Hidup dengan Iman

Iman yang Tuhan kehendaki dari kita adalah “bukanlah kepercayaan bahwa hal-hal selalu berjalan dengan lancar. Sebuah kepercayaan bahwa, walau apapun yang terjadi, Tuhan akan menjadikannya untuk kebaikanku sendiri, untuk kebaikan dari orang sekelilingku dan untuk seluruh Gereja.”

Tuhan kita sangat terpengaruh oleh berita tentang keadaan kematian Yohanes Pembaptis. Dia telah datang untuk membebaskan kita dari dosa dan dari perpecahan yang dalam yang terbuka dalam kodrat manusia. Tetapi tepatnya karena Dia telah mengasumsikan bahwa kodrat telah jatuh pada konsekuensi terakhir, kecuali dari dosa, Dia tidak menjadi acuh tak acuh oleh berita dari pengalaman dari kejahatan-dan di dalam kasus ini, kesembronoan yang bodoh juga yang bisa ada dalam hati manusia. Dengan terharu, Dia merasakan kebutuhan untuk menarik diri ke tempat yang sunyi di mana Dia dapat berdoa dan bermeditasi dalam damai.

Namun, pada saat Dia pergi ke daratan dia melihat kerumunan banyak orang dan hati-Nya tergerak oleh mereka. Dia menghabiskan sisa hari itu dengan merawat mereka, dari jiwa kita dan tubuh mereka; Dia mengajarkan kepada mereka banyak hal dan menyembuhkan mereka yang sakit. Tuhan kita tidak memancing situasi ini. Tujuan Dia sangat berbeda: Dia hanya ingin untuk bermeditasi dan beristirahat, dan membantu para Rasul untuk melakukan hal yang sama. Tetapi hati imamat-Nya tidak mengizinkan dia untuk melewatkan kesempatan yang tak terduga untuk membantu mereka yang ada di sekeliling Dia, walaupun itu berarti mengatasi emosi-Nya sendiri yang sangat bisa dimengerti.

Seperti pada kesempatan yang lain, para penginjil tidak memberitahukan kepada kita mengenai apapun yang Yesus kotbahkan pada hari itu. Mereka hendak menginformasikan kepada kita, di samping teladan dari kemurahan hati-Nya, peristiwa di akhir hari itu yang mengandung ajaran penting untuk semua orang yang ingin mencapai kehidupan interior dan menyebarkan api dari Tuhan kita kepada orang lain.

Kemurahan hati

Beberapa jam telah berlalu. Orang-orang mendengarkan Sang Guru melanjutkan untuk mengajar mereka. Para murid mulai gelisah, khawatir tentang apa yang mungkin terjadi ketika orang banyak menyadari bahwa sudah terlambat untuk mencari sesuatu untuk dimakan. Mungkin antusiasme mereka berubah menjadi keputusasaan atau bahkan kemarahan. Jadi mereka pergi memberitahukan kepada Yesus: Ini adalah tempat yang sunyi, dan hari telah berakhir; suruhlah orang banyak itu pergi, supaya mereka pergi ke desa-desa dan membeli makanan untuk diri mereka sendiri. Tetapi Tuhan kita mengejutkan mereka: tidak perlu mereka pergi; kamu harus memberi mereka makan. Masalah mereka adalah masalah kamu juga: kamu yang membereskannya.

Para Rasul tidak berusaha untuk menghindari tanggung jawab mereka dengan pergi kepada Yesus. Hanya karena tugas itu tampak jauh di luar tanggung jawab mereka bahwa itu tidak pernah terpikirkan oleh mereka karena mereka seharusnya melakukan sesuatu tentang hal itu. Mereka merasa simpati untuk orang-orang, tentu saja, tetapi apa lagi yang mereka bisa lakukan? Jawaban Tuhan kita membuat mereka kebingungan: Engkau menginginkan kami memberikan kepada mereka sesuatu untuk dimakan? Bahkan dengan gaji dua ratus hari, jumlah roti yang kita sanggup beli akan menjadi bahan tertawaaan untuk jumlah orang sebanyak itu! Apa yang bisa kita lakukan?

