, mereka mendedikasikan hidup mereka pada apapun Karya Allah memanggil mereka untuk melakukannya. Pasangan Monagles ini beranggapan, seperti kebanyakan mereka yang menikah muda, yaitu menjadi orang tua.

Namun Virginia tak pernah punya anak. Seperti semua wanita dalam posisinya sebagai istri, ketidakmampuannya mengandung seorang bayi merupakan suatu kesedihan besar yang terus membayangi keseluruhan perjalanan hidupnya. Tulisannya di media The Australian sangat mengharukan dan berani tentang ketidakbisaannya untuk memiliki anak. Dia bahkan berbicara tentang sejumlah pakaian bayi yang dia simpan sejak tahun pertama pernikahannya saat usianya 22 tahun dan harapannya yang memudar, bulan demi bulan, saat dia menunggu dan berdoa, namun tak berhasil. Namun kemudian hidup Virginia berubah, yang nantinya dia ceritakan pada saya bahwa baginya segalanya akhirnya telah menjadi lebih jelas baginya.

Di tahun 1977, pada bulan madu mereka, Frank dan Virginia terdorong untuk mengunjungi sekolah-sekolah yang didanai oleh para orang tua di bawah inspirasi St Josemaria Escriva. Hanya setahun berselang setelah itu, mereka menghabiskan 12 bulan di Spanyol dan Irlandia belajar sebanyak mungkin tentang sekolah-sekolah seperti ini dan belajar tentang pentingnya menempatkan orang tua sebagai yang utama dalam pendidikan anak-anak. Pendirian 4 sekolah dan kursus bagi para orang tua akhirnya menjadi kehidupan kerja Virginia dan anak-anak dalam sekolah tsb menjadi seperti anak-anaknya sendiri.

Virginia masuk dalam dewan sekolah-sekolah Pared sejak organisasi tsb memulai pertemuan dewan sekolah di tahun 1979. Dia juga penulis yang berbakat, tulisannya penuh perasaan. Padanya ada banyak artikel bertajuk human-interest yang telah diterbitkan, terutama di media the Australian, dan dia menulis bab pendahuluan dalam sebuah buku. Bab pendahuluan ini diberinya judul Para Wanita yang Berpengharapan. Tema tulisannya adalah keibuan spiritual dari seorang wanita yang tidak mempunyai anak. Dia berbicara kepada para keluarga di berbagai konferensi di Australia, Roma, Singapura dan di PBB. Yang paling signifikan, melalui berbagai percakapan dan pembicaraan di depan umum, dia menginspirasi banyak ibu untuk mencoba untuk memiliki banyak anak. Pernah sekali dia sambil tertawa bercerita pada saya, setelah saya mengeluh karena mengandung lagi, bahwa dia 'bertanggung jawab'atas lebih banyak anak-anak daripada yang bisa dia urus sekiranya dia melahirkan sendiri mereka.Di tahun 2012, dia diberi keanggotaan seumur hidup dalam Dewan Orang tua Australia di cabang negara bagian New South Wales.

Paragraf terakhir saya ini adalah tentang pendidikan anak laki-laki. Rupanya pendidikan anak perempuan seringkali kurang dalam berbagai contoh yang sungguh-sungguh substansial dan inspirasional. Di dunia di mana perilaku buruk telah menjadi watak dan wanita tenggelam dalam pahlawan-pahlawan ciptaan media; kegaduhan, sikap ambisius dan kedangkalan sering menang dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kelembutan hatinya, rahmat dan watak yang dimilikinya, teman saya: Virginia Anne Monagle adalah tipe wanita yang kita perlu angkat sebagai teladan sejati bagi para wanita.

Angela Shanahan, The Australian, 5 Januari 2013