Tetapi Sang Tuan tidaklah mundur; Dia menginginkan mereka untuk menanggung masalah itu di bahu mereka sendiri dan melakukan apa yang bisa mereka lakukan. Berapa banyak roti yang kamu miliki? Pergi dan lihatlah. Para Rasul kembali dengan laporan yang sedikit: kami hanya mempunyai 5 roti dan 2 ikan. Bawalah ke mari Kepada-Ku, jawab Yesus. Kemudian, setelah bertahun-tahun kerja kerasulan mereka, mungkin mereka sering memikirkan apa yang Yesus telah ajarkan kepada mereka pada hari itu: jika ini hanya sarana yang kita punyai, dengan itulah kita perlu untuk mengatasi masalahnya. Keinginan yang baik dan kasih sayang untuk orang banyak tidaklah cukup. Kita juga tidak bisa puas dengan melihat niat atau tujuan kerasulan yang melebihi kapasitas kita. Kita orang Kristiani harus memiliki hati yang besar dan pikiran yang jernih: kita perlu mempertimbangkan dengan tenang berapa banyak roti yang kita miliki, apa yang kita dapat lakukan, tanpa membiarkan diri kita menjadi kecil hati dengan apa yang tidak bisa kita lakukan. Walaupun terlihat sangat sedikit, kita harus menempatkan pada kaki Tuhan kita segala yang kita miliki.

Para penginjil memberi tahu kita bahwa Yesus mengambil persediaan itu, memberkatinya, memecahkan roti dan memberikannya kepada para murid untuk membagikan di antara orang-orang. Ada cukup untuk semua orang, cukup banyak sehingga mereka memerlukan dua belas bakul untuk sisanya: mereka punya lebih banyak pada akhirnya dibandingkan dengan apa yang mereka miliki pada awalnya. Campur tangan Ilahi membuat sarana yang mereka miliki secara pribadi tumbuh lewat kemurahan hati mereka sehingga dapat digunakan untuk membantu orang lain.

Santo Yohanes menghadirkan peristiwa ini sebagai pengenalan dari wacana dari Tuhan kita mengenai Roti Kehidupan. Hubungan antara dua bagian sangatlah jelas: pelipatgandaan dari roti adalah penggambaran dari Misteri agung dari Ekaristi, di mana Tuhan kita tawarkan kepada kita makanan yang berlimpah. Sakramen bahkan melangkah lebih jauh karena, lewat mukjizat transubstansiasi, materi yang sederhana berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus: makanan Adikodrati, Roti dari para Malaikat, manna yang baru yang mengembalikan kekuatan dari orang-orang baru dari Tuhan. Tetapi kita juga dapat menggambarkan ajaran yang lain dari peristiwa ini. Apabila kita bermeditasi pada kejadian ini dan mencoba mengaplikasikan ke dalam kehidupan interior kita, kita akan mendapatkan kesan yang Tuhan kita katakan kepada kita: pertimbangkan arti yang kamu dapatkan, periksalah dirimu dengan berani. Lalu tempatkanlah pada Kaki-Ku apapun yang kau miliki; dan janganlah kuatir apabila kekurangan segala sesuatu, karena Aku memiliki lebih dari cukup.

Berani

Marilah kita merefleksikan pada situasi dari para Rasul. Memutuskan untuk menggunakan semua kemungkinan yang mereka miliki, mereka menghadapi tugas untuk mendistribusikan sesuatu yang jelas pastinya tidak memadai antara sedemikian banyak jumlah orang. Tidaklah mudah untuk melihat bagaimana mukjizat yang sebenarnya terjadi. Tipe mukjizat yang lain, di mana mungkin lebih mengejutkan, lebih mudah untuk dibayangkan: Yesus menumpangkan tangan-Nya atas seseorang, atau mengatakan beberapa kata, dan yang sakit menjadi sembuh. Tetapi disini tidak mudah untuk dipahami dengan pasti apa yang terjadi, sejak itu bisa terjadi dengan berbagai macam cara.

Itu sangatlah mungkin bahwa tumpukan kecil potongan menjadi di mana Yesus memecahkan 5 roti dan 2 ikan sacara tiba-tiba bertumbuh dengan banyak, dan apa yang sebelumnya merupakan jumlah kecil menjadi berlimpah-limpah, di depan mata para Rasul dengan menakjubkan. Tetapi masih ada kemungkinan lain yang kurang mengagumkan, satu yang akan dapat membantu mereka memahami ajaran fundamental yang Kristus mungkin inginkan untuk meneruskan kepada murid-Nya selama berabad-abad.

Tuhan kita dapat membagi-bagikan di antara Para Rasul, yang mulai membagikannya kepada orang banyak. Sangatlah mudah untuk membayangkannya, mungkin dengan sedikit rasa malu, mulai untuk menyerahkan kepada orang yang terdekat potongan-potongan kecil roti dan ikan. Bahkan mungkin Tuhan kita harus mendorong mereka untuk tidak terlalu pelit, untuk memberikan satu dengan yang lainnya apa yang dia perlukan. Mungkin salah satu di antara mereka bahwa apabila ia bertindak seperti itu, sangat sedikit orang yang bisa mendapatkan apapun yang bisa dimakan. Dan mungkin Yesus berkata kepada mereka: berimanlah; kita akan menghadapi setiap masalah yang ada sekarang ini, tapi janganlah melakukan sesuatu dengan sebagian; jadilah murah hati.

Mereka mulai membagikan roti dengan murah hati. Dan sedikit demi sedikit mereka menyadari Mukjizat terjadi. Apabila hal-hal terjadi dengan cara kedua ini, jumlah roti tidak akan bertambah lebih banyak di dalam bakul mereka. Sangatlah sedikit; memberikan kesan bahwa itu hanyalah akan cukup untuk beberapa orang. Tetapi itu cukup dan lebih dari cukup untuk semua orang. Manna diberi makan kepada orang-orang Israel dalam gurun pasir juga tidak bisa menjadi bertambah. Tuhan menghendaki orangnya untuk menyadari bahwa itu adalah hadiah ilahi dan untuk menyerahkan diri mereka kepada Dia, meninggalkan keamanan manusia belaka. Mungkin Yesus ingin Para Rasul untuk memiliki pengalaman yang serupa.

Mereka yang hadir menyadari bahwa apa yang terjadi akan akan takjub. Untuk Para Rasul itu adalah pelajaran iman yang jelas. Beberapa bulan kemudian, Tuhan kita akan bertanya kepada mereka untuk menanggung di atas bahu mereka kebutuhan dari pembentukan jutaan jiwa: Pergilah keseluruh dunia dan beritakanlah injil kepada kepada semua makhluk. Siapakah mereka untuk melakukan tugas yang sangat besar? Apa yang bisa mereka lakukan? Bukankah itu akan menjadi lebih baik untuk membuat tujuan yang ada masih di dalam kekuatan mereka? Mungkin itu yang mereka ingat dari apa yang baru saja mereka alami. Untuk Dia itu adalah sama seperti memberi makan kepada banyak orang dengan lima roti seperti memberi mereka dengan tanpa apa-apa, tetapi Dia ingin mengajarkan Para Rasul-Nya untuk melakukan segala upaya yang mereka bisa mereka lakukan pada bagian mereka. Mereka mungkin telah mempertimbangkan fakta bahwa Dia tidak mengizinkan kurangnya sarana untuk menurunkan tujuan yang Dia telah tetapkan untuk mereka; Dia sangat tidak puas dengan menyediakan hanya bantuan simbolis di mana tidak akan memecahkan masalahnya. Mereka mungkin teringat bahwa sarana mereka sudah langka, tetapi akhirnya menjadi cukup. Mereka telah belajar bahwa pada saat membuat tujuan kerasulan, faktor penentu bukanlah dari kapasitas mereka (yang juga mereka ambil) tetapi kebutuhan orang lain.

Kita ingin menetapkan tujuan kerasulan yang berambisi, terdorong oleh kehausan Tuhan untuk para jiwa di dalam lingkungan dan bidang pekerjaan. Kita bercita-cita “untuk menempatkan Kristus di puncak dari segala aktifitas manusia.” Kita tidak dapat menunggu sampai kita memiliki semua roti yang diperlukan untuk memberi makan orang banyak. Di dalam peletakkan tujuan yang tinggi dan murah hati, sangatlah mudah untuk menyadari ketidakseimbangan antara kapasitas kita sendiri dengan dan apa yang kita lihat yang Tuhan inginkan dari kita; kita mungkin bahkan merasakan kepala kita berputar pada saat kita merasakan, saat kita merasakan ketidakberdayaan diri kita sendiri dan kurangnya tenaga. Tetapi kita seharusnya tidak melihatnya sebagai bukti akan kurangnya iman kita; sebaliknya, itu mungkin menunjukkan bahwa kasih Tuhan mendorong kita untuk melampaui kekurangan kita sendiri. Perasaan yang tidak nyaman ini, jauh dari menghalangi kemurahan hati, membuat harapan menjadi mungkin, karena di mana ada kepastian yang mutlak, pengharapan tidak bisa ada.

Optimisme

Maka dari itu iman yang Tuhan kita harapkan dari kita tidak terdiri dari memiliki kepercayaan dari kualitas diri kita menjadi berlipat ganda. Lebih, terdiri dari menempatkan lima roti kita kepada pelayanan Tuhan, dalam bertindak seperti apakah roti itu cukup, walau jika melakukannya kita tetap merasakan keterbatasan diri kita sendiri dengan jelas. Kehidupan dari iman bukanlah yang dari perasaan tapi dari perbuatan, bahkan pada saat-saat di mana perasaan kita tampaknya bertentangan dengan kepastian fundamental yang mendasari semua tindakan kita.

“Optimisme kristiani bukanlah pilihan yang manis; juga bukan keyakinan manusia belaka keyakinan bahwa segala sesuatu akan menjadi lebih baik. Optimisme yang mengakar ke dalam kesadaran dari kebebasan kita, dan dalam pengetahuan yang pasti dari kekuatan dari rahmat. Optimisme yang memimpin kita untuk membuat tuntutan kepada diri kita sendiri, perjuangan untuk menjawab panggilan Tuhan setiap saat.

Iman kristiani bukanlah kejujuran dari seseorang yang buta kepada kesulitan atau hanya percaya segalanya akan menjadi lebih baik. Sebaliknya, iman menghasilkan optimisme “yang mengakar ke dalam kesadaran dari kebebasan kita”, optimisme yang berkelanjutan oleh realisasi pada hal-hal bisa salah dan faktanya pada waktu kesalahan terjadi, karena kebebasan manusia-kita dan orang lain-tidaklah selalu mau apa yang diinginkan Tuhan. Dan karena itu adalah “optimisme yang memimpin kita…pada perjuangan untuk merespon setiap saat pada panggilan Tuhan, “mengetahui hal itu bahkan belum kita dapat memastikan bahwa segalanya akan menjadi lebih baik.

Iman yang Tuhan kehendaki dari saya, karena itu, bukanlah keyakinan bahwa hal-hal akan menjadi lebih baik. Adalah kepercayaan yang, tidak peduli bagaimanapun keadaannya, Tuhan akan membuat mereka menjadi kebaikan saya, untuk kebaikan orang-orang di sekeliling saya dan untuk seluruh Gereja. Dengan kata lain: Tuhan tidak mengharapkan agar apapun yang saya lakukan akan menjadi baik; saya juga tidak mengharapkan itu; jika saya melakukan apa yang seharusnya, Tuhan akan memastikan semuanya akan menjadi baik. Itu akan menjadi naif untuk berpikir cukup baik untuk semuanya menjadi positif. Tuhan mengharapkanku untuk percaya kepada Dia dan maka dari itu untuk melakukan semua yang saya bisa untuk membantu hal-hal berjalan dengan baik. Dan saya memiliki kepastian bahwa, dengan melakukan apa yang Dia kehendaki, saya benar-benar mencapai objektif yang penting di dalam kehidupanku, walaupun tidak selalu membawa kepada hasil yang positif. Beberapa hal akan berjalan dengan buruk, tapi saya akan mengikuti nasihat dari Santo Paulus: “noli vinci a malo, sed vinci in bono malum”; janganlah di atasi dengan kejahatan, tetapi atasilah kejahatan dengan kebaikan. Dan maka dari itu, terlepas dari segalanya, kebaikan akan menang: omnia in bonum!

Tuhan kita telah mempercayakan misi yang besar kepada Gereja dan setiap orang kristiani. Itu seharusnya tidak mengejutkan kita pada saat kita melihatnya seperti melebihi kapasitas kita atau sewaktu, mempertimbangkan itu, terkadang kita merasa kewalahan. Maupun pada waktu, menghadapi tugas kerasulan yang besar. Kita mungkin tidak tahu dari mana memulainya dan tergoda membiarkan keterbatasan menghadang kita. Bermeditasilah pada peristiwa kita baru saja mempertimbangkan akan mengingatkan kita kembali apa yang Tuhan kehendaki dari kita, seperti para Rasul, untuk mengambil tanggung jawab untuk membentuk banyak jiwa, menggunakan semua kemampuan kita. Dan Dia menghendaki kita untuk memulai dengan mengerjakan apa yang kita bisa, tanpa mengkhawatirkan tentang apakah kita dapat menyelesaikannya. Kami tidak diragukan kembali untuk membuat rencana dan persediaan untuk masa depan, tetapi kelangkaan dari roti kita dan ikan seharusnya tidak pernah dijadikan alasan untuk tidak mengerjakan apapun yang ada di dalam kemungkinan kita pada setiap saat. Tuhan akan menyediakan apa yang akan datang kemudian. Dengan demikian, walaupun kita tidak tahu pasti apa yang dibawa oleh masa depan, kita akan benar-benar hidup dengan iman.

Santo Agustinus menuliskan “Iman adalah kepercayaan akan apa yang tidak engkau lihat; penghargaan atas iman adalah penglihatan akan apa yang engkau percaya”